Ambulans meluncur ke rumah sakit. Lola dan aku ikut di belakang dengan mobil Tante Merlin. Lola tampak sangat cemas. Kata-kata perawat membuat Lola makin kuatir. Aku pun merasakan yang sama. Kondisi Tante Merlin memang mengawatirkan. Hanya bisa berharap, Tante Merlin cukup kuat dan bisa bertahan. Lola sudah tidak ada papa lagi. Mama dan papanya berpisah saat Lola masih duduk di sekolah dasar. Satu-satunya orang tua yang Lola punya hanya Tante Merlin. "Vin, aku takut." Lola memandangku. Kami menunggu di luar ruangan ICU. Kalimat itu yang kesekian kali Lola ucapkan. "Kalau mama ga bertahan, aku gimana?" kata Lola dengan hati pedih. "Tante Merlin pasti bertahan, aku yakin," ucapku. Aku berusaha agar Lola tetap tenang dan tidak terlalu cemas. Sekalipun aku juga tidak tahu apakah Tante Merlin akan bisa kuat dengan kondisinya yang sangat mengawatirkan. Sepuluh menit kemudian, aku dan Lola dipersilakan masuk ke ruangan untuk melihat Tante Merlin. Peralatan medis bertebaran di tubuhnya.
Aku masih tak percaya dengan yang Lola katakan. Dia tidak ingin menemani Tante Merlin di saat seperti ini? Bukannya sebelumnya dia tampak begitu sedih? Bukannya dia takut kehilangan Tante Merlin? Aku masih bisa membayangkan pelukan eratnya padaku, seakan meminta dukuganku agar kuat karena kepedihan hatinya. Belum sampai hari berganti, baru beberapa waktu, Lola lebih memilih pekerjaannya. Aku benar-benar tidak bisa memahami pikiran Lola. Kalau aku tidak salah menyimpulkan, bagi Lola yang paling utama buatnya adalah karir. Bukan mamanya. Juga bukan aku. "Aku tidak bisa menunggu, Vin. Aku harus pergi. Aku janji, jika urusan selesai, aku segera balik. Tapi sangat mungkin aku baru bisa kembali besok pagi." Lola mengangkat tasnya yang ada di kursi di sebelah ranjang. "La, kamu serius? Kamu tega pergi dengan kondisi ini? Kalau Tante Merlin bertanya ..." "Kamu pasti bisa menenangkan mama." Lola menyahut. "Vin, ini juga ga mudah buat aku. Ninggalin mama seperti ini, aku ga tega. Tapi di sis
Josie menatapku. Aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu tapi ada yang menahannya untuk bicara. "Josie, kamu bilang aja sama Pak Avin. Daripada kamu dipaksa ke guru BK. Kamu mau ketemu Bu Wedari?" Resti memecah kesunyian di antara kami. Josie menoleh pada Resti, lalu mendesah. Napasnya terasa berat. Aku menduga Josie takut mengatakan yang sebenarnya, takut salah percaya pada orang yang dia hadapi ketika dia bicara. "Aku ga tahu ..." Josie tampak ragu. "Percaya sama aku. Aku juga punya rahasia dan Pak Avin ga ember, kok," ujar Resti. Mataku cepat menoleh pada Resti. Rahasia apa? Kenapa Resti bilang begitu? "Baiklah. Aku, aku akan cerita. Setelah sekolah." Josie memutuskan. "Good," sahut Resti. "Kapan saja, asal kamu siap." Aku ikut menimpali. "Udah hampir masuk. Ayo," ajak Resti. Tangannya menggandeng Josie. Josie manut dan tidak menolak. Aku senang. Perlahan, Resti berhasil membuat Josie nyaman dan mau berteman. Aku mengikuti kedua muridku itu menuju kelas. Dua menit lagi bel
"Josie ..." Aku dan Resti memanggil bersamaan. "Ga apa-apa. Aku akan mencari tempat lain buat aku ..." "Josephine! I need you to give me time to listen and understand!" Aku mencegah Josie agar tidak meneruskan langkahnya! Josie langsung berhenti. Dia masih berdiri memunggungi aku dan Resti. "Josephine, bukan berarti aku ga percaya. Aku masih harus mencerna semuanya. Please, lanjutkan. Aku janji ga akan menyela hingga kamu tuntas bicara," ujarku. Aku berharap Josie akan berbalik dan kembali ke kursinya. "Josie ... please ..." Resti ikut membujuk. Josie memutar badannya. Dia memandang padaku dan Resti. "Promise, aku ga akan bicara sampai kamu selesai." Aku meyakinkan Josie. Josie kembali. Dia duduk lagi di kursinya. Aku lega dan siap mendengar kelanjutan cerita Josie yang masih misteri buatku. "Aku makin takut tinggal di rumah. Itu rumahku sendiri, tapi aku merasa asing. Tante terus saja menyuruh aku melakukan ini dan itu, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci, dan se
Dengan pikiran masih penuh, aku meninggalkan sekolah. Tujuanku pulang. Aku tidak ingin ke mana-mana. Masih berkeliaran semua kisah yang Josie buka tentang dirinya. Jika itu benar, betapa perih hidup yang dia jalani selama ini. Sedikit banyak aku bisa paham kalau Josie lelah dan ingin meninggalkan semua kemelut hidupnya. Tapi tidak, tidak semudah itu. Hidup masih berjalan, pasti ada yang baik akan datang. Mobil Bang Edo tampak di depan rumah. Tumben, jam segini calon kakak iparku datang. Artinya Kak Lili juga ada di rumah. "Haa ... haaa ...!!" Tawa lepas terdengar dari dalam rumah. Suara Bang Edo dan Kak Lili tertawa bersama. Aku bergegas melangkah menuju teras. Pintu terbuka. Tampak Bang Edo dan Kak Lili ada di ruang tamu. "Hai! Baru pulang?" sapa Bang Edo. "Aku yang harusnya nanya? Kalian berdua ngapain jam segini di rumah? Jam kerja belum kelar," jawabku. Aku masuk di duduk di kursi tepat di samping Kak Lili. Aku perhatikan di meja penuh dengan goodie bag. Ada yang coklat, put
"Kamu memang paling ga bisa liat orang susah. Aku udah hafal tabiatmu yang satu itu. Asal tidak menimbulkan masalah baru saja, Vin." Bang Edo memecah keheningan di antara kami. "Iya, Bang. Aku akan ingat itu." Aku mengangguk. "Sayang, aku harus balik ke kantor. Aku janji paling lambat sebelum jam empat sudah bisa lanjut kerja. Aku pulang agak larut. Jadi ga usah chat atau telpon kalau ga mendesak." Bang Edo berdiri. "Iya, aku ga akan ganggu." Kak Lili menyahut. "Tapi, kalau kirim chat I Love You, ga dilarang. Aku tunggu," sambung Bang Edo. "Duh, bucin ga abis-abis. Bikin jealous kali!" sahutku. Bang Edo ngakak. Dia melambaikan tangan dan berjalan keluar rumah. Kak Lili mengantar ke depan. Aku memilih masuk ke kamar. Lebih baik aku bersihkan badan, istirahat sebentar, lalu mencari strategi bagaimana caranya yang paling tepat bicara dengan wali kelas Josie dan Ibu Kepala Sekolah. Malam ternyata cepat berlalu. Aku tidak juga menemukan cara jitu menolong Josie kecuali bertemu dan b
Aku kaget, benar-benar kaget, Resti menyerahkan buku rahasia Josie padaku. "Kamu apa-apaan?" tanyaku dengan mata setengah melotot. "Pak, kalau ga gini, ga tahu kita yang terjadi. Dan ga ada bukti. Kecuali Josie mau bicara dengan tantenya. Kalaupun tantenya datang, apa iya dia akan ngaku, di rumah tempat dia dan Josie tinggal dipakai untuk adegan dewasa?" Resti memandangku. Aku menghela napas. Resti benar. "Aku tahu ini salah. Aku mencuri buku Josie. Tapi ... tiba-tiba saja aku punya pikiran dan waktu lihat buku itu aku ambil." Resti merasa bersalah juga tampaknya. "Baiklah. Yang penting kita bantu Josie tetap stay di sekolah. Itu dulu," ujarku. "Kamu cepat ke kelas sana." "Iya, Pak," kata Resti. Segera gadis itu meninggalkan aku, bergegas ke kelasnya. Aku menoleh lagi ke arah asrama. Sepi, tidak tampak siapapun. Aku membalikkan badan dan melangkah menuju ke kantor. Bu Rani, aku harus menemuinya, tapi setelah aku mendapat sesuatu dari buku harian Josie. Di kantor sudah lumayan b
"Pak Avin!" Panggilan itu terdengar. Suaranya berat, bukan suara Josie. "Pak Avin!" Sekali lagi kudengar. Segera kesadaranku pulih. Ternyata salah satu murid kelas yang memanggilku. Kenapa aku bisa membayangkan begitu jauh tentang Josie? Apa benar, yang Bang Edo bilang, aku suka sama Josie? Aku mulai ada hati untuk muridku itu? "Oh, ya, gimana?" Aku segera menengok pada murid dengan rambut cepak itu. "Udah betul belum, Pak?" Tangan murid itu menyodorkan buku latihannya. Aku kembali konsentrasi, memperhatikan pekerjaan muridku. Tidak lama lagi. Hanya sekian menit lagi, sabarlah. Aku berusaha menenangkan diri sendiri. Begitu bel usai kelas, aku segera meminta murid-murid mengumpulkan tugas mereka di meja. Lalu aku membereskan semuanya dan bergegas meninggalkan kelas. Tujuanku adalah mencari Josie dan Resti. Apakah Josie sudah bertemu dengan Ibu Kepala dan Wali Kelasnya? Apa yang terjadi kemudian? Apa benar, Bu Rani bisa meyakinkan Ibu Kepala agar membiarkan Josie tetap meneruskan s
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap