Home / Young Adult / Murid Kesayangan / Bab 1. Apa Maumu?

Share

Murid Kesayangan
Murid Kesayangan
Author: Ayunina Sharlyn

Bab 1. Apa Maumu?

last update Last Updated: 2022-05-30 19:54:53

Mata bulat dan lentik itu menatap tajam padaku. Dengan wajah merah dan bibir terkatup rapat, pandangan kekasihku menghujam dalam. Aku tahu, Lola sangat marah. Ini yang kesekian kalinya setiap aku mengajak Lola bicara, hanya pertengkaran saja yang terjadi di antara kami.

"La, kamu dengarkan aku dulu. Jangan selalu saja kamu emosi dan menyalahkan aku." Aku pun ingin meluapkan kekesalanku. Tapi itu tidak akan ada gunanya. Aku memilih menekan rasa marah yang terus menggelitik di dadaku.

"Siapa yang mau menyalahkan? Kenyataannya kamu memang salah! Ga mau terima?!" Lola makin meledak. Rambutnya yang dia cat pirang sebahu, ikut bergoyang saat dia dengan tegas menggelengkan kepala.

"Bukan begitu, Lola. Sudah tiga minggu kita ga ketemu. Aku mau gunakan waktu ini buat kita evaluasi apa yang terjadi dengan hubungan kita. Kamu paham ga?" Aku geram sekali.

"Hubungan kita ga ada masalah, Vin. Kamu pacar aku, aku pacar kamu. Kita sama-sama tahu. Sudah jelas. Aku masih banyak urusan dan kita ga bisa ngabisin waktu bareng. Kenapa kamu maksa mesti kita ketemu?!" sentak Lola.

Tanganku refleks mengepal, kiri dan kanan, di kedua sisi tubuhku. "Satu atau dua jam saja, La, kita bicara. Sesibuk apa, sih, kamu sampai ga bisa meluangkan waktu denganku? Nanti kalau aku sedang ada kerjaan, kamu akan maksa minta aku datang bertemu. Aku salah lagi. Ga bisa kayak gitu, Lola!" Nada suaraku pun meninggi. Aku makin ga bisa menahan hati rasanya.

"Shit! Kamu membentakku? Kamu tega, ya?" Lola melotot dengan wajah makin merah. Tubuhnya yang tinggi dan ramping sedikit condong ke arahku, dengan tangan terayun ke depan, seolah ingin memukulku.

"Aku cuma mau kamu juga dengar aku!" tegasku.

"Kamu jangan minta aku yang dengarkan kamu terus! Emang kamu selama ini dengerin aku?! Apa maumu sebenarnya, Vin!?" Masih dengan mata melotot, makin keras Lola berteriak.

"Aku mau kita bisa saling mengungkapkan yang ada di pikiran dan hati kita, lalu mencoba mencari miss dari hubungan kita itu di mana. Kamu masih ingin terus dengan hubungan kita, bukan?" Aku mencoba membuka pikiran Lola melihat kenyataan yang ada di depan kami.

"Maksud kamu apa bicara begitu? Kamu mau kita bubar? Begitu?" Tatapan tajam kekasihku yang berhidung mancung itu makin dalam ke arah dua mataku. Aku sangat tidak suka dengan sikapnya yang jujur saja, benar-benar keras kepala.

"Siapa yang bilang mau putus?! Kamu saja terlalu jauh menyimpulkan, La. Makanya, kita harus bicara agar ga salah paham terus. Kamu ngerti nggak, sih? Kurasa aku bicara sama kamu pakai bahasa normal, bukan bahasa dewa," tukasku tidak sabar lagi dengan Lola.

Lola tidak memperhatikan aku. Terdengar suara ponsel berdering dan dia sibuk menerima panggilan dari benda pipih itu. Dengan cepat dia menempelkan ponsel di telinganya.

"Hai, Jod! Gimana?" Suara tajam dan ketus Lola berubah seketika, menjadi riang dan manis. Dia menjawab orang yang menelponnya dengan nada begitu enak didengar. Beda sekali dengan saat Lola bicara padaku.

"Oh, oke. Fine, got it ... Ya, ini aku otewe. Ga sampai setengah jam aku sampai ... Oke, bye ...." Lola mematikan panggilan dari ponsel.

"La, kamu dengar aku tidak?" tanyaku ingin sekali menonjok kepalan tanganku ke dinding di samping Lola.

"Bodo! Gara-gara meladeni kamu urusanku tertunda. Aku sudah telat!" Lola meraih tasnya yang tergeletak di kursi, lalu juga jaket jeans hitam, kemudian berjalan begitu saja meninggalkan ruangan.

"Lola! Kamu pergi gitu aja?!" sahutku keras. Serius, aku tidak terima dia perlakukan aku seperti ini.

"Ga penting kalau cuma akhirnya ribut! Serah kamu mau apa, Vin!" Kalimat itu Lola ucapkan tanpa dia menoleh, langkah kakinya terus menuju pintu.

Aku masih bisa menangkap suara Lola yang menjawab geram, meskipun makin kecil dan menjauh. Aku menatap ke arah pintu ruang tamu keluarga Lola. Lola sudah tidak tampak lagi. Terdengar suara mesin mobil menyala, lalu menjauh dan menghilang. Lola benar-benar pergi, tidak peduli denganku. Dia tidak mau tahu aku sangat ingin berhadapan dengannya dan menyelesaikan kemelut di dalam hubungan kami, yang kurasa tidak harus terjadi.

"Aku lelah sekali. Benar-benar lelah. Sampai kapan kayak gini, La?" Aku menarik nafas panjang. Dadaku terasa penuh. Sangat lelah dengan hubungan aku dan Lola yang makin tidak jelas.

Duduk di ruang tamu, di rumah Lola, aku ditinggalkan. Dia pergi entah ke mana, dengan siapa. Aku seperti makin tidak mengenal siapa Lola, kekasihku yang manis ketika awal aku mengenalnya dan perlahan hatiku menyayanginya.

"Nak Avin ...."

Panggilan itu membuat lamunanku buyar. Aku menoleh ke sisi kanan. Seorang wanita setengah baya dengan rambut mulai memutih berjalan ke arahku. Wajahnya sedikit pucat tetapi ada senyum di bibirnya. Namun aura cantik dari wajahnya tidak pudar. Tante Merlin, mama Lola.

"Lola sudah pergi?" tanya Tante Merlin sambil melangkah ke kursi di depanku. Dia duduk di sana.

"Iya, Tan. Lola pergi." Aku berusaha bicara dengan nada wajar, tapi aku tidak bisa menutupi ada resah dan kesal di sana.

"Yang sabar sama Lola, Nak. Dia lagi keasyikan dengan pekerjaannya. Nanti dia pasti akan datang mencarimu lagi. Lola butuh pria baik seperti kamu. Kamu pasti bisa membimbing Lola." Suara Tante Merlin sedikit bergetar. Kondisi fisiknya yang lemah, sangat tidak mendukung dia untuk lama beraktivitas di luar kamar.

"Iya, Tan. Aku mengerti." Aku berkata lirih dengan hati perih.

Bukan sekali ini Tante Merlin meminta aku sabar dengan Lola. Ini yang kesekian kali, aku bahkan sudah enggan menghitung.

"Avin, mungkin kalau kalian segera menikah, Lola akan berubah. Menjadi seorang istri, dia akan belajar diam di rumah, menata diri, dan tidak sebebas seperti sekarang. Kamu mengerti maksudku, kan?" Tante Merlin memandang padaku dengan mata lesu. Dia tampak lelah.

"Menikah?" gumamku pelan, aku bahkan hampir tidak mendengar suaraku sendiri.

"Lola bukan tidak sayang kamu, Avin. Bukan juga bermaksud tidak menghargai kamu. Dia hanya belum paham, jika hubungan kalian harusnya jadi prioritas. Dia terlalu senang bisa bergabung dengan manajemen tempat dia bekerja dan merasa maksimal dengan potensinya." Panjang lebar Tante Merlin bicara. Aku tahu dia ingin meluluhkan hatiku.

Sedikit banyak Tante Merlin benar. Lola punya kesempatan besar mengembangkan karir dengan bergabung pada salah satu rumah produksi di bidang entertainment. Pintu terbuka lebar untuk cita-cita Lola tercapai.

"Kamu jangan patah semangat. Yang sabar pada Lola. Cuma itu yang aku minta. Dia tidak punya kasih sayang seorang ayah. Dan kamu, kamu cukup dewasa untuk bisa mengayomi Lola." Kembali nasihat yang hampir sama aku dengar.

"Iya, Tan." Hanya itu kata yang bisa aku ucapkan.

"Nyonya, makan malam sudah siap!" Terdengar suara seorang pelayan rumah itu memanggil.

"Iya, aku datang!" Tante Merlin memaksa sedikit berteriak, hingga suaranya bergetar. Dia memandangku. "Nak Avin, kita makan sama-sama, ya?"

"Maaf, Tan, aku harus balik. Lain kali aku ikut makan malam bareng. Terima kasih." Aku memilih pergi. Tidak bisa aku menikmati makan malam hanya dengan Tante Merlin, apalagi suasana seperti ini.

Aku meninggalkan rumah besar itu. Dengan motor kesayanganku, menyusuri jalanan kota Bandung yang ramai di senja hari. Tujuanku adalah rumah. Rumah mungil tempat aku bisa segera merebahkan badan dari semua penat yang mendera.

Di tengah perjalanan, saat aku berbelok hendak masuk ke perumahan, seseorang menyeberang tiba-tiba tanpa memperhatikan jalan. Dengan terkejut dan hampir hilang kendali aku mengerem motorku.

Ciitt!!!

Related chapters

  • Murid Kesayangan   Bab 2. Bola Mata Sayu

    Jantungku berdetak begitu kuat. Tanganku mencengkeram stang motor makin erat, berusaha tetap kokoh meski sempat sedikit oleng. Aku memutar haluan dan memaksa motorku minggir ke tepi jalan. Hampir saja aku menabrak seorang gadis. Aku melihat ke sisi kananku. Gadis itu terduduk di atas aspal. Untung jalanan perumahan sepi. Dengan cepat aku menghampiri, sedikit berjongkok di depannya. "Kamu baik-baik saja?" tanyaku. Aku perhatikan kondisi gadis itu. Apakah ada yang terluka? Kalau perlu aku bawa di ke klinik atau apa untuk berobat. Dia tidak menyahut. Dia melempar lirikan tajam, lalu tangannya sibuk memasukkan lagi belanjaannya yang tercecer. Aku ikut membantu mengambil beberapa dan memberikan padanya. "Kalau menyeberang hati-hati," ujarku. Gadis itu kembali hanya menatapku. Tidak bicara apa-apa. Pandangannya dingin dan tidak ramah. Anehnya, tidak tampak dia terkejut karena hampir mengalami kecelakaan. "Di mana rumah kamu? Aku antar saja." Aku menawarkan bantuan. "Kenapa ga sekalian

    Last Updated : 2022-06-05
  • Murid Kesayangan   Bab 3. Kamu Di Sini?

    Gadis dengan mata sayu itu masih terus membayangiku. Yang aku pikirkan, kalau dia nekat mengakhiri hidupnya, bagaimana? Apakah dia mengalami hidup yang sungguh amat sangat berat, sehingga dia kepingin mati? Ah, dia masih sangat muda. Aneh sekali. Gadis seumuran dia harusnya itu penuh semangat untuk mengejar cita-cita. Bagaimana caraku bisa memastikan kalau gadis itu baik-baik saja? Apa perlu aku mencari di gang itu, terakhir kali aku melihatnya? Serius, sayang sekali gadis semuda dia, lumayan cantik, harusnya punya masa depan cerah, tapi justru putus asa dengan hidupnya. "Ngapain juga aku sampai segitunya mikir orang ga dikenal? Itu cewek pasti punya orang tua. Kalau dia kenapa-napa, ya orang rumahnya pasti akan bertindak. Hehh, mending tidurlah. Besok kerjaan udah panjang menunggu." Aku kembali merebahkan badan. Tapi mataku tak bisa juga terlelap. Hingga lebih lima belas menit rebahan, aku duduk lagi. Lebih baik aku mengerjakan sesuatu sampai lelah, baru aku akan bisa lelap tidur.

    Last Updated : 2022-06-11
  • Murid Kesayangan   Bab 4. Murid Baru yang Misterius

    Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras. "Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang. "Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu. "Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini. "Kamu murid baru?" tanyaku lagi. "Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi. Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang! Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak

    Last Updated : 2022-06-15
  • Murid Kesayangan   Bab 5. Kejutan dari Kekasih

    Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a

    Last Updated : 2022-06-17
  • Murid Kesayangan   Bab 6. Pertengkaran Tak Bisa Dihindari Lagi

    Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja. Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga. "Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal. Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola. - aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya. Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku te

    Last Updated : 2022-07-23
  • Murid Kesayangan   Bab 7. Lebih Baik Pisah?

    Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah. "Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. "Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku. "Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu. "Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan. "Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang. Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine. "Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau k

    Last Updated : 2022-07-26
  • Murid Kesayangan   Bab 8. Tentang Josie

    "Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema

    Last Updated : 2022-07-28
  • Murid Kesayangan   Bab 9. Kejutan Murid Centil

    Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te

    Last Updated : 2022-07-30

Latest chapter

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Semua Sudah Selesai, Ke Mana Setelah Ini?

    Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Bulan Madu dan Klarifikasi

    Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg

  • Murid Kesayangan   Bab 133. Murid Kesayanganku

    "Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika

  • Murid Kesayangan   Bab 132. Tidak Akan Berpisah Lagi

    Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri

  • Murid Kesayangan   Bab 131. Mata Sayu dan Sendu Itu

    Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo

  • Murid Kesayangan   Bab 130. Siapa Jono?

    Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten

  • Murid Kesayangan   Bab 129. Nomor Tak Dikenal

    Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari

  • Murid Kesayangan   Bab 128. Jejak Di Pusara

    Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha

  • Murid Kesayangan   Bab 127. Aku Hanya Ingin Menangis

    Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status