“Harusnya bilang kalau mau pulang telat!”
Raj menelan ludah, ketika melihat ayam panggang yang baru saja diletakkan Mai di atas kitchen island. Tidak mengacuhkan kekesalan sang istri mengenai kepulangannya, yang hanya telat setengah jam dari biasanya.
Semakin hari, berat tubuh Raj kini semakin bertambah saja. Mai selalu menjejalkan makanan yang dibuatnya ke mulut Raj tanpa boleh ditolak sama sekali. Jika sekali saja Raj berani menolak, maka urusannya akan semakin panjang saja.
“Pi! Aku ngomong itu ditanggapin, jangan diem aja!” oceh Mai masih melanjutkan gerutuannya.
Raj melonggarkan dasinya sembari melangkah menghampiri sang istri. Sementara jasnya, sudah ia lepas sejak memasuki ruang tengah dan ia lemparkan saja sekenanya ke arah sofa.
“Cuma telat setengah jam, Mi,” ungkap Raj lalu memeluk sang istri dari samping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi. “Presentasi vendor yang ikut tender agak molor, jadi te
Jika ada sesuatu yang paling membahagiakan, setelah Mai mengetahui bahwa dirinya tengah berbadan dua, hal tersebut adalah bisa kembali menginjakkan kaki di Casteel High. Mai sangat rindu dengan suasana kesibukan di kantor dan semua tentang hal tersebut.Sebenarnya, Mai juga sangat rindu dengan suasana tegang yang berada di persidangan. Membungkam lawan dengan semua kata-kata pedas darinya dan melihat pihak yang berseberangan dengan bungkam seribu bahasa. Sungguh, hal tersebut membuat kepuasan tersendiri di hati Mai.Raj menggeleng dan berdecak sinis ketika melihat istrinya berdiri dan berbalik setelah merias diri di depan meja kebesarannya. “Kamu, mau ke kantor apa mau ke pesta, menor begitu.” Menghampiri Mai, Raj kemudian mengambil tisu basah yang selalu ada di atas meja rias sang istri. Mengusap tisu tersebut ke wajah Mai agar seluruh riasan yang ada di atasnya kacau balau.“Papi!” Mai memukul tangan Raj berkali-kali dan berusaha untuk
Bira berdecak berkali-kali, ketika pada akhirnya ia kembali bertemu dengan Mai. Semenjak berhenti dari Casteel High, Bira memang sudah sangat jarang bertemu dengan keponakan perempuannya yang satu itu. Selain karena Mai lebih banyak menyibukkan diri di rumah dan menjalani perannya sebagai seorang istri, Bira belakangan ini juga sering pulang pergi Singapura untuk mengurus beberapa hal. Oleh sebab itu, keduanya kini sudah jarang saling bertegur sapa secara langsung. “Si Mami, makin berisi aja,” celetuk Bira ketika menyapa Mai yang baru masuk ke ruangannya. “Maksud, Om, aku gendutan gitu?” Tatapan datar itu, langsung membuat Bira beranjak dari kursi kebesarannya, untuk menghampiri Mai yang baru duduk di salah satu sofa di ruang kerja Bira. “Berisi, Sayang, berisi,” sahut Bira sembari menahan tawanya. “Om, mau nyuruh Yasmen nikah aja setelah wisuda. Biar cepat dapat cucu, kayak ayahmu.” Mai memajukan bibir bawahnya, karena ledekan Bira me
Mai keluar dari ruang rapat sembari menggandeng lengan Qai dengan erat. Ikut masuk ke ruang sang kakak seraya menunggu Raj, yang siang hari ini menyempatkan diri menjemput Mai untuk makan siang. Pekerjaan sang suami memang sudah tidak sepadat dahulu kala, jadi Raj sudah bisa keluar kantor ketika jam istirahatnya tiba. Seperti saat ini, meskipun ada supir pribadi yang bisa mengantarkan Mai ke mana pun, tapi Raj ngotot ingin menjemput Mai seorang diri di Casteel High. “Kata enda, calon bayimu perempuan, ya, Mai?” Qai menutup pintu kerjanya setelah Mai lebih dahulu masuk ke dalam. “Hu’um.” Mai berjalan pelan menuju kursi kebesaran Qai lalu duduk di sana dengan helaan lega. Duduk bersandar memejamkan mata, sembari menarik napas dalam-dalam untuk menikmati suasana yang sudah lama tidak dirasakannya. “Pasti cantik kayak aku.” Qai berdecih seraya menghempas tubuhnya di sofa. “Sejak kapan kamu jadi narsis begini?” “Bawaan bayi.” Mai menjawab sekenanya
Beberapa minggu berlalu dari pertemuannya dengan Byakta, Mai bertemu Yasmen ketika sedang berkunjung ke kediaman Sagara. Gadis manja itu, tengah bergelayut manja pada lengan Pras seolah tengah merayu untuk meminta sesuatu. Mai yang anak kandung saja tidak pernah bersikap seperti itu kepada Pras. Namun, Yasmen bisa dengan seenaknya menempel dengan semua orang dengan mudahnya. “Eh, lepasin tangan, lo!” titah Mai menunjuk Yasmen dengan wajah datarnya. Yasmen yang terkejut karena kedatangan Mai secara tiba-tiba itu sontak melepas tangannya. Dengan segera menjaga jaraknya dengan Pras. Dari semua sepupu yang dimilikinya, Yasmen memang sedikit segan dengan Mai. “Mai …” lirikan Sinar begitu tajam ketika mendengar ucapan putrinya yang terdengar tidak sopan. “Udah mau jadi ibu, kalau ngomong harus dijaga baik-baik. Jangan la, lo, la, lo. Yang sopan. Lagian kenapa juga kalau Yasmen nempel sama Ayah, kalian itu saudara. Ayahmu, ya, Ayah Yasmen juga.” “Tapi Yasmen
Sebelum keluar dari mobil, Mai meminta supir pribadinya untuk pergi dan tidak usah menunggunya. Karena setelah makan siang bersama Raj, suaminya itu sendiri yang akan mengantar Mai pulang ke rumah. Setelah keluar dari mobil, Mai menelepon sang suami dan memintanya agar segera turun ke bawah. Mai yang sudah merasa lapar itu, tidak ingin berlama-lama di lobi untuk menunggu sang suami. Begitu kaki Mai melangkah masuk ke dalam lobi, maniknya bersirobok sejenak dengan Endy yang baru saja menuruni tangga dengan seseorang. Tidak mengacuhkannya, Mai terus saja berjalan dengan langkah berat lalu duduk di salah satu sofa yang ada di sana. Meskipun Mai tahu, kalau dirinya tidak punya kuasa untuk ikut campur dalam urusan perusahaan sang suami, tapi ia sempat kesal kepada Raj karena pemenang tender di perusahaan yang dipimpin oleh sang suami adalah Endy. Andai saja itu terjadi di Casteel High, Mai pasti akan langsung turun tangan untuk memblacklist perusahaan mil
Raj memilih menepikan mobil, ketika tidak kunjung mendengar jawaban dari sang istri. Menahan sebuah senyum, yang sebenarnya ingin ia sunggingkan sedari tadi. Mendengar bahwa Mai mengatakan sudah tidak memiliki rasa dengan Byakta, sungguh membuat hatinya berbunga seketika.“Jadi, Mi, kalau sudah gak punya rasa sama Byakta, berarti kamu sudah cinta sama aku, kan?”Mai menoleh cepat dengan tatapan datarnya. “Jangan kepedean! Jatuh cinta itu, gak semudah ngebalik telapak tangan!”“Jadi kesimpulannya, lebih mudah bikin anak daripada jatuh cinta?”“Apaan, sih, gak jelas!” Tangan Mai reflek melayang untuk memukul lengan sang suami. “Tuh otak, isinya gak pernah jauh dari bikin anak.”“Kan enak, Mi,” ungkap Raj sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri. “Lagian juga dianjurin sama dokter, kalau sudah hamil tua, harus sering-sering jengukin yang di dalam sana. Biar lancar! Atau,
“Jangan marah-marah dulu, ini cuma masa lalu,” tekan Raj yang tidak berniat membohongi Mai sama sekali. Keduanya duduk bersebelahan tepat di kursi yang sama, yang telah diduduki oleh Byakta dan Raya beberapa waktu yang lalu. “Hm! Buruan!” Meskipun masa lalu, tapi Mai tetap ingin mengetahui semuanya tanpa ada yang ditutupi dari dirinya. Raj menarik napas sejenak lalu membuangnya dengan cepat. “Sama seperti Andini, aku juga pernah jalan sama Raya. Kita sempat hangout beberapa kali, and that’s that.” “Kamu itu, Pi!” Tangan Mai melayang pada lengan Raj dengan keras. Benar-benar merasa kesal karena baru mengetahui sebuah fakta. “Bukannya kamu sudah tahu kalau Raya pacaran sama Byakta! Kenapa masih digebet aja! Mereka sudah lamaran, Pi, lamaraaaaan!” Setelah memukul lengan sang suami, tangan Mai turun untuk mencubit keras lemak yang ada di perut Raj dengan sekuat tenaga, hingga membuat Raj menarik kursinya mejauh dari sang istri. “Mami! Mal
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama