Bira berdecak berkali-kali, ketika pada akhirnya ia kembali bertemu dengan Mai. Semenjak berhenti dari Casteel High, Bira memang sudah sangat jarang bertemu dengan keponakan perempuannya yang satu itu.
Selain karena Mai lebih banyak menyibukkan diri di rumah dan menjalani perannya sebagai seorang istri, Bira belakangan ini juga sering pulang pergi Singapura untuk mengurus beberapa hal. Oleh sebab itu, keduanya kini sudah jarang saling bertegur sapa secara langsung.
“Si Mami, makin berisi aja,” celetuk Bira ketika menyapa Mai yang baru masuk ke ruangannya.
“Maksud, Om, aku gendutan gitu?”
Tatapan datar itu, langsung membuat Bira beranjak dari kursi kebesarannya, untuk menghampiri Mai yang baru duduk di salah satu sofa di ruang kerja Bira.
“Berisi, Sayang, berisi,” sahut Bira sembari menahan tawanya. “Om, mau nyuruh Yasmen nikah aja setelah wisuda. Biar cepat dapat cucu, kayak ayahmu.”
Mai memajukan bibir bawahnya, karena ledekan Bira me
Mai keluar dari ruang rapat sembari menggandeng lengan Qai dengan erat. Ikut masuk ke ruang sang kakak seraya menunggu Raj, yang siang hari ini menyempatkan diri menjemput Mai untuk makan siang. Pekerjaan sang suami memang sudah tidak sepadat dahulu kala, jadi Raj sudah bisa keluar kantor ketika jam istirahatnya tiba. Seperti saat ini, meskipun ada supir pribadi yang bisa mengantarkan Mai ke mana pun, tapi Raj ngotot ingin menjemput Mai seorang diri di Casteel High. “Kata enda, calon bayimu perempuan, ya, Mai?” Qai menutup pintu kerjanya setelah Mai lebih dahulu masuk ke dalam. “Hu’um.” Mai berjalan pelan menuju kursi kebesaran Qai lalu duduk di sana dengan helaan lega. Duduk bersandar memejamkan mata, sembari menarik napas dalam-dalam untuk menikmati suasana yang sudah lama tidak dirasakannya. “Pasti cantik kayak aku.” Qai berdecih seraya menghempas tubuhnya di sofa. “Sejak kapan kamu jadi narsis begini?” “Bawaan bayi.” Mai menjawab sekenanya
Beberapa minggu berlalu dari pertemuannya dengan Byakta, Mai bertemu Yasmen ketika sedang berkunjung ke kediaman Sagara. Gadis manja itu, tengah bergelayut manja pada lengan Pras seolah tengah merayu untuk meminta sesuatu. Mai yang anak kandung saja tidak pernah bersikap seperti itu kepada Pras. Namun, Yasmen bisa dengan seenaknya menempel dengan semua orang dengan mudahnya. “Eh, lepasin tangan, lo!” titah Mai menunjuk Yasmen dengan wajah datarnya. Yasmen yang terkejut karena kedatangan Mai secara tiba-tiba itu sontak melepas tangannya. Dengan segera menjaga jaraknya dengan Pras. Dari semua sepupu yang dimilikinya, Yasmen memang sedikit segan dengan Mai. “Mai …” lirikan Sinar begitu tajam ketika mendengar ucapan putrinya yang terdengar tidak sopan. “Udah mau jadi ibu, kalau ngomong harus dijaga baik-baik. Jangan la, lo, la, lo. Yang sopan. Lagian kenapa juga kalau Yasmen nempel sama Ayah, kalian itu saudara. Ayahmu, ya, Ayah Yasmen juga.” “Tapi Yasmen
Sebelum keluar dari mobil, Mai meminta supir pribadinya untuk pergi dan tidak usah menunggunya. Karena setelah makan siang bersama Raj, suaminya itu sendiri yang akan mengantar Mai pulang ke rumah. Setelah keluar dari mobil, Mai menelepon sang suami dan memintanya agar segera turun ke bawah. Mai yang sudah merasa lapar itu, tidak ingin berlama-lama di lobi untuk menunggu sang suami. Begitu kaki Mai melangkah masuk ke dalam lobi, maniknya bersirobok sejenak dengan Endy yang baru saja menuruni tangga dengan seseorang. Tidak mengacuhkannya, Mai terus saja berjalan dengan langkah berat lalu duduk di salah satu sofa yang ada di sana. Meskipun Mai tahu, kalau dirinya tidak punya kuasa untuk ikut campur dalam urusan perusahaan sang suami, tapi ia sempat kesal kepada Raj karena pemenang tender di perusahaan yang dipimpin oleh sang suami adalah Endy. Andai saja itu terjadi di Casteel High, Mai pasti akan langsung turun tangan untuk memblacklist perusahaan mil
Raj memilih menepikan mobil, ketika tidak kunjung mendengar jawaban dari sang istri. Menahan sebuah senyum, yang sebenarnya ingin ia sunggingkan sedari tadi. Mendengar bahwa Mai mengatakan sudah tidak memiliki rasa dengan Byakta, sungguh membuat hatinya berbunga seketika.“Jadi, Mi, kalau sudah gak punya rasa sama Byakta, berarti kamu sudah cinta sama aku, kan?”Mai menoleh cepat dengan tatapan datarnya. “Jangan kepedean! Jatuh cinta itu, gak semudah ngebalik telapak tangan!”“Jadi kesimpulannya, lebih mudah bikin anak daripada jatuh cinta?”“Apaan, sih, gak jelas!” Tangan Mai reflek melayang untuk memukul lengan sang suami. “Tuh otak, isinya gak pernah jauh dari bikin anak.”“Kan enak, Mi,” ungkap Raj sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri. “Lagian juga dianjurin sama dokter, kalau sudah hamil tua, harus sering-sering jengukin yang di dalam sana. Biar lancar! Atau,
“Jangan marah-marah dulu, ini cuma masa lalu,” tekan Raj yang tidak berniat membohongi Mai sama sekali. Keduanya duduk bersebelahan tepat di kursi yang sama, yang telah diduduki oleh Byakta dan Raya beberapa waktu yang lalu. “Hm! Buruan!” Meskipun masa lalu, tapi Mai tetap ingin mengetahui semuanya tanpa ada yang ditutupi dari dirinya. Raj menarik napas sejenak lalu membuangnya dengan cepat. “Sama seperti Andini, aku juga pernah jalan sama Raya. Kita sempat hangout beberapa kali, and that’s that.” “Kamu itu, Pi!” Tangan Mai melayang pada lengan Raj dengan keras. Benar-benar merasa kesal karena baru mengetahui sebuah fakta. “Bukannya kamu sudah tahu kalau Raya pacaran sama Byakta! Kenapa masih digebet aja! Mereka sudah lamaran, Pi, lamaraaaaan!” Setelah memukul lengan sang suami, tangan Mai turun untuk mencubit keras lemak yang ada di perut Raj dengan sekuat tenaga, hingga membuat Raj menarik kursinya mejauh dari sang istri. “Mami! Mal
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama