Kini Gara sedang dikantornya. Namun entah kenapa dia seolah mendapat firasat buruk. Dimana foto Naira yang dia letakkan di atas meja kerjanya tiba-tiba jatuh dan pecah. Membuat pria itu terkejut karena foto Istrinya yang tiba-tiba terjatuh tanpa ada yang menyenggolnya sama sekali.
"Kenapa perasaanku jadi gak enak seperti ini ya. Apa yang terjadi dengan istriku? Kenapa tiba-tiba fotonya terjatuh." Gara pun memanggil Sekretarisnya untuk meminta tolong membersihkan pecahan kaca figura yang membingkai foto istrinya. Lalu dia pun mencoba menghubungi ponsel Naira dan hanya terhubung dengan operator karena selalu berada di luar jangkauan.
Gara mencoba menghilangkan kegelisahannya dengan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya berkali-kali. Namun, perasaan aneh itu semakin kuat menyelimuti hatinya.
"Ya Allah ada apa ini?" Batin Gara semakin gelisah.
Tidak berselang lama. Tiba-tiba ponsel milik Gara berderi
Setelah cukup lama Gara mondar mandir di depan ruang UGD bak orang gila. Akhirnya pintu ruangan itu pun terbuka."Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Tanya Gara dengan wajah yang masih dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi istrinya itu.Dokter terdiam dan menarik nafas dalam-dalam saat mendapat pertanyaan seperti itu dari Gara. Membuat Gara terus bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan Naira dan calon anaknya.Gara benar-benar merasa sangat khawatir dan cemas karena dokter yang menangani Naira belum juga memberikan penjelasan. Dokter itu malah menatap Gara yang terlihat kebingungan.Dia pun kembali bertanya pada Dokter itu karena dia sudah tidak sabar ingin mendengar kondisi Istrinya itu."Dokter! Bagaimana keadaan istri saya?” Gara sedikit meninggi kan suaranya karena dokter itu masih terdiam.“Tenang Pak. Istri bapak sudah kami tangani dan s
Gara dan Naura saat ini sedang berada di dalam ruangan untuk melihat keadaan Naira. Tapi tiba-tiba Naira mengalami kejang-kejang. Melihat itu Gara dan kakak iparnya pun panik, dengan cepat Naura pun segera memanggil Dokter untuk melihat kondisi adiknya yang tiba-tiba saja kejang-kejang.Dokter yang dipanggil oleh Naura pun sudah datang. Dengan cepat dokter itu pun menyuruh Naura dan Gara untuk keluar agar dua dokter yang ada diruang itu bisa menangani Naira dengan baik.Gara kini terduduk dilantai. Tubuhnya seakan seperti jelly yang tidak memiliki tulang. Memikirkan keadaan Naira membuatnya menitikkan air mata. Jujur dia tidak akan sanggup menerima kabar yang buruk meski itu hanya sedikit, dia berharap Naira nya akan baik-baik saja.Naura pun merasakan hal yang sama. Kini dia menangis dalam pelukan teman prianya, dia juga tidak sanggup menerima keadaan Naira yang kemungkinan akan memburuk."Gimana ke
Satu bulan berlalu dengan cepat. Naira pun kini sudah sadarkan diri, namun dia seperti mayat hidup hanya bisa menutup mata saat tidur dan membuka mata saat bangun. tatapan Naira kosong dan tidak pernah merespon saat ada yang mengajaknya bicara dan seperti itu pun sudah membuat keluarganya dan juga Gara bahagia.Kini yang bisa dilakukan Naira hanya berbaring dengan sesekali membuka matanya namun tidak Gara selalu mengajaknya berbicara meski tidak akan mendapatkan respon dari Istrinya itu. Tapi Gara sudah sangat bersyukur dan dia terlihat bahagia.Saat mendengar bahwa Naira sudah siuman dari dokter yang merawat Naira. Gara yang saat itu kembali dari kantin terlihat sangat bahagia mendengar kabar dari dokter istrinya sudah siuman. Tapi sayang kebahagiaannya kembali hilang saat mengetahui keadaan sang istri yang masih belum bisa merespon. Itu berarti sama saja seperti saat Naira masih dalam keadaan koma. Mungkin Naira masih asyik berpetu
Saat Gara tengah berlari mencari keberadaan istrinya itu. Tiba-tiba dia terperosok kedalam sebuah lubang yang terlihat sangat dalam. "Aaaaaaa...." "Gara. Kamu kenapa, Nak? Gara bangun jangan berteriak seperti itu." Maura yang melihat menantunya berteriak-teriak memanggil nama Naira pun terlihat kebingungan. Terlebih saat dia mendengar Gara berteriak histeris. Membuat Maura bingung dengan apa yang terjadi pada menantunya itu. Maka dari itu dia langsung membangunkan Gara. Agar terbangun dari tidurnya. Gara yang merasa tubuhnya terguncang pun membuka matanya dan dia langsung terduduk dengan tatapan linglungnya. Lalu dia melihat kearah Naira yang masih tertidur di brankarnya. Pria itu pun merasa lega karena ternyata Naira masih ada dan tengah tertidur lelap di ranjang pesakitan itu. "Kamu kenapa, Nak?" Tanya Maura dengan wajah kebingungan. Gara hanya menatap ibu mertuanya lalu menggelengk
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Naira pun kini sudah diperbolehkan pulang. Tapi bukan pulang kerumahnya melainkan ke rumah orang tua Naira. Karena tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi pada Naira. Gara pun menyetujuinya untuk sementara mungkin sampai melahirkan Naira dan Gara akan tinggal dirumah Naira agar Maura bisa menjaga dan memantau putrinya itu.Perut yang semula rata kini menjadi sedikit buncit karna usia kehamilan Naira kini sudah menginjak usia ke tiga bulan. Naira kini sedang berada di fase yang sulit karena tubuhnya selalu lemas dan tidak memiliki tenaga.Akhirnya Gara lah yang kini menjadi sasaran Naira untuk bermanja. Seperti malam ini Gara harus setia menemani Naira di ranjang. Kedua tangan mereka pun saling bertautan. Sedang Naira kini berbaring sambil mencoba menutup mata. Dan Gara tengah duduk bersandar di sandaran ranjang sambil melihat acara televisi. Sesekali Gara melirik pada istrinya itu yang ter
Setelah selesai berbelanja. Gara dan Naira memilih untuk berkunjung ke rumah kakaknya. Mereka juga sudah membawakan beberapa bungkus makanan dan buah-buahan.Akhir-akhir ini Naira sangat ingin bertemu dengan Nindya untuk membicarakan masalah kehamilan. Keduanya akan berbincang-bincang sangat lama dan akhirnya meninggalkan Gara sendiri dengan kebosanan.“Kak Nindy. Naira datang” Ujar wanita itu dengan antusias saat masih berada di depan pintu masuk.Nindya yang mendengar panggilan Naira langsung keluar dari kamar. Mereka langsung bertemu pandang dan saling menebar senyum.“Wah, adik kesayanganku datang.” Pekik Nindya.Naira langsung memberikan kantung plastik yang dibawanya pada Gara dan berlari menuju Nindya.“Sayang, jangan lari.” Peringat Gara yang terlihat agak sedikit kesal.Naira langsung menghentikan aksi larinya d
Tidak terasa selamatan untuk 7 bulan kehamilan Naira pun akhirnya tiba. Semua teman-teman Gara dan Naira jugs sanak saudara pun datang untuk mendo'akan agar sijabang bayi dan ibunya selalu sehat sampai saatnya tiba melahirkan nanti.Naira tampak cantik dengan gaun berwarna putih. Meski perutnya sudah membuncit tapi tidak mengurangi kecantikan Naira."Wah emang ya bumil yang satu ini selalu tampil cantik," Ucap Nindya yang kini duduk disampingnya. Naira hanya tersenyum entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa gelisah entah apa yang dia pikirkan. Namun dia berusaha bahagia dihari pentingnya, meski pikirannya masih saja tetap gelisah.Acara selamatan 7 bulan kehamilan Naira pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Gara pun sangat bahagia saat melihat istri dan calon anaknya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja."Sayang ayo foto bersama," Panggil Jihan pada Naira yang kini tengah duduk sambil mengusap perut
"Mas... Aww... " Naira tiba-tiba meringis dengan keringat yang mengucur deras dikeningnya. "Kenapa sayang, kok kamu keringetan kayak gini?" Tanya Gara. Yang terlihat khwatir juga panik karena melihat Naira meringis kesakitan dan keringat yang terus mengucur didahinya . "Pe-perut a-aku sakit, Mas. Mungkin sudah waktunya melahirkan Ma... aww.... Sakit Mas." Naira kembali meringis karena rasa sakit yang dia rasakan semakin kuat. "Iya sayang. Tunggu sebentar ya, aku telepon Mama dan Papa dulu." Gara pun mengambil ponselnya yang berada dinakas samping ranjang dan langsung menelepon papanya. Tidak butuh waktu lama mama dan papa Naira pun langsung ke kamar Naira. Karena memang Angga masih tinggal dirumah orang tua Naira dan itu karena permintaan sang mama dan papa mertuanya selama Naira hamil. Dan nanti setelah anak mereka besar Maura baru mengizinkan Naira dan Gara untuk menempati rumah mereka lagi. "Ada apa
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men