Tak ingin membuang kesempatan bagus untuk membunuh lawan, Raja Wanajaya pun melanjutkan serangannya. "Pedang Penghancur Jagat!" teriak Raja Wanajaya, sembari melompat dan mengayunkan pedang Sabdo Bumi ke arah kepala Aji. Sigap Aji mengangkat pedang Naga Bumi ke atas kepalanya untuk menahan serangan yang sudah mengincar bagian tervitalnya.Kembali benturan dua pusaka itu menghasilkan dentuman dahsyat hingga membuat titik pertarungan bergetar hebat. Tidak sedikit pepohonan dan bangunan yang rubuh, tak mampu menahan getaran kuat yang terjadi beberapa detik lamanya.Raja Wanajaya terpental balik ke belakang, sedangkan kaki Aji terpendam sampai sebatas lutut. Namun, bisa terlihat jika kekuatan pusaka Aji lebih unggul dibanding pusaka Raja Wanajaya.Aji yang ingin mengakhiri pertarungan itu dengan cepat, langsung melompat tinggi sebelum kemudian melesat tajam dengan ujung pedang Naga Bumi berada di depan.Raja Wanajaya melompat mundur menjauh. Dia kini sudah menyadari bahwa kekuatan lawan
"Ayah pulang...!" Seorang lelaki tampan berteriak sedikit keras, ketika sudah berada di depan pintu sebuah rumah yang tertutup rapat. Tangan kanannya membawa dua biji kelapa muda, sedangkan tangan kirinya memegang erat sebilah pedang."Aneh...! Tidak biasanya siang begini pintu rumah tertutup rapat," gumamnya pelan."Ningsih, Bayu, ayah pulang... buka pintunya, Nak!" kembali lelaki itu berteriak sedikit keras, sambil mengetuk pintu dengan gagang pedangnya.Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki berumur sekitar 25 tahun tersebut dengan sedikit membungkuk, meletakkan dua buah kelapa hijau di atas tanah.Sekilas matanya melihat tetesan darah yang mengarah ke dalam rumahnya. Dia menoleh ke belakang untuk melihat bercak darah yang masih segar tersebut."Darah siapa?" Hatinya bertanya-tanya.Lelaki itu menyusuri tetesan darah segar yang mengarah ke pintu belakang rum
Aji keluar dari pintu belakang dan berlari dengan kencang menyusuri hutan yang terletak di belakang rumahnya. Dari jauh, dia bisa melihat rumahnya terbakar dengan hebat, dan para tetangganya bergotong royong berusaha memadamkannya. Tatapannya nanar menatap setiap bagian rumahnya yang ambruk satu persatu. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbai itupun habis terbakar dalam waktu singkat. Tidak ada barang berharga yang bisa diselamatkan, semua hangus terbakar. Lelaki 25 tahun itu melanjutkan larinya tanpa berhenti. Ayunan langkahnya menyibak dedaunan kering dan rerumputan yang tumbuh subur di dalam hutan. Degup jantung dan nafasnya memburu bagai genderang perang yang ditabuh bertalu-talu. Tujuannya adalah markas para perampok yang dipimpin oleh Winarto. Ambisinya untuk membalas dendam sudah berada di ubun-ubun, tapi tidak serta merta dia melakukannya, melainkan dengan sebuah rencana.
"Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya. "Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu. Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya. "Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya. "Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apak
1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung.Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal.Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya."Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar
Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras. Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam. "Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto. Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji. "Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya. "Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya. 40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat se
Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang."Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah mem
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa