Kembali, Pras merasa dimanjakan, karena tidak lagi perlu memilih pakaian untuk dikenakannya untuk berkerja. Satu setel jas lengkap beserta dasi dan tetek bengeknya sudah tergantung rapi. Siap untuk dikenakan. Belum lagi, dengan cekatan Sinar membantu mengancingkan kemeja dan memasang dasi persis seperti kemarin.
Itu berarti, Pras akan mendapat perlakuan seperti ini setiap harinya dari sang istri. Yang sampai detik ini, Pras seolah masih belum bisa mempercayai semuanya.
“Bekal yang kubawain kemarin, kamu makan gak, Mas?” Sinar memicing menatap curiga, menunggu Pras untuk menjawab pertanyaannya.
Kemarin Sinar membawakan satu buah sandwich tuna dan dua buah roti gulung sosis untuk bekal Pras di pesawat. Padahal, pria itu pasti mendapatkan makanan dari maskapai, tapi tetap saja Sinar membawakannya, hanya untuk melihat bagaimana perasaan Pras kepadanya.
Bagaimana pun, mereka sudah menjadi suami istri, jadi wajar kalau Sinar ingin tahu, sejauh mana niat Pra
Muup rada telat pake banget yakk ... kisseeedd
“Seriously, Pras?” Daya terkekeh dengan gelengan, ketika Pras baru saja menjatuhkan bokongnya di kursi. Keduanya tengah duduk berhadapan, di sebuah restoran Jepang. Sesuai dengan janji Pras, kala tengah berbulan madu di Raja Ampat bersama Sinar. Pria itu akan menemui Daya pada saat makan siang. “What?” tanya Pras pendek, lalu menyebutkan menu yang akan dipesannya untuk makan siang kepada seorang pelayan, yang sudah berada di sisi meja mereka. Daya pun menjeda jawabannya sejenak, untuk memesan menu kepada pelayan. Setelah sang pelayan mencatat semuanya, dan pergi, barulah Daya kembali berujar. “Kalian menikah?” Daya kembali terkekeh, masih sulit untuk mempercayainya. “Ada yang salah?” Daya menarik kursinya, semakin memasuki kolong meja makan, untuk lebih mencondongkan tubuh. “Kamu, sama Sinar? apa yang terjadi sebenarnya, sampai kalian bisa menikah?” Pras menatap datar, mengatup kedua telapak tangan di atas meja. “Kamu bawa berkas yang
Pras duduk bersandar dengan menyilang kaki. Seperti biasa, wajahnya terlihat datar terkesan begitu arogan. Melihat tajam pada seseorang yang baru saja keluar dari balik pintu, kemudian duduk tepat di depannya. Tatapan kedua sangat tidak ramah. Mengandung kebencian dalam konteks yang berbeda. “Kamu pasti sudah dengar kabar baik, tentang pernikahanku dengan Sinar.” Tidak perlu berbasa-basi atau pun bertanya kabar, karena itu tidak lah penting bagi Pras. Ia hanya ingin menunjukkan sebuah pencapaian, yang tidak pernah luput dalam genggamannya. Pria yang duduk bersebrangan dengan Pras itu, bergeming. Enggan menunjukkan ekspresi apapun. Namun Pras tahu, kalau pria itu pasti semakin membencinya. “Apa maumu, Pras?” “Aku, mau mengembalikan sepuluh persen saham Sinar yang ada di perusahaanmu. ISTRIKU, gak butuh itu semua.” Pastinya, kata istriku yang diungkapkan oleh Pras, diucap dengan penuh penekanan. Menerangkan, kalau Sinar sudah menjadi milik Pras seutuhny
Manik Sinar membola ketika membaca berkas di depannya dengan teliti. Bahkan, Sinar sampai membacanya berulang kali karena tidak percaya. “Ini, beneran punyaku, Mas?” Andai benar, mengapa Sinar baru tahu saat ini. Kenapa pula Bintang tidak pernah memberitahunya dahulu kala. “Hm, sepuluh persen saham Surya Eksporindo sudah jadi punya kamu sejak tanggal yang tercantum di situ.” Pras menunjuk berkasnya dengan mengendik dagu. “Tapi, hari ini juga harus kamu lepas dan kembalikan ke Bintang. Jadi tanda tangan di bawah sana.” Bibir Sinar kontan maju beberapa senti. Kenapa rejeki seperti ini harus ditolak, pikirnya. Setelah beberapa saat berpikir, Sinar menggeleng. “Apa boleh aku ketemu Mas Bin?” jelas saja jawabannya tidak. Sinar sebenarnya sudah tahu hal itu, tapi namanya usaha, kan, tidak ada salahnya. Siapa tahu otak Pras tengah bergeser sedikit hingga mengizinkannya bertemu Bintang. “NO!” Benar, kan, tebak Sinar, pasti ditolak. “Ta
Sinar terbangun dengan tubuh lelahnya. Hanya karena sekarang adalah hari libur, Pras benar-benar mengajaknya lembur dan tidak membiarkan Sinar jauh darinya.Memutar kepalanya ke samping, Sinar tidak menemukan Pras di sana. Tempat tidur pria itu kosong dan tidak terdengar pula suara gemericik air di kamar mandi. Ketika melihat jam yang terpaku di dinding dan terangnya bias mentari yang masuk melalui balkon, Sinar terhenyak. Buru-buru bangkit dan mengambil pakaian yang tercecer di lantai dengan asal.Memakai kaos sang suami, sembari beranjak keluar kamar. Sudut bibirnya tertarik lebar, tapi dengan rasa bersalah. Melihat Pras tengah duduk pada stool bar yang berada di kitchen island, sembari menyantap roti.“Kenapa gak bangunin aku?” Untung saja saat ini Sinar tengah menginap di apartemen. Entah apa jadinya jika ia tengah berada di rumah mertua. Bangun dari tidur, ketika jarum jam hampir mengarah ke angka delapan, sungguhlah memalukan.Pras melir
“Mas.” Sinar berusaha mendorong tubuh sang suami yang masih sibuk menjelajah di atasnya. “Ada yang ngetuk pintu. Buka dulu, paling mami.” Benar saja, selang beberapa detik setelah Sinar berujar, terdengar suara Aida mendayu dari balik pintu. Memanggil nama Pras dan Sinar secara bergantian. Helaan panjang dihembuskan Pras dari mulutnya. Lalu memberikan satu jejak terakhir pada dada sang istri sebelum bangkit. Beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu untuk Aida. Buru-buru Sinar melompat dan berlari menuju kamar mandi. Membenarkan pakaian dalam yang pengaitnya sudah terlepas sedari tadi. Meskipun dress rumahan yang dikenakannya masih untuh membalut tubuhnya. “Mana Sinar?” tanya Aida yang langsung menerobos masuk, setelah Pras membuka pintu. Pras melihat tempat tidur mereka yang sedikit berantakan, tidak ada Sinar di sana. “Di kamar mandi,” jawabnya karena tahu pasti, Sinar akan membenarkan sesuatu terlebih dahulu sebelum bertemu dengan A
Sinar menutup tas bekalnya, setelah keduanya menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. Setelah Pras menggantikan Raja di Casteel High, Sinar memang lebih sering pergi untuk makan siang bersama sang suami. Terkadang mereka makan di luar, tapi tidak jarang juga, Sinar membuatkan makan siang untuk dimakan bersama di ruangan Pras.“Pulang cepet, ya!” seru Sinar mengingatkan setelah meminum air mineralnya. “Mami sudah buatin janji sama dokter soalnya, jangan sampai telat.”“Hm.” Pras beranjak dari sofa menuju meja kerjanya. “Habis ini mau ke mana?”“Ke butiknya bunda.” Sinar melepas high heelnya kemudian mengangkat kakinya di atas sofa berselonjor. Bersandar pada lengan sofa dan melihat Pras yang sudah kembali menatap layar komputernya.“Apa ada butik baru di sekitar tempat bunda, Nar?” tanya Pras ketika mengingat ucapan Gusti. Ia belum mengambil kembali undangan yang sudah teronggok d
Pras berdecak ketika tahu, siapa dokter kandungan yang akan ditemuinya saat ini. Ia tahu kalau sang mami memang memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter kandungan, tapi kenapa, harus wanita yang berada di depannya saat ini. Pras memandang punggung sang mami, yang ternyata juga ikut bersama mereka. Sudah duduk bersebelahan dengan Sinar, dan mengambil alih tempat, yang seharusnya menjadi tempat duduk Pras. Bukankah seharusnya, dua tempat duduk yang bersebrangan dengan sang dokter, ditujukan untuk pasangan suami istri? Bukannya malah mertua dan menantu seperti ini. Dokter Novi tersenyum simpul ketika melihat Pras. Pria yang pernah hendak dijodohkan dengan putrinya, namun Pras bahkan tidak muncul ketika Aida dan dirinya sudah mengatur jadwal blind date untuk anak mereka. Kala itu, Pras beralasan tengah sibuk, karena ada janji mendadak, dengan salah satu anggota dewan yang menjadi kliennya. Novi sebenarnya sedikit terkejut, ketika menerima undangan p
Sinar yang tengah duduk di balik meja kasir, sontak berdiri ketika melihat Ato memasuki butik. Pria itu terlihat membawa rantang di tangannya. Buat siapa lagi, kalau bukan untuk Sinar. Aida benar-benar mengatur asupan makanan untuk Sinar, agar sang menantu itu bisa segera memberikan Pras keturunan.Terbebani sebenarnya, tapi, di satu sisi, Sinar juga merasa senang dengan semua perhatian yang didapatnya saat ini. Mendapatkan ibu mertua yang luar biasa baik seperti Aida, merupakan anugerah tersendiri baginya. Tidak bisa dibandingkan dengan pernikahannya dengan Bintang dahulu kala.Ato lantas tersenyum ketika melihat Sinar menghampirinya. Tidak lupa, ia mengangguk sopan kepada wanita yang kini telah menjadi majikannya. “Pesannya Bu Aida, harus dihabisi, Mbak!” Ato meringis dengan lebar, sembari menjelajahkan maniknya ke dalam area butik.“Makasih, To,” balas Sinar sembari menerima rantang yang berjumlah empat susun dari Ato. Makanan yang mas
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama