Rosie menengadah ke langit-langit ruangan seraya bersedekap. Wanita itu berharap solusi dari masalahnya itu jatuh begitu saja dari langit-langit ruangan berwarma putih itu tapi, hal seperti itu hanya ada di film-film.“Tapi, kandungan flouride tidak boleh setinggi itu. Itu hanya sebuah perumpamaan. Standar SNI itu hanya boleh maksimal 0, 15%.” Bu Diar menambahkan. Manajer pengembangan itu pun duduk di sofa empuk. “Youth Serum memang terdaftar di hak paten tapi, jika masalah ini sampai ke meja hijau, tentu saja hak paten Youth Serum akan dicabut,” imbuhnya kemudian.“Saya tahu itu,” sahut Rosie. “Makin ke sini masalah gak ada habisnya ya. Baru kali ini ada masalah yang bikin saya benar-benar kepingin resign.”“Wah, apakah sikap ambisius seorang Rosie Sarfosa luntur juga?” goda Bu Diar melihat rekannya putus asa.“Bukan begitu, hanya saja kalau ini sampai ke meja hijau kan berabe. Taruhannya bukan cuma hak paten tapi juga merembet ke brand lain jebolan perusahaan ini.” Rosie melengo
Setelah mereka berdua melanjutkan pembelajaraan untuk Le, Ethan dan Yunri duduk di bawah pohon rindang sambil makan bekal. Yunri pun secara suka rela membagi makanannya dengan Ethan karena kasihan melihat Sang Dokter yang hanya menyedot teh kemasan dingin yang dibeli di warung depan. “Kalau kamu bagi, nanti berkurang bekalmu,” ucap Ethan tapi, tangannya tetap menjumput perkedel kentang dalam kotak makan Yunri lantas melahapnya.“Ujungnya dimakan juga,” ucap Yunri kesal.“Yunri, aku akan kirimkan alamat apartemen.” Ethan mengeluarkan smartphonenya lantas mengetik di kolom chat. Beberapa detik kemudian, alamat yang dia ketik terkirim ke ponsel Yunri.“Buat apa ngirim alamat? Kayak aku bakal ke rumahmu aja!” Yunri memasukkan sendok penuh makanan ke dalam mulutnya. “Siapa tahu kamu kangen dan pengen ketemu aku,” goda Ethan.“Dih, aku nyaris tiap hari ketemu kamu. Apalagi kalau kamu ke kedai Tirta. Bukannya kangen malah bawaannya kesel lihat mukamu!”“Tapi sebenarnya suka, kan?” “Huk!”
“Keluar!” salah satu dari pria itu menuntun Ethan untuk keluar dari mobil warna hitam itu. Ethan memerhatikan sekelilingnya. Bangunan ruko yang terbengkalai dan penuh dengan hasil tindakan vandalisme. Tak lama kemudian, rolling door pun mengeluarkan suara gemerisik saat dibuka oleh seseorang. Ethan pun digiring ke sana bagaikan tawanan perang yang siap menuju gerbang penyiksaan. Ethan mencoba tenang meski dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini dan jantungnya berdetak kencang. Hingga kedua pengawal itu memberhentikan dirinya tepat di belakang seseorang yang berdiri membelakangi mereka. Tinggi tubuh dan gestur itu tidak asing bagi Ethan dan benar saja, firasatnya tepat saat pria itu berbalik. “Akhirnya kamu datang juga.” Mario menyeringai.“Minoru san? Apa yang kamu lakukan di tempat ini di jam kerja?” Ethan masih bisa bertanya seperti itu sekalipun degub jantungnya membuat dada bidangnya itu kembang kempis.“Hahaha, kau bertanya apa yang kulakukan?” Mario m
Pagi terasa datang lebih cepat dari biasanya. Rosie keluar dari kamar seraya melakukan peregangan leher demi melemaskan ototnya yang kaku. Langkahnya terhenti ketika memandang sofa tempat Ethan merebahkan badan tiap malam. Sofa yang kosong itu mematahkan pikiran Rosie. Semalam, wanita itu menduga bahwa Ethan masih rebahan santai ketika dia keluar dari kamar pagi ini. Rosie berdecak seraya melipat tangan ke dada.“Bocarh itu pasti keluyuran lagi,” pikir Rosie. Tidak ingin memikirkan lebih jauh, Rosie masuk ke kamar mandi dan bersiap untuk ke kantor hari itu. Sementara, di tempat lain. Yunri pagi-pagi sudah menunggu di klinik yayasan demi membahas perkembangan Le Regar, bocah yang mereka ajari dengan metode khusus. Sesekali, Yunri melirik benda melingkar di tangannya. Sudah jam delapan kurang lima menit dan sosok dokter menyebalkan itu belum juga menampakkan batang hidungnya.“Padahal lima menit lagi aku harus ngajar. Bisa-bisanya dia mangkir lagi. Apa mangkir adalah kerjaan
Rosie kembali menghubungi Ethan setelah sampai di rumah. Seharusnya, pemuda itu sudah di rumah melakukan hal tidak berguna di mata Rosie atau sekadar main di sekitar apartemen. Sudah lima kali Rosie menekan tombol panggilan tapi, jawaban yang sama datang dari wanita di seberang sana yang mengatakan nomor itu tidak aktif. Nihil. Menyerah, Rosie meletakkan smartphone di atas meja kaca di depannya. Mengela napas demi menenangkan pikiriannya. Entah apa yang membuat adiknya itu tidak pulang ke rumah. Saat Rosie mengalihkan matanya, selimut yang dipakai Ethan setiap tidur di sofa yang Rosie duduki itu mendadak mengunggah rasa rindunya. Tangan dengan jari lentuk itu pun perlahan menyentuh lembut kain dengan serat halus itu. Naluri seorang kakak tetap saja tidak akan pernah hilang sekali pun status mereka hanya saudara tiri. Aroma tubuh Ethan yang manis, itulah yang terhirup samar-samar di hidung wanita itu.“Nanti juga pulang.” Rosie penuh harap berkata pada diri sendiri. Sem
Rosie lantas menelepon Bu Diar setelah dia mendapatkan foto itu dari Dicky. Sementara, rekan kerjanya itu sedang menyetir.[Halo, Manajer Rosie. Tumben nelepon] Suara Bu Diar tanpa mengalihkan fokus terhadap pandangan di depannya. Sambil mendengarkan suara dari smartphone yang dikeraskan.“Bu Diar dimana? Bisa datang ke apartemen saya?”[Apa mau dibantu pindahan?] ledek Bu Diar.“Bukan itu. Ini mengenai Youth Serum,” tukas Rosie.[Besok saja, ya. Ini sudah di luar jam kerja] Rosie melirik benda bulat yang melingkar di pergelangan tangannya. “Baiklah. Kita bicarakan besok saja.” Rosie lantas menutup telepon. Wanita itu terlalu kaget hingga terburu-buru menelepon rekan kerjanya yang sudah jelas-jelas tidak akan menerima obrolan tentang urusan kerjaan di luar jam kerja. Apalagi, Bu Diar adalah orang yang seperti itu. Rosie beranjak ke dapur, mengambil segelas air putih demi menenangkan kepalanya. Mendekat ke jendela dan memandang ke luar dengan secangkir air putih. Dari s
Hari ke-3, Yunri masih saja tidak bisa menghubungi Ethan. Menanyakan tentang pemuda itu kepada Pak Clayton tapi sayangnya, Pak Clayton juga tidak tahu tentang keberadaan keponakannya yang sudah tiga hari tidak kerja.“Kakak Guru, apa sudah perlihatkan hasil tulisanku pada Kak Dokter?” tanya Le di suatu jam istirahat. “Belum. Kak Dokter tiga hari ini tidak datang.”“Kenapa?”“Mungkin sibuk,” sahut Yunri.“Yah, padahal aku pengen Kak Dokter lihat.” Raut Le berubah muram mengetahui usaha kerasnya dalam menulih huruf B belum diperlihatkan oleh kakak pengajarnya.“Maaf, ya. Nanti kalau Kak Dokter sudah kembali kerja, Kakak pasti menunjukkannya.” Yunri berjanji pada bocah yang sedang menyedot yogurtnya kemasan. “Iya.” Padahal gadis itu tidak pernah peduli dengan Ethan tentang pekerjaannya selain sebatas memarahinya kalau pemuda itu mangkir. Akan tetapi, kali ini Yunri merasa gelisah di hari ke-3 Ethan tidak datang untuk bekerja. Maka, sore hari sepulang dirinya membantu di k
“Kakak, tolong serahkan dokumen itu, aku mohon demiYunri. Bajingan ini menyekapnya bersamaku,” ucap Ethan lirih. Sekuat tenaga pemuda itu mengeluarkan suara dengan napas tersengal. Mario mengambil alih handphone “Datanglah sendiri, nyawa dua orang ini ada pada dokumen itu. Lalu, cap jangan lupa!” Mario menyeringai..”Ikat juga gadis ini!” perintah Mario seraya menutup telepon bahkan sebelum Rosie sempat bicara dengan Mario. Rosie mengigit jarinya, dia tidak habis pikir Mario sampai menyekap adiknya juga gadis yang tidak tahu apa-apa. Dada Rosie mendadak bergemuruh, tangannya terkepal kuat-kuat. Matanya menyimpan amarah yang berkobar. Mario telah menyulutnya. Ethan dan Yunri ditingga; berdua di ruangan sempit itu. Yunri memandang Ethan. “Ethan, siapa pria itu? Apa kamu melakukan sesuatu atau terlibat hal yang tidak-tidak?” tanya Yunri.“Maa…maaf Yunri. Kamu seharusnya gak terlibat dan ikut-ikutan. Aku pun gak mengira kalau Mario senekat ini.” Yunri tidak bisa membendung
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p