Sampai di rumah sakit, begitu mobil aku parkir, Leena berlari dengan cepat mendahului menuju ke ruang gawat darurat tempat Aiden ditangani paramedis. Aku berjalan cepat menyusul, sembari aku menggunakan ponsel. Aku harus mengabari Josie, aku terpaksa memutar haluan, ada yang harus aku lakukan. - Josie, maaf, aku telat. Ada yang mendesak aku harus lakukan. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Selamat buat hari ini. Kita ketemu nanti sore di taman kota seperti rencana, oke? Jam enam. Aku janji akan tepat waktu. Aku tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya. Nanti saja saat aku bertemu dengan Josie, aku akan ceritakan. Yang pasti, hatiku kacau sekali. Aku kembali mengingkari janji pada Josie. Sepulang acara di kampus, aku akan mengajak Josie ke taman favorit kami dan mengabiskan waktu di sana. Jika siang ini aku terpaksa, sangat terpaksa tidak datang, maka sore hari aku harus ada di sana. "Josie, maafkan aku. Tapi aku tidak tega membiarkan Leena sendirian di situasi ini. Aku yakin kamu
Tanganku masih gemetar, dadaku makin meronta. Josie memutuskan hubungan? Lalu dia pergi? Dengan panik aku membawa kotak dari Josie dan bergegas ke rumah besar. Aku membuka pintu ternyata tidak dikunci. Kunci rumah tergantung di bagian belakang pintu. Aku cepat melangkah masuk, menyalakan semua lampu karena hari mulai gelap. Lalu aku menuju kamar Josie. Seperti biasa, kamarnya rapi dan wangi. Semua masih tertata rapi di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda Josie meninggalkan rumah. Aku masuk sambil mengedarkan pandangan ke semua arah. Aku perhatikan lagi baik-baik. Josie mungkin hanya menakutiku. "Josie, kamu ingin membuat aku kesal saja, kan? Kamu ingin minta perhatian karena aku tidak menepati janji?" Aku bicara sendiri. Tapi berharap di hati, kamu bisa mendengar yang aku katakan. Mataku berhenti pada lemari pakaian. Pintunya ternyata tidak tertutup rapat. Dengan cepat aku membukanya dan ... "Tidak, tidak mungkin ..." Kembalikan degupan kencang melanda dadaku. Lemari itu hampir koso
Aven terlihat sibuk dengan ponselnya. Aku tidak tahu apa yang dia cari. "Aven?" Aku memanggilnya meminta dia memberi saran ke mana kami bisa mencari Josie. "Aku mencari info lewat sosial media. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita hubungkan dengan kepergian Josie." Aven menjawab akhirnya. Aku menepi dan memilih menghentikan mobil. Aku sepakat dengan Aven. Sangat mungkin lewat sosial media kami bisa menemukan jejak Josie. Dari sana bisa terlihat siapa yang sering berkomunikasi dengan dia. Foto-foto acara wisuda terpampang di depanku. Josie tertawa bersama teman-temannya. Tapi tidak satu pun dari foto-foto itu ada aku di sana. "Beberapa orang yang mungkin bisa aku hubungi dan bertanya. Aku kenal mereka. Karena aku sempat ikut acara di kampus Josie beberapa kali." Aven menambahkan. "Oke. Siapapun itu, kita harus bertemu mereka. Mungkin saja Josie pergi ke tempat salah satu dari mereka," ujarku. Semangatku kembali bangkit. "Kak, sudah lewat jam sebelas malam. Tidak mungkin sekarang kit
Hatiku terasa berat. Ada degupan kuat di sana. Keputusanku bulat. Aku akan pulang ke Indonesia mencari Josie. Ada satu ruang di hatiku yang belum yakin kalau dia nekat pergi ke Indonesia, tapi di sisin lain ada dorongan kuat, Josie memang telah pergi kembali ke tanah air.Dengan perasaan galau aku berpamitan pada Tante Melinda dan Ralph. Lalu pada Ayah dan Jenina, juga pada Aven dan Arvi. Mereka memelukku dengan derai air mata. Sedih, semua kami merasa sedih. Tapi mereka meyakinkan aku akan terus mencari Josie. Apapun perkembangannya mereka akan memberi kabar. "Aku tidak mengira akan seperti ini. Aku sangat senang saat kamu dan Josie datang, rumahku akan lengkap dengan kehadiran kalian. Lalu Ralph juga. Huuffhh ..." Tante Melinda mendesah dengan hati pilu. Dia menepuk-nepuk bahuku, berusaha menguatkan aku. Kurasa dia juga sedang menguatkan dirinya sendiri."Maafkan aku, Tante. Aku akan cari Josie sampai ketemu. Di manapun pasti aku bisa menemukannya. Sejauh apapun dia masih di bumi i
Senyum Resti lenyap. Wajah cerianya berubah menjadi ciut. Dia menatap aku dengan mata nanar. "Pak Avin sama Josie putus? Kalian bertengkar? Kak Avin selingkuhin Josie?" Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur cepat dari bibir Resti. Aku menggeleng cepat. Aku pun kembali mengurai apa yang terjadi antara aku dan Josie. "Pak Avin ga bohong, kan?" tanya Resti setelah penuturanku usai. "Kamu tahu aku, Res. Pernah aku bohong?" tanyaku balik. "Ya Tuhan ... Makanya akhir-akhir ini aku ga bisa kontak dia. Cuma kukira dia ganti nomor saja dan ga sempat kabari aku. Sosial media Josie ga ada perubahan apapun, buat aku itu ga aneh, sih. DIa memang jarang ngurus, apalagi kalau sibuk." Resti bicara dengan suara lesu. "Bantu aku, Res. Aku harus menemukan Josie. Aku mau membereskan semuanya. Aku mau melanjutkan rencana kami. Dia ingin kami menikah di sini selesai dia kuliah." Aku memandang Resti dengan hati terasa begitu pedih. "Siap. Aku akan bantu Pak Avin. Tapi waktuku ga banyak, aku harus kerja
"Ertie, kamu di mana? Josie di mana?" Aku berbisik lirih sambil kembali mengedarkan pandanganku ke segala arah. "Selamat sore, Pak. Silakan buku menunya," kata salah seorang pelayan wanita dengan ramah. Dia masih muda. Kukira usianya tidak terlampau jauh dengan Josie, Dia tersenyum sambil tangannya menyodorkan buku menu padaku. "Terima kasih," jawabku. Tidak ada niatan makan apapun. Tapi tidak mungkin aku tidak pesan apa-apa. Minuman khas resto itu yang akhirnya jadi pilihanku. Resto lumayan ramai. Apalagi tidak lama waktu makan malam tiba. Pengunjung mulai berdatangan. Tetapi, tidak terlihat sama sekali Ertie di sana. Minumanku datang. Aku biarkan saja di atas meja di depanku, tidak ingin aku menyentuhnya. Hatiku makin tak tenang. Mengapa tidak terlihat Ertie? Aku terpaksa membuka ponsel dan berniat menghubunginya. Aku ingin memastikan saja jika dia memang masih bekerja di restoran ini. Tahun lalu dia menikah dengan keponakan Bu Ferinda. Apakah setelah itu dia resign? "Harun!" Ad
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap