Aku sudah di depan pintu dan hampir melangkah keluar rumah. Mendengar pertanyaan Leena, aku urungkan. Sebaliknya aku memutar badanku dan melihat pada Leena. "Ya, tentu." Aku mengangguk. "Tidak mungkinkah permintaan Aiden terwujud?" Pertanyaan berikut yang aku kaget, tetapi juga tidak yang kudengar. "Maksud kamu?" Bukan aku tidak paham apa yang Leena ingin katakan, tetapi aku mau dengan jelas Leena menyampaikan yang dia mau. "Avin, kamu sangat baik. Tulus memperhatikan aku dan Aiden. Aku tahu kamu sibuk, kamu rela memberi waktu kamu. Aku, yang aku pikir, apakah karena kamu memang baik, atau ..." Kedua bola mata Leena memandang tajam padaku. Aku menunggu saja, biar Leena menyelesaikan kalimatnya. "... tidak berlebihan bukan, kalau aku merasa kamu lakukan semua ini padaku dan Aiden karena kamu ada hati untukku?" Tidak. Ini yang aku takutkan. Aku berharap pikiranku salah, ternyata ... "Leena ... kita berteman. Selain sebagai sesama g
Aku menyusuri jalanan dan secepat mungkin ingin segera tiba di rumah. Di sampingku, Josie terus saja berkata-kata ingin meluruskan situasi yang terjadi. Aku makin kesal saja karena buat aku Josie hanya cari alasan agar tidak terlihat salah. "Kak, aku ga mungkin kayak gitu. Aku cuma sayang sama Kak Avin. Kalaupun kami akrab, itu cuma temenan. Teman dekat, ga lebih. Horgan itu, dia orangnya memang ramah, pakai banget. Makanya ..."Josie tidak juga meredakan mulutnya dari banjir informasi yang buat aku sama sekali tidak perlu aku terima."Bisa kamu diam?!" Aku menyentak Josie, memaksa dia menghentikan semua omong kosong yang dia jadikan alasan untuk membenarkan diri. "Aku ..." Seketika Josie menutup mulutnya. Dia terkejut aku setengah berteriak dengan nada kesal padanya. "Pusing aku mendengar semua itu. Hanya alasan. Ga ada guna," lanjutku. Josie tidak menyahut, bahkan dia tidak bergerak, duduk lurus menghadap ke depan. Mobil aku hentikan di pinggir jalan, tepat di depan halaman. "Tu
Leena memandang dengan penuh harap padaku. Dia ternyata sama sekali tidak ingin mundur dari keinginannya bisa menjadi kekasihku. "Avin, kamu tahu aku benar. Kamu sedang resah. Kamu akui atau tidak, di hatimu ada tempat buat aku. Kamu hanya tidak menyadari atau kamu mengelak karena kamu masih punya kekasih." Leena mencondongkan badan, makin merapat ke meja. Tangannya terulur memegang tanganku. Aku tak bergerak, walau begitu bukan berarti aku suka yang dia lakukan padaku. "Beri aku kesempatan, aku akan buktikan aku punya cinta lebih besar buat kamu," tutur Leena. "Kamu salah paham, Leena. Memang saat ini hubunganku dengan tunanganku sedang tidak baik. Tapi tidak berarti aku tidak sayang padanya." Aku melepas perlahan pegangan tangan Leena. Leena tersenyum kecil. Dia tampak sangat tenang. Mata beningnya kembali menghujam ke arahku. "Baiklah. Anggap saja kamu sangat cinta dia. Sebaliknya, apa dia juga punya rasa sama buat kamu? Sedalam cinta kamu untuknya? Masalah kalian tentang kese
Aku menggaruk-garuk kepalaku mendengar pertanyaan Josie. Apa aku masih marah padanya? Melihat dia sakit aku kalang kabut. Aku juga kalang kabut melihat dia dekat pria lain. Dua kali aku cemburu pada Aven yang ternyata adalah adikku. Yang ketiga, aku cemburu pada teman Josie yang ternyata punya kekasih dan bukan gadis sembarangan. "Kenapa ga dijawab?" tanya Josie dengan kedua tangan menopang pipinya. "Aku masih marah, tapi dikit." Aku menepok-nepok jidatku. "Masih marah? Kenapa lagi marahnya?" ujar Josie. "Karena aku ga bisa jalan-jalan sama kamu. Peraturan yang kita buat malah menjebak." Aku ikut menopang dagu. "Kok menjebak? Kan biar kita hati-hati, ga sembarangan. Menjebak di mananya?" Josie bertanya dengan heran. "Kita jaga jarak, tapi malah orang lain yang mendekat," kataku. "Hm, Kak Avin lagi dekat sama siapa?" Josie langsung menegakkan badan dan menatap tajam padaku. Aku tersenyum. Aku meraih tangan Josie dan menggenggamnya erat. Aku memandang wajahnya yang masih sedikit
Aku ingin mempercepat langkah, tapi rasanya tidak bagus juga aku terus menghindari Leena. Belum tentu setiap dia mencariku bukan urusan pekerjaan. Aku terpaksa menghentikan kaki dan menunggu Leena mendekat. " Ya, Leena?" Aku bertanya. Leena tepat di depanku. Dengan tas di pundak dan folder merah lumayan besar dia pegang di dadanya. "Ini hari terakhir sekolah. Libur sampai hampir dua bulan. Siap berpetualang?" Leena memandangku. Apa maksudnya dengan pertanyaan itu? "Ya, tentu. Aku dan Josie sudah punya beberapa rencana. Kali ini tidak akan sepi seperti yang aku kira. Karena Josie harus mengejar target juga agar semester depan dia bisa maju penyelesaian tugas akhir dan kemudian wisuda," jawabku dengan senyum lebar. "Oh? Tunangan kamu masih kuliah?" Leena cukup kaget mendengar itu. Aku memang tidak pernah bercerita banyak tentang Josie selama ini. "Yup. Dan aku tentu akan mendukungnya. Karena setelah itu kami akan mengatur pernikahan." Senyumku kembali lebar. Aku ingin Leena paham,
Leena menatap padaku. Dia tepat ada di sampingku. Aku juga menoleh padanya. Jadi, Aiden masih berharap aku dan Leena bersama? Apa Leena tidak memberitahu adiknya jika aku tidak jomblo? "Oke ..." Leena tiba-tiba mendekatiku dan mendaratkan kecupan di bibirku. Aku sangat kaget. Refleks aku mendorongnya dan sedikit mundur. "Hei! Nice!" Aiden berseru kegirangan. Aku benar-benar jadi salah tingkah. Apa yang Leena lakukan? "Leena??" ujarku dengan nada kesal, tapi aku berusaha tetap menahan diri. "Please, aku akan jelaskan nanti," ujar Leena. Dia tahu aku marah karena apa yang dia lakukan. "Kita pulang, atau kalian pulang sendiri dengan taksi," ucapku mengancam Leena. Leena pun mengaatakan cukup pada Aiden. Kami meninggalkan pantai, kembali ke rumah Leena. Sampai di rumah, Aiden tampak kelelahan. Wajahnya mulai pucat dan tubuhnya sedikit gemetar. Segea Leena memberikan obat dan menolong Aiden agar segera tenang dan bisa istirahat. Aku ingin pamitan, tapi tidak enak juga kalai harus p
"Josie belum pulang. Mungkin sebentar lagi." Tante Melinda yang menjawab. "Oh?" Aku kaget. Jadi Josie ke mana dengan taksi yang dia tumpangi? "Oke, baiklah. Terima kasih." Aku berbalik dan keluar rumah. Aku berdiri di teras, berpikir ke mana kira-kira Josie pergi? Tempat apa yang akan dia tuju kalau sedang kesal seperti ini. Belum yakin, tetapi aku kembali masuk ke dalam mobil dan menyusuri lagi jalanan. Aku menghubungi Josie beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Kacau. Ternyata kebaikanku hanya dimanfaatkan oleh Leena. Aku menyesal memberi kesempatan lagi untuk berbaik hati. Keputusan sebelumnya menghindari dia sudah tepat. Satu kali saja aku membuka diri, ternyata ini hasilnya. Aku benar-benar merasa bodoh! Satu tempat yang akhirnya muncul di kepalaku, taman kota. Aku hampir yakin Josie ada di sana. Taman di pinggir kota, tempat yang teduh, yang aku tahu Josie pasti berada di sana. Aku segera membawa diriku menuju ke taman itu. "Oh, thank God." Aku lega. Dugaanku benar. Josie
Sementara aku mencermati wajah Josie, kakiku melangkah pelan ke arahnya. Josie berdiri mematung, memandang padaku, dan menunggu aku mendekat. Dua, tiga, dan senam langkah, aku berdiri hanya berjarak satu meter di depan Josie. "Jadi?" Aku bertanya dengan debaran di dada tak menentu. Wajah Josie tegang, tidak ada senyum di sana. Kedua matanya menatapku. Aku tidak tahu arti tatapannya, itu gelisah atau takut. "Josie?" panggilku. Aku meminta Josie menjawab rasa penasaranku. Josie tidak menjawab. Dia tiba-tiba maju dan memelukku erat. "Berhasil! Aku lulus!" Lalu tawa gadis kesayanganku pun meledak. Astaga! Dia sengaja membuat aku cemas, ingin mengerjaiku dulu sebelum memberi kabar gembira. "Hei, kamu benar-benar, ya?" Aku lepaskan Josie dan memandang wajahnya. Auranya berubah drastis. Senyum cerah dan wajah ceria sudah mengganti kegelisahan semenit lalu yang dia tampilkan di sana. "Makasih dukungannya, doanya, dan juga semuanya. Selesai, Kak. Tinggal persiapan graduation. Ah, aku ga
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap