Jika dilihat sambil lalu, tidak ada yang pernah menduga kalau hubungan Pras dan Bintang sebenarnya saling menusuk di belakang. Tapi, bila sudah duduk membahas pekerjaan, keduanya fair, bisa saling bertukar pikiran dan saling mendengar, agar tujuan mereka bisa selaras.
“Jadi, kapan aku bisa ketemu pak Raja?”
Pras telah menjelaskan beberapa bagian penting perihal pencalonan Raja, yang saat ini membutuhkan seorang konsultan hukum. Bukan hanya satu orang sebenarnya, Pras juga tengah memilah beberapa lembaga yang benar-benar independen, bersih dan sama sekali tidak ada indikasi keberpihakan.
Dan setelah memikirkan lebih lanjut, mempertimbangkan ucapan Sinar pada saat makan siang. Akhirnya Pras memutuskan, kalau ia perlu menggandeng Bintang untuk berada di sisi Raja. Namun, tentu saja ada syarat dan ketentuan yang berlaku di balik itu semua. Pras sendirilah yang akan mengatur tentang kapan, dan di mana Bintang akan bertemu dengan Raja.
&ldq
Telapak tangan Bintang menyatu di depan bibir dengan siku bertumpu di atas paha. Memandang dingin, sekaligus menghela besar, pada Sinar yang salah tingkah karena ucapan Pras. Ingin rasanya tidak mempercayai Pras, tapi, Bintang memang melihat sebuah jejak merah pada garis leher yang tertutup kerah. Jika dilihat sekilas, memang tidak akan tampak. Tapi jika di teliti lagi, Bintang yakin, kalau tanda merah tersebut adalah sebuah kissmark.Setelah memuntahkan kalimat yang sangat provokatif. Pras melenggang begitu saja keluar dari rumah Sinar. Sungguh, tidak ada beban sama sekali, yang terlihat pada wajahnya.“Jadi, itukah alasannya kamu menolak untuk kembali menikah denganku, Nar? kamu sudah jadi mainannya Pras?”Mainan?Ya! mungkin benar, apa yang Bintang katakan barusan. Sinar hanyalah sebuah mainan bagi Pras. Bukankah sudah jelas, kalau dari awal, Pras mengatakan ingin membawa Sinar ke ranjangnya. Pria itupun juga tidak peduli dengan kondisi Sin
Akhirnya Sinar bisa menikmati hari liburnya. Baru tiga hari menjadi sekretaris pribadi Raja, tapi pikirannya sudah sangat terasa penat. Sinar stress bila harus berhadapan dengan Pras, yang selalu mematahkan ucapannya berkali-kali. Belum lagi sikap Pras yang selalu saja seenaknya ketika mengaturnya.Sinar memang tidak sehari penuh bertemu dengan pria itu. Hanya pagi hari, sore atau ketika Pras memang belum pergi ke firmanya. Tapi, meskipun begitu, Sinar merasa pengaruh Pras terhadap dirinya sangat besar. Terkadang, mendengar suaranya dari jauh saja, sudah bisa membuat jantung Sinar melompat horor. Tidak mampu menebak-nebak, hal apa lagi yang akan dilakukan pria itu kepadanya.Pintu kamarnya terdengar diketuk sebanyak dua kali. Sejurus kemudian sang bunda muncul hanya menyembulkan kepalanya saja.“Ada Bira di luar.”“Bira?” Sinar merasa tidak memiliki janji apapun dengan pria itu. Melihat ponselnya sejenak, tapi tidak ada satupun tel
Ketiga pria itu dengan sigap menarik kursi untuk wanita mereka masing-masing. Sesuai dengan sikap pria sejati pada umumnya. Mendahulukan wanita, setelah itu barulah para pria itu, menjatuhkan tubuh di kursi yang sudah tersedia.Apakah hanya Sinar yang merasakan kecanggungan di sini? Berhadapan dengan Bintang dan duduk tepat di sebelah Pras lalu diapit oleh Bira.Bira sedikit menunduk, berbisik tepat di telinga Sinar. “Sorry, tapi kita bisa pergi kalau kamu gak nyaman.”Sinar membalas, menolehkan kepalanya dan juga berbisik di telinga Bira. “It’s oke, I can handle it.”Bibirnya bisa berucap santai, namun hatinya sudah bergemuruh tidak karuan. Lebih banyak menunduk, tidak ingin melihat pemandangan yang begitu menyakitkan di depan mata.“Mas Bintang mau makan apa?” tanya Daya dengan manja. Ada sedikit senyum tipis yang terkesan sinis, menyiratkan kemenangan telak pada maniknya.Sejurus kemudian, pertany
“Ikut aku.”Tubuh Sinar, yang baru saja mengeluarkan ponsel untuk berselancar di dunia maya sembari menunggu Bira, tertarik paksa. Merasa syok, hingga tidak mampu mengelak, ketika tubuhnya digiring menuju parkiran basement hotel.Sejurus kemudian, Sinar mengerjab sadar. Membeliakkan maniknya karena jemarinya kini sudah tertaut erat dengan Pras. Memilih berhenti, dan menyentak tangan pria itu ketika berada di tengah-tengah basement.“Apaan seh!”Berbalik cepat, kemudian melangkah tergesa untuk kembali ke dalam lobi. Untuk apa Pras berada di lobi dan menarik dirinya menuju basement? Kemana Bira? Bukankah seharusnya, pria itu yang turun lebih dahulu kemudian pergi makan malam di tempat lain bersama Sinar?“Teruslah kembali ke dalam,” ucapan datar Pras menggema, di tengah-tengah basement yang hanya terisi dengan deretan kesunyian mobil. “Jonas …”Pras menang! Tidak melanjutkan kalimatnya.
Ponsel Pras kembali berdering, ketika keduanya baru saja masuk ke dalam mobil setelah menikmati keheningan di sepanjang makan malam. Sinar lebih memilih diam daripada harus kembali berdebat dan ujung-ujungnya, ucapannya tidak pernah ada yang dianggap satupun oleh Pras.Pria itu hanya mementingkan muntahan kalimat yang keluarkan oleh bibirnya tanpa mau mempedulikan ocehan Sinar. Apalagi setelah berbicara dengan Aida di telepon, perasaan Sinar menjadi semakin tidak nyaman saja.“Angkat,” Pras melempar pelan ponselnya ke pangkuan Sinar. Dan wanita itu hanya tercenung, saat melihat nama yang terpampang di dalam benda persegi yang masih berdering, sekaligus bergetar di atas pahanya.“Hei! Digeser icon yang warna hijau, kalau cuma dilihat gak akan kedengaran suaranya.”Dengan telak, Pras membalas ucapan Sinar beberapa waktu yang lalu, ketika masih menunggu pesanan mereka datang.Sinar mendesis kesal, hanya meraih ponselnya dan mem
Sinar bergeming, berdiri menatap kesal pada gerbang yang menjulang setinggi 3 meter di depannya. Kakinya seolah enggan melangkah dan melewati pagar besi, untuk kembali menjalankan rutinitas di hari kerja sebagai sekretaris pribadi Raja.Awalnya, Sinar mengira, akan bekerja sebagai sekretaris pribadi yang akan ditempatkan di kantor pusat Casteel High. Namun nyatanya, ia menjadi sekretaris yang akan menangani semua hal terkait masalah pencalonan Raja untuk menjadi gubernur. Jadi, kantor yang ditempati Sinar kali ini yakni bertempat di kediaman bakal calon gubernur itu.Hal itu mengakibatkan, mau tidak mau, ia harus bertemu dengan Pras setiap pagi, atau bahkan sore hari ketika pria itu sudah sampai di rumah. Perasaan kesalnya masih membekas hingga detik ini. Untungnya, pada malam itu Sinar tidak kesulitan untuk mendapatkan ojek on-line. Hingga ia bisa dengan cepat sampai ke rumah hanya dalam waktu 15 menit.Pras sungguh keterlaluan! Dan Sinar sudah bertekad, tidak
Apa-apaan ini, batin Pras. Sepanjang perjalanan ke firma hukumnya, ia duduk santai sembari menggeledah ponsel Sinar yang beruntungnya, tidak dikunci sama sekali. Tujuan utamanya jelas, untuk membuka galeri foto dan hanya bengong pada akhirnya. Tidak ada satupun foto wanita itu di dalamnya. Bahkan, Pras sangat yakin kalau wallpaper yang digunakan wanita itu adalah bawaan standar yang sudah tersedia dari awal. Heran, sepanjang pengetahuannya, setiap wanita pasti memiliki hobi berselfie ria. Menjepret wajahnya sendiri berulang kali hingga mendapatkan pose sempurna tanpa celah. Tapi, hal itu tidak tampak sedikitpun di ponsel Sinar. Didera rasa penasaran yang sangat menggelitik, Pras menyusuri media sosial milik wanita itu. Kembali, Pras dibuat tercengang, tidak tampak aktivitas apapun di dalamnya. Pras mengawali dengan membuka aplikasi berwarna biru, dan tidak ada foto satupun di dalamnya. Pertemanan yang minim, pun dengan status pada berandanya. Sama sekali tidak ada ak
Lima belas menit kemudian, Pras benar-benar dan sudah berada di depan Sinar yang hanya bisa pasrah menunggu pria itu di teras rumah. Kalau bukan karena ponselnya yang masih berada di tangan Pras, Sinar tidak akan sudi untuk menunggu pria itu sampai kapanpun.Namun, ada yang berbeda pada penampilan Pras kali ini. Pria itu berpakaian kasual, teramat santai. Hanya memakai kaos polos berwarna hitam dengan model V neck, serta celana pendek kargo yang berwarna senada.Surai legam yang biasa tertata rapi dengan pomade, kini terhambur separuh basah. Menguarkan kesan seksi tersendiri, hingga membuat Sinar sempat membayangkan merajut erat jemarinya,, pada tiap helai lebat yang bertahta di kepala pria itu.“Pengen bilang, jangan dipendam,” ujaran Pras barusan, terkesan mengejek di telinga Sinar. “Kapan terakhir kali kamu having sex, Nar?”Sinar mengerjab pelan. Kembali memutar pertanyaan Pras di otaknya. Apa dia tidak salah dengar? Pras berta