“Aku antar ke kos, ya?” tawar Ethan setelah mereka membahas tentang anak didik mereka yang satu itu.“Ngapain sih, gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagian, aku masih harus ke van burger buat kerja.” Yunri melirik benda melingkar di tangannya. Memasukkan samrtphone ke dalam tas kecil lantas beranjak.“Bareng, yuk. Kita searah loh!” Ethan pun bergegas bangun dari duduknya. Menyusul Yunri yang meningalkannya beberapa langkah di belakang. Matahari siang itu masih teriknya menyengat apa saja yang ada di bawahnya. Termasuk tubuh Yunri dan Ethan. Mereka memilih berjalan di atas trotoar yang sepanjang jalan itu ditutupi pohon perindang. Langkah Ethan mendadak berhenti ketika sepasang netranya itu menangkap sesosok pria yang tidak asing baginya masuk ke sebuah toko pakaian bermerek bersama seorang pria. “Seharusnya a-.” Yunri menghentikan kalimatnya seraya menoleh ke belakang. Menyadari Ethan yang mematung sambil memandang ke sebuah toko, Yunri pun berbalik.“Kenapa bengong,
"Hah!" Ethan terbangun dari alam bawah sadarnya. Keringat dingin mengucur dari pelipis ke pipi tegas itu. Kepalanya terasa sedikit pusing. Entah mengapa, tubuhnya terasa panas meskipun udara dari AC berembus mendinginkan ruang tamu apartemen itu.Terengah-engah bagaikan baru saja dikejar seseorang di dalam mimpi. "Ma...ma." Bibir Ethan bergetar lirih. Menyebut nama wanita yang telah merawatnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun Ethan tidak bertemu dengan ibunya. Bahkan, sejak dia pergi ke Jepang untuk kuliah, Ethan sudah lupa apa ibunya masih hidup atau tidak. Satu-satunya hal yang dia tahu adalah orang tuanya bercerai. Rosie dan Ethan diasuh oleh Om Clayton hingga Rosie bisa mencari nafkah sendiri dan lepas dari tanggung jawab Om Clayton.Ethan turun dari sofa, menyalakan lampu lantas melepaskan bajunya kemudian melangkah ke dapur dengan dada telanjang. Mengambil segelas air dingin untuk melegakan tenggorokan yang kering setelah mimpi buruk. Ethan mendekat ke jendela. Gemerlap Kota G d
Prang! Ethan menoleh ke arah sumber suara. Matanya membeliak ketika melihat tubuh petugas kebersihan sudah terkapar di lantai. Ethan buru-buru bangkit dari duduknya. "Bu!" Ethan menempuk pipi ibu itu lantas memeriksa nadinya. Masih berdenyut. Ethan meninggikan kaki petugas itu setelah meletakkan posisinya dengan benar. "Ibu! Sadarlah!" Ethan menepuk-nepuk pipi ibu itu namun tak kunjung sadar. Dia tidak bisa memindahkan tubuh ibu itu ke atas brankar karena dia hanya seorang diri. Satu-satunya yang dia lakukan hanya melakukan pertolongan pertama. Ibu itu tak kunjung sadar dalam waktu beberapa menit. Bahkan setelah Ethan melakukan CPR dan napas buatan. Ethan mengeluarkan smartphonenya lantas memanggil ambulans. Sekitar sepuluh menit kemudian, suara sirine ambulans membuat gempar karyawan Yayasan. Mereka penasaran apa yang sedang terjadi ditambah lagi melihat Sang Dokter yang paling cekatan mengarahkan petugas ambulans ke ruang klinik hingga mengevakuasi tubuh ibu itu ke dala
“Sial, kamu ini malah dipermalukan Rosie. Bagaimana bisa aku percaya kalau kayak gini kerjaanmu!” Mario menghardik Lee di taman dekat kantor Absolute Beauty. “Maaf, aku juga gak tahu kalau wanita itu lebih licik dari yang kubayangkan,” sahut Lee.“Sudah kubilang, wanita itu memang bukan wanita gampangan yang bisa kamu taklukan. Dan yang paling membuatku kesal padamu adalah …” Mario mengeluarkan kotak rokok dari balik jas formalnya. Menariknya sebatang lantas menyulut ujung rokok itu ketika dai melepit benda itu di antara giginya. Asap tipis pun mengepul dari lubang hidungnya. Mata Mario memandang Lee yang berdiri di hadapannya lekat-lekat.“Kamu telah mencoba menyentuhnya!” Mario menyeringai.“Kamu sendiri yang menyuruhku untuk membuat Rosie jatuh cinta padaku.”Plak! Tamparan Mario yang mendarat di pipi Lee membuat pria itu sontak menahan perih yang terasa cepat merambat di pipi tirus itu.“Aku memang menyuruhmu untuk membuatnya jatuh cinta padamu tapi, bukan berarti kamu bebas
Perkara formula belum juga kelar, menambah pikiran Rosie semakin rumit saja. Di belakang meja kerjanya, Rosie masih berpikir tentang perkataan Pak Harwan. Pencuri dan pemilik asli. Merebut hati konsumen pun sekarang seakan-akan sangat susah sejak berita itu beredar di media. Perjalanan produk Youth Serum jadi tersendat. Padahal ada target yang harus dicapai deparrtemen pemasaran. “Masih memikirkan Youth Serum?” Bu Diar muncuk di pantri saata Rosie sedang mengusir jenuhnya dengan secangkir kopi. Manajer departemen pemasaran itu lantas menampung air dari dispenser dengan gelas.“Yah, Bu Diar juga pasti memikirkannya kan,” balas Rosie. Bu Diar menenggak air hingga tandas. Wanita itu tampak sangat kehausan. Setelah tenggorokannya lega barulah dia melanjutkan percakapan.“Yah, tentu saja masih memikirkannya. Ingin sekali saya menghancurkan Nature Chemical kalau begini jadinya.” Bu Diar mengela napas.“Ya, tapi tidak usah dipilirkan berlarut-larut. Kami akan berusaha keras untuk men
“Darimana aja kamu?” sambut Yunri. Gadis itu menyambut Ethan dengan ekspresi ketus dan gestur kesal. Padahal, Ethan baru saja melewati pintu.“Loh, Mbak Resepsionis gak ngasi tahu kamu?”“Enggak.”“Antar anaknya ibu yang dijemput pakai ambulans tadi.”“Kamu mangkir dari kerjaan lagi!” tuduh Yunri.“Kagak!” Ethan melewati Yunri berjalan menuju kliniknya. Pemuda itu ingin segera merehatkan kakinya yang kram karena berjalan sekitar dua puluh menit. Tidak peduli lagi dengan Yunri. Ethan hanya pekerja paruh waktu yang tidak perlu memikirkan pekerjaan lain selain berjaga di klinik dan melayani yang sakit. Pemuda itu bahkan bisa santai di kursi hidrolik sambil meluruskan kaki ke atas meja. Ethan tidak ingin ambil pusing dengan kerjaannya. Lagipula yayasan ini milik pamannya. Dia hanya bekerja seperlunya dan juga digaji seperlunya sesuai undang-undang ketenagakerjaan. Demi membuat dirinya sedkit sibuk di ruangan itu, Ethan membuka catatan tamu yang berkunjung di klinik dalam tig
.”Jadi, sebenarnya kamu niat nawarin gak sih?” tanya Yunri. “Niat tapi, kalau kamu mau dengan tawaran tadi.” Ethan menjawab santai. Menawarkan untuk menjadi model iklan tapi, hanya dibayar dengan makan siang adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Paling tidak, untuk menjadi model bayarannya jutaan. Agaknya, pemuda di depannya sedang bercanda. Dari raut wajahnya saja Yunri bisa menilai kalau Ethan tidak serius. “Kita bahas Le saja. Kemabli ke topik awal!” Yunri mengingatkan tujuan Ethan mengajaknya ke sini. “Kamu bilang belum menemukan metode yang tepat untuk pembelajaran Le, kan? Jadi, cepat temukan dan segera bisa kita terapkan,” perintah Yunri. “Sabar, dong. Nanti aku riset deh metodenya,” jawab Ethan. “Gimana, sih. Katanya kamu itu dokter. Masa gitu aja gak bisa. Bikin tambah ragu aja kalau kamu dokter.” “Loh, aku kan dokter umum, bukan dokter anak.” Ethan membela diri. Yunri melipat tangan ke depan dada. Gadis itu kesal karena Ethan tidak menunjukkan tanda-tanda ak
Cahaya matahari sore menembus ruang tamu apartemen Rosie. Di kursi empuk itu, Ethan rebahan santai sambil menonton video di aplikasi Kyutube. Dan, saat tengah asik menikmati dunianya, Rosie yang baru pulang kerja itu membuat Ethan langsung menurunkan kaki demi menyambut kakak kesayangannya itu. “Aku pulang!” sapa Ethan. “Sapa aku dengan benar. Yang benar itu selamat datang!” protes Rosie. “Selamat pulang, Manajer Rosie.” Ethan mengulangi sambutannya. Kesal dengan itu, Rosie melanggang ke balik konter dapur. “Wah, Kak. Kamu tampak stress begitu. Ada apa?” tanya Ethan. “Bukan urusanmu,” ketus Rosie lalu menenggak air dari dalam gelas hingga tandas. “Jangan sering-sering stres. Nanti kamu cepat tua, Kak,” goda Ethan. Rosie mendekat ke Ethan, duduk di sebelah Ethan dan melepaskan semua rasa lelahnya hari itu pada sandaran sofa yang empuk. Perlahan matanya terpejam dengan posisi tangan dilipat ke dada. Melihat posisi kakaknya seperti itu, Ethan mengambil tablet di atas meja.
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p