Hari ini, Pras benar-benar menjemput Sinar tepat jam sembilan pagi. Pria itu hanya berada di mobil dan meminta Arkan untuk menjemput Sinar di rumah. Tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya. Sibuk memeriksa beberapa laporan terkait branding serta maping sang papi yang tengah mengadakan pencitraan di beberapa daerah.
Mengenai persyaratan yang diajukan Sinar kemarin, Pras tetap tidak bisa menerimanya. Meskipun, Sinar sudah menjatuhkan semua kesalahan atas kehilangan anaknya kepada Pras.
Arkan segera menutup pintu penumpang setelah Sinar masuk ke dalam mobil. Wanita itu langsung memutar tubuhnya, memunggungi Pras. Hanya menatap pemandangan yang berlari di luar jendela begitu sang supir melajukan mobilnya.
“Apa rencanamu setelah ini, Nar?” Pras memecah kesunyian, tapi pandangannya tetap tertuju pada tablet yang ada di tangan. Menggeser pelan slide demi slide untuk mengamati tiap laporan dengan teliti.
“Gak punya rencana apa-apa.&rdquo
Sinar mengerjab, merasakan getaran pada saku kemeja Pras. Tersadar dan segera mengurai pelukannya, seraya mengusap cepat lelehan bening yang membasah di wajahnya dengan salah tingkah. Merasa bodoh atas hal yang baru saja dilakukannya.Pras hanya menatap datar, merogoh saku jasnya dan melihat nama yang muncul di atas layar, kemudian mengangkatnya.“Yes, Gin?”Sinar menarik napas sangat dalam. Sudah bisa menerka, siapa yang menghubungi Pras saat ini. Memilih menjauh dengan perlahan, di saat Pras masih berbicara di telepon, lalu memutuskan untuk memesan taksi on-line.Sementara Sinar duduk menunggu taksi yang telah dipesannya. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Pras di sana. Sinar hanya menatap ponsel di genggamannya hingga getarannya berakhir. Tidak berniat mengangkat dan hendak mengakhiri semua hal dengan Pras.Dengan berakhirnya masalah hukum yang melibatkan dirinya, Pras serta Bintang di dalamnya. Sinar rasa, sudah tidak ada lagi, ha
Sinar menunduk, memegang kedua lututnya dengan terengah. Kaos oblong yang dikenakannya sudah basah dengan peluh. Menatap pagar rumahnya dengan lelah, setelah melakukan lari pagi dengan berkeliling tanpa tujuan hanya untuk menghabiskan kekesalan yang tidak kunjung mereda.Kejadian di restoran kala itu memang sudah seminggu berlalu. Namun, rasa kesal di hati Sinar masih tidak kunjung hilang juga. Napasnya langsung tertarik begitu besar, tiap kali mengingat Pras yang duduk bercengkrama akrab dengan Daya. Harusnya, Sinar cakar saja sekalian wajah Pras ketika mereka berdebat di belakang restoran kala itu, biar pria itu tahu rasa.Ah! Geram sekali rasanya jika Sinar kembali mengingat itu semua.Sinar menegakkan tubuh. Melepas earbuds yang terpasang di telinga kemudian melangkah memasuki pagar. Melihat Delon yang baru saja keluar dari garasi, sembari memegang pisang goreng dan mulut pria itu juga tengah sibuk mengunyah.Sinar menghentikan langkahnya. Memutar tub
Sinar terjaga, masih enggan membuka mata. Tenggelam dalam rasa hangat yang membuatnya betah, berlama-lama di atas ranjang tanpa ingin beranjak pergi ke mana pun. Menghidu dalam-dalam aroma maskulin yang menggelitik indera penciumannya.Sinar mengendus, sembari mengumpulkan kesadarannya. Mengingat-ingat kejadian semalam kemudian memejam erat. Tubuh Sinar menegang seketika, saat menyadari bahwa dirinya kini tengah berbaring di pelukan seseorang. Memberanikan diri membuka sebelah mata. sembari mengangkat wajah dengan perlahan.“Pras?” Sinar membatin. Mengerjab berulang-ulang dan kembali mengumpulkan ingatan serta kesadarannya. Sejurus kemudian, maniknya membola, bukan karena telah mengingat kejadian tadi malam. Namun, karena baru menyadari bahwa dirinya ada di pelukan pria itu.“PRAS!” pekik Sinar seraya mendorong keras tubuh pria yang masih tertidur lelap bersama mimpinya. Sinar bangkit terduduk dan reflek menarik selimut untuk menutupi tub
Entah sudah berapa kali mulut Bira berdecak, dan menghela panjang di meja makan. Posisi duduknya juga sudah berkali pula ia ubah, tapi tidak kunjung merasa nyaman setelah mendengar kabar mengejutkan pagi ini. Bira tahu benar, kalau Sinar datang dan pergi meninggalkan Casteel High bersama Elang. Tapi mengapa, pagi ini berakhir satu kamar dengan Pras? Sungguh, semua di luar pemahaman Bira. Sesekali Bira melihat Sinar, yang juga duduk di satu meja makan dan selalu menunduk saat melahap makanannya. “Bundamu baru sampe nanti sore dari puncak, jadi besok pagi aja Mami datang ke rumahmu. Karena beliau pasti masih capek.” Sinar mengangkat wajah hampanya, menatap Aida. Wanita paruh baya itu, bahkan sudah mengubah panggilannya menjadi Mami di depan Sinar. Sungguh! Sinar masih berharap kalau semua ini mimpi. Menjadi bagian dari keluarga Raja, tidak pernah sama sekali terbersit di benaknya. Bahkan dengan Bira dahulu kala, Sinar juga tidak pernah membayangkannya. Meskipun
Vio terkikik tanpa suara, ketika punggung Sinar menjauh untuk pergi ke toilet. Menyikut pelan perut Pras yang duduk di sampingnya sembari menggeleng. Keduanya tengah melihat ballroom yang rencananya akan digunakan untuk pesta resepsi pernikahan Pras dan Sinar nantinya.“Untung orang rumah sudah kenal Sinar dan tahu watak kamu, Mas,” pungkas Vio memutar tubuh menatap Pras yang hanya diam. Enggan menanggapi perkataan adik perempuanya.“Kasihan Bira,” namun Vio terkekeh geli saat mengatakannya. “Padahal dari dulu tuh anak ngebet sama Sinar, tapi gak pernah digubris. Apa kabar hatinya, tahu-tahu Sinar mau nikah sama masnya sendiri.”Pras melirik datar, masih enggan berkomentar.“Kamu tuh sebenernya kejam tahu, gak, Mas. Aku denger dari mami, kamu yang udah buat Sinar cerai, terus mecat dia juga dari Metro. Kamu juga kan yang ngelaporin ayahnya korupsi? Ckckck … sekarang anaknya mau dinikahin. Pdkt mu tuh, anti
Sinar buru-buru turun ke bawah, setelah seorang office boy mengatakan, bahwa sang bunda kini berada di posko dan ingin menemuinya. Perasaannya sudah tidak nyaman. Sinar tahu, sang bunda pasti syok setelah pagi ini kedatangan Aida ke rumahnya. Saat itu, bertepatan dengan Sinar yang akan berangkat bekerja. Hingga ia tidak tahu menahu, apa saja yang telah dibicarakan sang bunda dengan Aida.“Di mana bunda bisa bicara?”Benar saja, wajah July datar dan sangat tidak sedap dipandang mata.“Bu-bunda naik apa ke sini?” Sinar sedikit tergagap, merasa gugup serta diliputi rasa bersalah.“Mobil! sama Jonas, nunggu di luar.”“Ki-kita bicara di mobil aja.”Sinar menelepon rekan kerjanya yang berada di atas, sembari mengikuti sang bunda untuk memasuki mobil yang terparkir di depan pagar. Memberitahu kalau Sinar tengah ada tamu dan akan menemaninya sebentar.“Apa-apaan ini, Nar? kenapa semalam ka
Pras menyatukan telapak tangannya di depan wajah, dengan kedua siku yang bertumpu di atas meja. Menatap tajam sekaligus dingin pada Sinar, karena ucapan wanita itu. “Yakin?” “Ya—kin …” namun intonasi yang dilontarkan Sinar sungguh tidak meyakinkan sama sekali. Apa yang diucapkan, sungguh tidak sejalan dengan hatinya yang masih saja gamang. “Tanggal sudah ditetapkan, gedung dan dekorasi sudah dirancang. Undangan juga sudah meluncur di percetakan. Cobu buka hapemu, hitung dengan kalkulator, berapa biaya yang sudah dikeluarkan sejauh ini. Kamu mau ganti itu semua?” Sinar berdecak pasrah dengan wajah memberengut. Menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dengan perasaan kesal. Tidak bisa membayangkan, berapa uang yang sudah digelontorkan Pras untuk membiayai semuanya. Terlebih, acara mereka akan berlangsung dalam sepuluh hari lagi, pastinya, uang yang dikeluarkan juga lebih extra karena tenggat waktu yang sangat sempit. “Tapi, Mas. Orang nikah itu
Hari pernikahan keduanya hanya tinggal menghitung hari. Namun, Pras masih betah berlama-lama di Singapura. Sedangkan Sinar,menguatkan diri untuk tidak menghubungi pria itu, meskipun pikirannya penuh dengan semua rasa curiga. Entah mengapa, Sinar yakin, kalau calon suaminya itu tengah berkangen ria dengan Gina di sana.Rasa gengsinya yang begitu besar itu lah, yang membuat Sinar enggan menghubungi Pras. Lagi pula, hal yang sama juga dilakukan oleh pria itu. Selama berada di Singapura, Pras juga tidak pernah sekali pun menghubungi Sinar.Jadi wajar, kan, kalau pikiran Sinar sudah berlarian ke mana-mana."Aww! Bund, kecucuk!" Sinar mengeliatkan tubuhnya, untuk menghindari tusukan jarum pentul yang tidak sengaja menyentuh kulit pinggulnya.Sinar tengah melakukan fitting gaun pengantin yang akan dikenakan di hari pernikahan nanti. Kalau dulu, ketika menikah dengan Bintang, baik akad maupun resepsi, Sinar mengenakan kebaya modern yang sangat elegan.
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama