"Josie?" Kak Lili menyebut nama Josie dengan tatapan yang meneliti pada wajah Josie. "Selamat pagi, Kak Lili." Josie menyapa dengan malu-malu. Pasti ada tidak nyaman dia berada di rumah gurunya sendirian dan untuk urusan pribadi. Itu yang kupikirkan. "Kamu tahu aku?" tanya Kak Lili agak heran. "Oh, iya ... saya datang waktu Kak Lili menikah dengan Bang Edo." Josie menjawab. "Ok ... Avin tidak cerita," ucap Kak Lili, melirik ke arahku. "Aku juga kaget Josie datang." Aku menyahut. "Aku datang bersama teman. Yang jadi MC di acara resepsi, kakak temanku itu." Josie menjelaskan. "Oh, oke ... paham," ujar Kak Lili sambil tersenyum. "Masuklah, tapi aku mau siap-siap." "Kak Lili ngantor Sabtu ini?" tanyaku. "Kamu pikir aku juga ga butuh jalan-jalan?" tukas Kak Lili dengan lirikan mata kembali menusukku. "Sayang! Aku udah siap!" Dari dalam rumah muncul Bang Edo. Mata kakak ipar seketika melebar waktu melihat ada cewek asing di depan rumah. "Ada tamu? Siapa ini?" tanya Bang Edo. "Ini
"Hei, sorry ... kamu ga usah jawab. Jangan dipikir. Mau foto?" Aku dengan cepat meralat pertanyaanku. Aku tidak mau Josie larut pada suasana yang tidak perlu. Josie tersenyum. "Aku baru sadar, kalau mama dan papa ketemu di Bandung, justru setelah aku sampai di asrama." Aku ikut tersenyum. "Sekarang, enjoy hari ini saja, ya? Jadi mau foto?" Aku mengeluarkan kamera dari tas kecilku dan bersiap mengambil gambar Josie. Josie tampak kembali malu-malu dan salah tingkah. Aku jepret saja beberapa kali. Dari angle manapun Josie terlihat cantik dan menarik. "Mau lihat hasilnya?" Aku maju beberapa langkah, menunjukkan hasil foto yang aku ambil. "Ih ... keren banget, Pak!" Komentar Josie. "Apa?" sahutku, mengingatkan, Josie salah memanggil. "Maaf ... Kak Avin ..." Josie tersenyum manis sekali. "Nah, itu baru pas," ujarku. Aku melihat sekeliling. "Mau aku ambil gambar di sebelah mana lagi? Di situ?" Aku menunjuk ke arah sebelah kanan, beberapa meter dari kami berdiri. "Boleh, di situ juga
Merona dan merona lagi. Wajah Josie bersemu merah. "Jangan liatin kayak gitu. Ayo, makan." Josie mengerjap beberapa kali, mengangkat sendok dan garpu, dia tunjukkan padaku. "Hee ... hee ... Ya, ayo makan." Senyumku melebar. Hatiku pun berdenyut. Aku mulai menikmati hidangan di depanku. Aku harus fokus pada situasi, dan tidak boleh melamun lagi. "Josie, kalau saja kamu tahu di dada ini sudah kayak perang," ujarku, tapi di dalam hati. Selama makan, aku dan Josie hampir tidak bicara. Sesekali aku melirik padanya. Josie serius sekali dengan makanan yang ada di piringnya. "Enak?" Akhirnya aku buka suara. Sepi dan kosong rasanya. Berduaan, tapi diam-diaman. "Enak. Aku suka makanan yang banyak sayuran," kata Josie. "Hmm, sejalur kita. Emang paling nikmat, apalagi dengan sambal." Aku menambahkan. Senyum simpul muncul di bibir Josie. Aku makin suka! "Tenanglah, Avin ... hari ini masih panjang!" Lagi-lagi hatiku berseru. Kami meneruskan makan, menghabiskan apa yang ada di meja. Puas s
Aku kaget dengan semua yang Lola katakan. Seharusnya tidak. Aku kaget Lola masih mengaku dirinya adalah kekasihku. Dia masih belum menerima kalau aku dan dia sudah putus. Aku melihat ke arah Josie. Wajah gadis itu kalau boleh kubilang berantakan. Ada tatapan kaget, bingung, malu, dan juga sedih bercampur di sana. Dia menoleh padaku lalu balik melihat pada Lola. "Kamu bicara apa, sih? Kamu ternyata ..." "Avin, ini siapa?" Lola memotong kalimatku, menunjuk ke arah Josie dengan tatapan geram. "Josie, kamu ke kamar Ertie. Bu Ferinda pasti menunggu kamu." Aku tidak menjawab pertanyaan Lola. Aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Semua begitu tiba-tiba terjadi di depanku. Hari yang begitu manis, diakhiri dengan kejadian mengejutkan. Josie masih bingung, tapi dia menurut. Secepatnya dia meneruskan langkah menuju ke ruangan Ertie. Aku tertinggal dengan Lola. Sekali lagi, aku harus menghadapi wanita yang keras kepala ini. Aku sendiri heran, bagaimana aku dulu bisa merasa begitu sayang pa
Wajah Tante Merlin yang sendu tetapi juga penuh harap, aku tidak mungkin lupa. Hatiku meluap dengan sayang dan kerinduan besar ingin membuat Lola bahagia. Aku ingin berusaha memberikan apa yang Lola tidak dapatkan karena ketidakharmonisan dalam keluarganya. Sekalipun, aku juga mengalami situasi yang sama. Tentu saja juga dengan harapan, Lola akan bersikap sama kepadaku. "Lola tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah sebagaimana harusnya. Itu sebabnya dia menjadi wanita yang susah dikendalikan. Aku sibuk mencari cara menutupi kebutuhan di rumah dan tidak bisa sepenuhnya memperhatikan dia. "Kamu pria baik, Avin. Putriku akan bahagia jika dia bersama kamu. Aku senang, dia menemukan kamu yang menjadi kekasihnya. Kalau boleh, jangan lama-lama kalian pacaran, segeralah menikah." Namun, siapa yang tahu, tidak sampai dua tahun hubungan asrama yang aku bina dengan Lola, kami mulai berjarak. Semakin lama semakin melebar. Seolah-olah Lola berjalan ke kiri dan aku memilih ke kanan, ta
Aku kesal sekali. Di tengah situasi rumit yang tiba-tiba mendera, Bang Edo nambah lagi. Aku harus bicara antara laki-laki dengan Bang Edo. "Jangan sok ga ingat. Yang aku ucapkan sudah jelas sama kamu. Soal kamu itu guru dan ..." "Aku tahu, Bang. Sangat paham. Abang udah di rumah belum? Aku minta waktu bicara," sahutku. "Oke, aku tunggu," kata Bang Edo sepakat. Selesai. Ponsel aku masukkan kantong celana lagi. Josie tidak bergerak, tetap melihat lurus ke depan. Entah apa yang dia pikirkan. "Josephine, aku harus pulang. Apa kamu tidak akan apa-apa sendiri di sini?" Aku berdiri dan memperhatikan Josie. "Ga apa-apa, Pak. Kalau ada sesuatu saya akan menghubungi Bu Ferin," jawab Josie. Sangat tidak nyaman dia sengaja memilih membatasi diri begini. Aku tidak bisa. Josie sudah bisa dekat denganku, aku tidak mau dia menjauh. Aku kembali duduk. Josie melihat ke arahku dengan pandangan heran. "Seandainya, aku bukan gurumu, apa kamu akan menjauh setelah tahu Lola?" Aku bertanya serius. Jo
Bang Edo memandangiku. Dia tidak mengatakan apapun. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Untuk beberapa waktu, kami hanya saling diam. "Hai! Duduk berdua, sunyi senyap gini. Kayak pacaran tapi lagi marahan." Kak Lili muncul. Tangannya membawa sepiring pisang goreng. Aromanya khas. Aku suka pisang goreng Kak Lili. Persis seperti kalau mama yang buat. Kak Lili meletakkan piring di meja di depanku dan Bang Edo. "Aku lagi galau. Tapi kenapa tergoda kalau masakan Kak Lili nongol?" Tanganku mencomot sepotong pisang goreng. Langsung aku gigit ujungnya. Hm, emang lezat. "Galau kenapa? Bang Edo bikin kamu galau?" tanya Kak Lili. "Tanya aja, tuh. Manusianya masih di sini." Aku mencibir. Satu potong lagi aku ambil. Lalu aku berdiri dan membawa pisang beserta tasku ke dalam kamar. Aku bisa menebak, terjadi perbincangan serius di antara mereka. Masuk ke kamar, aku segera mandi. Dengan badan segar, aku kemudian duduk di atas kasur, memindahkan isi kamera hasil perjalanan hari itu ke laptop.
Resti berbalik, menghentikan langkahnya. "Josie cari aku." "Josie? Dia kenapa?" tanyaku dengan cepat. Pikiranku segera saja merayap, ada rasa kuatir lagi. Resti mengerling. "Josie ... Nanti aku kabari. Aku sampaikan kalau Pak Avin kangen sama dia!" "Resti!" Aku tersentak. Kalimat itu, yang terakhir, berarti Resti sadar, aku punya hati buat Josie. "Tenang, Pak, kalau ada apa-apa, aku akan cepat lapor! Don't worry, soal hati, aku ga ember!" Resti melambai. Langkahnya ringan keluar kelas, meninggalkan aku termangu di tempatku, melihat ke arah pintu. Aku harus bersiap. Kalau satu orang tanpa sengaja melihat aku dan Josie berdua, entah di mana itu, hanya dalam hitungan jam, maka penduduk sekolah akan tahu, ada sesuatu antara aku dan Josie. Oh, no ... Aku makin cemas. Bukan soal aku cinta Josie, tapi apa Josie siap dengan semua yang akan menerjang di depan? Aku harus berpikir dan bertindak. Tidak boleh salah langkah! Ponsel yang masih di saku ransel aku keluarkan. Lebih baik aku mengh
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap