Jam sudah menunjukan pukul 20.00 malam, tapi Septian dan Jihan masih saja tertidur lelap dikamar mereka. Karena aktivitas yang memang menguras tenaganya.
Oma Nadia pun menghampiri kamar tempat Cucunya beristirahat, karena sudah waktunya untuk makan malam. Namun, saat Oma Nadia memanggil Jihan dan Septian tidak ada jawaban dari mereka, karena memang mereka masih tidur dengan lelap.
"Ya sudahlah, mungkin mereka sangat lelah, aku tidak boleh mengganggu mereka," Ucap Oma Nadia yang kini akhirnya pergi meninggalkan kamar itu menuju Ruang makan, menghampiri Bi Isah yang sedang menyiapkan makan malam.
"Mana, Non Jihan dan tuan muda, nyonya?" Tanya Bi Isah. Yang hanya melihat Oma Nadia memasuki ruang makan sendirian.
"Mereka masih tidur, sudah lah biarkan saja, mungkin mereka lelah setelah melakukan perjalanan jauh, Jadi mereka tidur lelap. Sebaiknya kita makan duluan saja," Ajak Oma Nadia.
"Oh begitu, baiklah nyonya," Jawab &
"Septian, Jihan. Kalian disini?"Panggil seseorang yang kini menghampiri mereka berdua. Lalu Septian dan Jihan pun menoleh ke arah suara itu, lalu Septian tersenyum saat melihat sosok gadis yang kini ada dihadapannya.Semetara Jihan dia masih bingung dan bertanya-tanya tentang wanita yang kini berdiri dihadapannya dengan senyuman manisnya."Karina. Kapan sampai disini?" Tanya Septian terlihat senang, sampai-sampai dia pun melepaskan genggaman tangannya pada Jihan. membuat Jihan semakin bingung dan mulai merasa kecewa dengan sikap Septian."Baru saja datang kok. Aku buru-buru dari New York kesini karena ingin bertemu kamu dan Jihan. Aku penasaran dengan sahabatmu yang bernama Jihan. Ternyata aslinya lebih cantik ya," Puji Karina yang kini menatap Jihan dengan senyuman yang tidak pudar dari bibirnya.""Sahabat? Kenapa Septian ngenalin gue sebagai sahabat sama dia. Bukan kah gue ini
"Septian bangun kamu...!" Teriak Jihan. Yang kini suaranya menggema diruangan kamar mereka, membuat Septian menutup telinganya dengan bantal.Jihan yang melihat itu merasa sangat kesal lalu menarik bantal yang kini menutupi kepala Septian. Membuat Septian terpaksa membuka matanya dan langsung duduk di ranjangnya."Sayang, bisa gak banguninnya dengan cara lembut misal cium pipi kek, cium bibir juga ga apa-apa, jangan teriak-teriak kayak barusan," Ucap Septian. Sambil terduduk diranjangnya dengan menatap Jihan yang siap kembali mengomel."Ha ha ha, oh gitu ya maunya?""Iya dong sayang, kan sama suami harus lemah lembut," Jawab Septian dengan senyuman manisnya. Membuat Jihan geli sendiri saat melihat sikap sok manis Septian."Gak! Gak ada ya kayak gitu, kalau bangun orang tidurnya kayak orang pingsan. Kamu tau gak, Sep. Aku tuh udah bangunin kamu dengan nada halus beberapa kali tapi gak
"Jihan...!" Seru Maura yang melihat Jihan sudah kembali kuliah, dan kini sedang duduk manis dikelasnya. Lalu Maura pun menghampiri Jihan dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Iihh..., apa-apaan sih Ra. Risih nih gue dipeluk-peluk sama lo, gue masih normal kali!" Ketus Jihan sambil melepaskan pelukan Maura. "Ah, Jihan mah gitu, orang Maura kangen sama Jihan, kan udah seminggu gak ketemu, emang Jihan gak kangen sama Maura?" "Oohh manis banget sih sahabat gue ini. Sini gue peluk lagi," Ucap Jihan sambil kembali memeluk Maura. Karena tidak ingin sahabatnya itu kesal padanya. "Pagi Maura, pagi Jihan," Sapa Sandra yang baru saja memasuki kelas. "Pagi San," Sahut Jihan dan Maura secara bersamaan. Sandra pun tersenyum, lalu dia duduk di belakang kursi Jihan dan Maura. "Jihan, udah selesai liburannya?" Tanya Sandra. Dengan senyuman yang tidak pudar di bibirnya.
"Bun, kak Jihan ke mana?" Tanya Kiara yang tidak mendapati Jihan bersama Bundanya."Lagi istirahat sayang. Tadi habis bantuin Bunda masak, dia langsung ke kamarnya katanya cape terus agak pusing, jadi dia mau istirahat biarin aja jangan diganggu kasihan," Jawab Aleta."Oh, pasti sama kak Tian ya, Bun?" Tanya Kiara."Nggak, sendirian kok. Kakakmu justru belum pulang, kata kakak ipar kamu, katanya ada kelas tambahan dari dosennya kanseminggu gak masuk," Jawab Aleta. Sambil menonton serial televisi kesayangannya, sementara Kiara hanya manggut-manggut mendengar jawaban sang bunda.Sementara itu dikamar, Jihan masih menangis matanya sudah bengkak, setelah melihat instagram Sandra ada photo Septian dan Sandra yang terlihat mesra."Dasar cowok! Semua sama aja janjinya memang gak bisa dipegang," Ucap Jihan dalam isak tangisnya, Jihan pun kembali menangis dan mematikan ponselnya karena dia ti
Sementara itu dikamar kini Jihan dan Septian pun menikmati makan malamnya, setelah makan Septian pun membersihkan diri sedangkan Jihan berbaring diranjang sambil membaca novel favoritnya, tak lama Septian pun selesai membersihkan dirinya dan sudah memakai piama tidurnya, lalu dia pun mengambil buku yang dia beli di toko buku tadi, dan Septian pun duduk diranjang disamping Jihan, lalu dia memberikan buku yang tadi beli. Septian pun membelikannya untuk Jihan. Karena dia tahu Jihan pasti akan membutuhkannya juga"Ini, aku membeli buku ini karena pasti kau membutuhkannya juga, Yang. kamu dan Sandra kan satu jurusan, jadi kamu gak usah nyari-nyari lagi nanti." Setelah memberikan buku itu, Septian pun mengecup kening Jihan dengan lembut. Jihan pun tersenyum karena memang dia sangat membutuhkan buku itu untuk membuat bahan skripsinya, rencananya besok dia akan mengajak Maura untuk membelinya di toko buku."Makasih Sep. Aku memang butuh bang
Brukktiba-tiba ada yang menabrak jihan membuat buku yang Jihan bawa jatuh berantakan, dan itu membuat Jihan kesal."Hey lo! Kalau jalan tuh lihat-lihat dong! lihat tuh buku-buku gue jadi jatuh semua kan," Oceh Jihan yang kini memunguti beberapa buku yang memang berserakan dilantai."Maaf Nona aku tidak sengaja, aku sedang buru-buru tadi," Ucap seorang pria lalu membantu memungut buku-buku Jihan yang terjatuh."Sudahlah, lain kali kalau jalan tuh lihat-lihat, jangan seradak seruduk. Kayak banteng aja!" Ketus Jihan dengan juteknya."Maaf, Oh ya kamu dari fakultas kedokteran ya?" Tanya pria itu sok tahu."Lo tau dari mana? Kalau gue ambil jurusan kedokteran.""Dari buku yang kamu bawa, kebetulan aku juga mengambil jurusan kedokteran, pindahan dari Bandung, kalau gitu kita satu kelas dong, Oh ya kenalkan aku Gilang Kurniawan," Ucap G
"Jihan, mau pulang ya?" Tanya Gilang yang kini sudah berdiri di samping Jihan."Iya nih. Emang kenapa, Lang?" Tanya Jihan sambil sibuk membereskan buku-bukunya."Mau aku anter gak? Anggap aja sebagai perkenalan," Ucap Gilang. dengan senyumannya, jihan pun menatap Gilang. Lalu dia pun menolak secara halus."Nggak deh, Lang. Makasih, aku ada yang jemput kok," Jawb Jihan dengan sopan agar Gilang tidak tersinggung kepadanya."Oh, kalau gitu jalan kedepan bareng yuk, sekalian aku keparkiran, sambil ngobrol biar lebih akrab," ajak Gilang"Udah mau aja, Han." Maura Berbisik sambil tersenyum, dia tidak ingin sahabatnya itu terus-terusan jomblo, dan digoda terus menerus oleh Septian."Em..., ya udah deh, ayo." Jihan pun akhirnya mau ikut bersama Gilang. tanpa dia sadari, dari arah berlawanan Septian bersama Alex melihat, namun Jihan tidak melihat karena keburu berbelok
Septian kini sudah sampai dirumah, tentu saja tidak lupa membawa pesanan Jihan. Ice Cream Vanila special untuk Jihan dan coklat untuk dirinya, dia membeli 10 buah cup ice cream untuk persediaannya dan Jihan."Bun, Jihan udah pulangkan? Tanya Septian sambil menyimpan beberapa cup Ice Cream di kulkas."Tumben pulang-pulang langsung nanya Jihan? Udah tapi dia langsung ke kamar tadi, dan itu Ice Cream banyak banget buat siapa aja?" Tanya balik Aleta. Yang melihat putranya membawa banyak Ice Cream."Emang gak boleh, Bun. Kalau nanyain Jihan? Ya buat dimakan lah Bun. Masa buat Pajangan," Jawab Septian."Kamu ini kalau Bunda tanya pasti ada aja jawabannya," Ucap Aleta yang menatap gemas pada putranya."Hehe, ya udah Bun. Tian mau kasih Ice Cream pesenan Jihan dulu. Tadi dia nitip, ya udah sekalian aku ke minimarket jadi aku beliin, sekalian belinya buat nyetok siapa tahu yang dirumah juga pada ma
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men