Audrey menatap beberapa layar di depannya. Mulai dari layar ponsel yang kecil, sampai monitor komputer yang paling besar. Semuanya menampilkan sesuatu yang serupa, tapi tidak sama dan itu benar-benar membuat bingung.
“Ini terlalu absurd,” geram Audrey merasa sangat kesal. “Bagaimana mungkin kita mau mencari dari sekian banyak orang?” Perempuan yang empunya ruangan itu, melempar ponselnya dengan asal. Membuat benda pipih itu, menyentuh dan menggeser tablet yang terletak tak jauh. Tidak sampai jatuh, tapi tetap saja agak membahayakan. “Tentu saja ini tidak mungkin. Aku kan sudah bilang,” gumam Damar dengan senyum tipis. “Padahal, aku pikir tidak banyak orang yang punya asisten lelaki muda yang lumayan tampan dan lumayan tinggi.” Audrey terus menggerutu dan ini sebenarnya membuat bingung. Jarang sekali dia menggerutu sepanjang ini, hanya karena pekerjaan tidak berjalan lancar. Tapi coba lihatlah sekarang? Dia menggerutu untu“Hai.” Felix melambai, ketika dia bertemu dengan Audrey di lobi kantor perempuan itu, pada pagi hari yang cerah. “Hai?” gumam Audrey dalam nada tanya. “Apa maksudnya itu?” Felix meringis mendengar pertanyaan yang agak aneh itu, tapi dia masih bisa mengerti. Biar bagaimana, dia juga sudah berbuat sedikit kesalahan. “Aku datang untuk minta maaf,” gumam Felix dengan ekspresi ragu-ragu. “Minta maaf?” Lagi-lagi, Audrey membalas dengan nada tanya. Kali ini, disertai dengan nada suara yang ikut naik. “Bagaimana kalau kita pergi duduk dulu di ruangan Bu Audrey saja?” tanya Damar dengan senyum lebar. “Tidak baik bicara sambil berdiri.” “Tidak mau.” Sayangnya, Audrey menolak dengan cepat. “Ruanganku hanya untuk partner.” Felix kembali meringis mendengar itu. Dia jadi makin tidak percaya diri dan rasanya ingin segera pulang saja, tapi Damar dengan baik hati memberikan solusi yang lebih baik bagi semua orang.
Damar memegang dadanya. Ini sudah lewat berjam-jam sejak Audrey memujinya hanya karena rambut, tapi detak jantungnya tidak kunjung menjadi normal. Apalagi, ketika dia menoleh dan menatap perempuan yang tertidur di sampingnya itu. “Ini aku kenapa ya?” gumam Damar selirih mungkin. “Aku sakit atau apa sih?” “Kau mengatakan apa?” Tiba-tiba saja, Audrey terbangun dan bertanya. “Astaga!” Melihat perempuan di sebelahnya itu mengusap mata, Damar terlonjak kaget. Lelaki itu bahkan bergerak mundur, sampai hampir terjatuh dari ranjang. “Ada apa denganmu?” Audrey tentu saja akan menjadi bingung melihat suaminya. “Aku hanya terkejut. Aku pikir kau sudah tertidur.” “Aku memang sudah tidur, tapi terbangun karena mau buang air.” Audrey menyingkap selimut, menampakkan dirinya yang hanya menggunakan gaun tidur tipis. Kali ini, mereka tidak melakukan apa-apa. Baik Damar maupun Audrey, tampaknya sudah agak lelah untuk saling menikmati. Kebetulan saja pekerjaan hari ini agak banyak, sampai me
“Apa kau sudah mendengar gosip yang beredar?” Damar tidak tahan untuk tidak memberitahu atasan, sekaligus istri kontraknya. “Aku tidak pernah tertarik pada yang namanya gosip.” Balas Audrey, sembari menandatangani berkas yang baru saja diberikan sang asisten. “Kali ini kau harus mendengar, karena ini serius. Semua orang mulai menggosipkan kita berdua.” Sekarang, Audrey menghentikan gerakannya. Dia menatap lelaki dengan wajah gusar yang berdiri di depannya. Tentu saja Audrey akan merasa perlu untuk mendengar gosip yang membawa namanya dan sang asisten. “Mereka curiga, karena aku asisten yang bekerja paling lama denganmu.” Damar memulai penjelasan tanpa diminta. “Sejak aku masuk pun, katanya lembur asisten mulai agak berkurang.” “Lalu?” “Lalu mereka berpikir, aku ini ada hubungan denganmu. Entah itu aku anak titipan dari seseorang yang kau kenal, atau kau memeliharaku sebagai kekasih.” Yang Damar maksud dengan anak titipan adalah dirinya yang masuk kerja lewat koneksi dan perlu
Damar melirik ke kiri dan kanannya. Mereka sedang duduk di meja makan, tapi sungguh suasananya terasa begitu canggung. “Kenapa pada diam sih?” tanya Vita dengan senyum lembut. “Dimakan dong makanannya. Atau mungkin gak suka?” “Gak kok, Bu.” Tere dengan cepat menggeleng. “Enak, cuma lagi agak kenyang saja.” “Enak.” Jennie juga ikut mengangguk canggung. “Ya, udah. Pelan-pelan saja makannya,” jawab Vita masih dengan senyum yang sama, kemudian beralih pada Damar. “Kamu juga makan yang banyak ya.” “Dia gak usah makan banyak.” Brian langsung menyela, dengan tatapan tajam. “Biarin saja dia kelaparan.” “Brian.” Sebagai ibu, Vita tentu saja akan menegur. “Jangan kasar begitu dong.” Damar tidak memberi banyak komentar melihat pemandangan di depannya, karena memang tidak bisa. Jika dia terlalu banyak bicara, siapa tahu nanti bisa keceplosan. Ya. Tadi memang Audrey dan Damar bertemu dengan Jennie dan pasangan, juga Tere dan pasangan. Padahal tadi Damar sudah panik, tapi untung saja
“Arisan?” tanya Damar dengan kening berkerut. “Iya.” Tere dan Happy mengangguk bersamaan. “Kami baru ikut arisan dan sedang mencari anggota baru lagi. Nanti, arisannya diadakan di rumah masing-masing.” Damar tidak langsung menjawab. Lelaki itu menggaruk pipinya, merasa bingung dengan ajakan yang ditujukan padanya itu. Jujur saja, dia merasa bingung bagaimana harus menanggapi ajakan itu. Seumur-umur, Damar belum pernah ikut arisan. Lagi pula, setahunya yang namanya arisan itu, hanya dilakukan oleh kaum hawa saja. Dia juga tidak terlalu ingin ikut kegiatan seperti itu. “Ikut saja, Mar.” Tere mencoba menjelaskan. “Hitung—hitung, bisa dipakai nabung gitu. Lumayan loh dan iurannya juga tidak mahal.” “Begitu ya?” gumam Damar dalam nada tanya. Dia masih merasa bingung. “Tapi bukannya arisan biasa perempuan saja ya?” “Kata siapa?” Happy langsung menghardik. “Zaman sekarang, ada juga kok lelaki yang ikut arisan. Itu Mbak Tere yang mau resign saja ikut, masa Mas Damar tidak ikut.” “Tapi
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Mathilda?” Damar mendesah pelan, begitu mendengar nama itu disebut. Padahal dia berpikir sang ibu sudah lupa tentang perempuan yang hendak dijodohkan dengannya itu, tapi rupanya tidak. Sang ibu hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. “Tidak ada perkembangan apa pun,” jawab Damar dengan jujur. “Kami bahkan belum bertemu lagi, mungkin sejak dua atau tiga minggu lalu. Aku sibuk kerja, sekarang aku bahkan masih di kantor.” “Astaga, Damar! Kamu kenapa sih? Kok dikasih perempuan cantik dan muda begitu malah gak mau? Kamu gay?” Untuk yang kesekian kalinya, sang ibu menuduh. “Lagi pula, bukannya ini sudah jam pulang kantor di sana? “Ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, Madre dan percaya saja apa yang ingin Madre percaya,” desah Damar merasa sangat lelah. “Yang jelas, Damar sudah memberi tahu. Terserah mau percaya atau tidak dan aku lebih suka dengan perempuan yang lebih dewasa.”
Audrey menatap dengan tajam ke depan. Sudah lewat beberapa menit, tapi tatapan tajam dan aura penuh kemarahan itu tidak surut juga. Membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan menjadi canggung. “Anu, Bu Audrey.” Damar mencoba untuk mencairkan suasana, terutama karena semua orang melirik padanya. “Bagaimana kalau kita mulai saja wawancara kerjanya?” “Wawancara kerja katamu?” tanya Audrey, yang kini melotot pada asistennya. “Saya berada di sini untuk wawancara kerja.” Tiba-tiba saja, suara lain terdengar dari arah depan Audrey. Arah yang sejak tadi dipelototi Audrey. “Saya sudah dipanggil seperti ini, tentu saja saya harus diwawancarai dengan benar kan?” tanya Mathilda dengan berani. Ya, Mathilda. Entah bagaimana, perempuan muda yang baru lulus itu malah melamar pekerjaan di perusahaan yang dipimpin Audrey. Tindakan yang bisa dibilang berani, tapi juga sedikit ceroboh. Kebetulan saja salah satu anggota tim yang
“Kau tidak apa-apa?” Audrey menanyakan itu dengan tatapan tajam pada asisten, sekaligus suami kontraknya. “Sama sekali tidak apa-apa,” jawab Damar tanpa ragu. “Memangnya ada sesuatu sampai kau menanyakan hal seperti itu?” Audrey hanya bisa mendesah pelan. Padahal jelas-jelas tadi Damar terlihat sangat tidak sehat, tapi coba lihat sekarang? Lelaki itu sudah terlihat seperti biasa, bahkan sudah bisa tersenyum lebar. “Apa kau tidak mau makan?” tanya Damar memotong ikan yang menjadi bagian dari fish and chip miliknya. “Katanya tadi kau lapar.” “Iya.” Audrey menjawab, sembari melempar rambutnya ke belakang. “Tadinya aku lapar, tapi sekarang tidak lagi. Itu semua gara-gara kau.” “Aku tidak mengerti kenapa bisa aku yang menjadi masalahnya, tapi kalau kau tidak mau itu, boleh kuambil saja? Aku sangat lapar.” Damar menunjuk menu yang persis sama dengan miliknya, yang ada di hadapan Audrey. “Makan saja,” jawab Audrey den
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka