Mobil mewah warna hitam yang dikendarai Mario melaju mulus di jalan tol Kota Jakarta. Dia pergi ke kota metropolitan itu untuk menyelesaikan urusannya. Mengabaikan pekerjaannya sebagai asisten Rosie. Bekerja di bawah seorang wanita seakan menampar harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Mobil itu keluar dari jalan tol lantas masuk ke sebuah area pertokoan yang terbengkalai. Berhenti di sebuah gudang dengan rolling door yang sudah terjamah vandalisme. Dia disambut oleh dua orang pria berpakaian formal serba hitam begitu turun dari mobil mewah itu. Perlahan, rolling door pun dibuka seakan menyambut Mario yang masuk ke sana. “Bagaimana dengan tawanan kita?” tanya Mario seraya berjalan masuk. “Dia aman. Kami sudah mengurusnya.” “Bagus!” Diantar oleh dua pengawal itu, Mario akhirnya berhadapan dengan pria yang tak lain adalah Pak Jonathan. Mario membuka kaca mata hitamnya, memandang wajah calon mertua yang tidak jadi itu. “Wah, apa kalian tidak memberinya makan? Lihat
“Kapan kamu akan menikahiku, Mas?” Mario mengehala napas dalam, dada bidangnya itu kembang kempis. “Tunggulah sampai aku merebut semua dari wanita itu.”“Aku udah sabar menunggu. Sejak kamu masih dengannya pun aku sabar hingga sekarag hubunganmu udah lama kandas tapi gak ada kepastian.” Mario bangkit dari posisinya hingga Lin menggeser kepalanya yang sudah terlanjur nyaman. “Sabar saja dulu!” “Enggak bisa. Apa aku hanya jadi pelampiasan napsumu itu saja?” Lin Memandang Mario lekat-lekat tapi, Mario abai dan berkata “Aku mau mandi.” Seraya turun dari ranjang dan melenggang ke kamar diri. Begitulah kesabaran Lin dalam menghadapi pria yang sudah lama menjadikan dirinya simpanan itu. Bahkan, Lin sudah sangat sabar dengan semua perlakuan Mario padanya. Tak apa jika dirinya hanya dijadikan pelampiasan napsu karena yang dia butuhkan hanyalah uang untuk bertahan hidup di kota metropolitan ini. Akan tetapi, ternyata kebutuhan hidup yang mendorongnya menjadi pelayan napsu Mario
Malam itu di balkon apartemen, Rosie berdiri sambil terus berpikir tentang Mario. Jika dia menikah dengan Mario hanya karena alasan menyelamatkan perusahaan, tentu saja itu bukan hal yang adil baginya. “Apa yang kamu cemaskan, Kak?” Ethan mendekat dengan segelas kopi di tangannya. Keduanya memandang jauh ke gemerlap malam Kota G di bawah sana. “Entah kenapa aku malah jadi cemas tentang arah permainan mereka.“Kamu udah kerja keras, Kak. Jangan biarkan mereka menghancurkanmu. Soalnya kita udah tahu kebenarannya. Sudah sejauh ini sayang banget kalau kita berhenti merebutnya. Ethan menyeruput kopinya. “Kalau aku gak kerja keras siapa lagi yang harus kerja keras? Tanpa kusadari selama ini ternyata aku bekerja untuk perusahaan ayah. Aku dedikasikan dengan tulus tanpa sadar menjadikanku seseorang yang berambisi.” Rosie tidak berpaling dari pemandangan di depannya.“Iya. Siapa sangka semuanya akan jadi begini. Maaf jika membuatmu marah tapi, apa kamu percaya Mario, Kak?” “Entahlah.
“Sudahlah, Ethan. Aku pun sudah menasihati ayahmu waktu itu. Dia yang tidak mau dengar perkataanku,” tutur Pak Clayton.“Sejauh ini, kakakku sudah bekerja keras. Bahkan belakangan ini baru kami ketahui kalau dia bekerja keras untuk perusahaan ayah. Lalu, hal yang mengejutkan adalah dia sudah dijodohkan dengan Mario. Bahkan, Mario tidak tahu malu. Memutuskan pertunangan di hari kenaikan jabatan.” Tatapan Ethan lurus memandang pamannya yang duduk santai.“Yah, kalau kamu mau membantu kakakmu, kamu harus berkorban, Ethan.” Pak Clayton menyarankan.“Aku permisi dulu!” Ethan keluar dari ruang kerja pamannya. Mengela napas dalam-dalam dan tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan sekarang. “Ethan!” panggil Yunri yang membuat Ethan bergidik.“Biin kaget aja!” ucap Ethan.“Pak Clayton habis biang apa ke kamu? Kok gitu banget ekspresimu?” Yunri memincingkan mata. Alih-alih menjawab, Ethan melangkahkan kakinya. “Kepo banget,” keluh Ethan.“Kalian habis ngomongin bisnis keluarga, kan?” Yunri
Rosie duduk di ruang makan dengan secangkir kopi di depannya sambil memainkan benda yang mirip lipstik itu. Saat berpikir seperti itu, Ethan tiba-tiba saja membuyar.“Tumben jam segini udah di rumah,” sapa Ethan. Mendapati Rosie sudah berada di rumah jam segini adalah pemandangan langka bagi Ethan. Ethan mengambil tempat berseberangan dengan Rosie. “Apa ini lipstik keluara ABC?” Ethan menjulurkan tangan hendak mengambil benda itu tapi, segera Rosie menghentikannya. “Jangan sentuh!” bentak Rosie.“Baiklah, lagipula cowok mana baik pegang lipstik,” kelakar Ethan.“Kak Ros, apa ada masalah?” tanya Ethan.“Jangan tanya begitu, masalahku sudah banyak sejak Youth Serum itu.” Rosie menyesap kopinya.“Masalah Mario, apa kamu gak memikirkannya?”“Masalah kerjaan itu lebih penting!” ucap Rosie.“Yah, aku rasa kamu memang harus hati-hati sekarang. Sekalipun Mario adalah asistenmu tapi, bisa saja lain waktu dia menusukmu.” Kalimat itu meluncur mulus dari mulut Ethan.“Mungkin dia sudah menghun
Ibu dan anak itu duduk berseberangan, mereka baru saja mendebatkan tentang tamu wanita yang membuat Sang Ibu histeris. Setelah suasananya sedikit tenang, Dicky membuka pembicaraan yang hampir memakan waktu lima belas menit duduk diam di meja makan. “Ibu, apa yang membuat ibu histeris?” Wanita itu tidak langsung menjawab pertanyaan putranya. Kesepuluh jari tangannya mendekap erat cangkir warna putih di atas meja. Matanya mulai berkaca-kaca seakan mengenang sesuatu tapi, bulir bening akhirnya mengalir lewat pelupuk mata yang sudah mengerut. “Ibu, ada apa?”“Nak, ibu membenci perusahaan yang tertera pada name tag wanita itu.” Ibu Dicky mulai angkat bicara.“Apa yang terjadi, Bu?” Dicky tidak puas dengan jawaban wanita yang telah melahirkannya itu. Sesaat kemudian, wanita itu menghela napas, menoleh ke luar jendela. “Nak, sudah seharusnya kamu tahu. Ayahmu meninggal bukan karena serangan jantung.“Maksud ibu?”“Ayahmu meninggal karena perusahaan itu.” Dicky mengerutkan alis
Menikmati seporsi salad buah terasa mengembalikan sedikit gairah Rosie. Entah bagaimana pemilik van itu meraciknya, buah di dalam mangkok plastik itu pun sudah habis. “Enak?” Tirta tiba-tiba saja mengambil tempat duduk di depan Rosie ketika kedainya sudah sepi. “Enak. Saya mau pesan dua porsi lagi,” ucap Rosie.“Syukurlah. Kalau Mbak Rosie suka, saya buatkan lagi berapa porsi pun yang Mbak mau,” goda Tirta.“Jangan, nanti bangkrut,” tolak Rosie.“Ngomong-ngomong, waktu survey ada pemuda yang bawa kabur lembar survey, kan?” tanya Tirta.“Iya,”“Kenal sama pemuda itu?”“Kenal.”“Oh, pantas saja kalian tampak akrab. Dia juga sering belanja di sini dan membuat karyawan saya kesal.” Tirta jujur menuturkan.“Apa dia berulah?” Rosie mengernyitkan alis.“Enggak. Hanya saja, karyawan saya itu kayaknya emang rada sinis kalau dekat dengan pemuda itu.” Baru saja Tirta membicarakan Ethan di bawah langit yang mulai menggelap dan lampu mercuri di pinggir jalan menyala, Ethan malah datang.“Bar
“Ini masih pagi, jangan ngelamun gitu, dong!” Yunri juga baru tiba saat Ethan masih memandang ke arah menghilangnya mobil Rosie yang sudah bebaur dengan kendaraan lain di jalanan Kota G.“Aku gak ngelamun. Udah ah, masuk yuk!” ajak Ethan seraya melangkah duluan mendahului Yunri. Keduanya bak dilahap oleh gedung dan menghilang begitu saja ketika pintu kacanya tertutup. Sementara, seorang pria yang mengenakan pakaian formal serba hitam sekana mengawasi keduanya sedari tadi dari belakang kemudi sedan berwarna hitam. Memastikan orang yang baru saja di depannya sama dengan foto gadis di tangannya. Setelah memastikan targenya benar, pria itu menyeringai lalu menjalankan kendaraannya. Rosie baru saja turun dari mobil di area parkir Absolute Beauty Chemical. Menyimpan kuncinya ke dalam tas lalu buru-buru masuk ke dalam lift tanpa menunggu lama. Menekan tombol angka menuju ruang kerjanya. Begitu sampai dan keluar dari lift, dia sudah disambut oleh rekan kerjanya yang berpapasan de
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p