Rosie pagi-pagi sudah berada di kantor Absolute Beauty. Menunggu manajae HRD di ruangannya. Tak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu pun datang. “Pagi!” sapa Rosie.“Pagi, Bu Rosie.” Wanita bertubuh tambun berparas ayu itu pun membalas. “Tunggu sebentar ya,” imbuhnya kemudian melenggang ke belakang meja. Mengambil sebuah file dan mengeluarkannya. Begitu wanita itu menemukan apa yang dicarinya, wanita itu kemudian duduk di sofa berseberangan dengan Rosie dengan meja kaca sebagai pembatas mereka. “Silakan baca dulu, Manajer Rosie.” Wanita itu pun menyodorkan map dan Rosie pun menerimanya. Rosie membaca dengan seksama kertas di dalam map itu. Setelah merasa cukup adil dan hak-haknya terpenuhi setelah resign, Rosie pun menandatanganinya.“Sayang sekali, Bu Rosie harus meninggalkan perusahaan ini. Padahal kontribusi Bu Rosie sangat besar,” sesal Sang Manajer HRD.“Setinggi apapun jabatan saya dan sebanyak apapun kontribusi saya terhadap perusahaan, saya tetap saja seorang pek
“Viona, saya ada tugas untuk kamu!” Rosie memulai dengan serius.“Apa?”“Setelah saya Resign, saya akan handover sebagian besar tugas saya kepadamu,” jawab Rosie dangan tatapan serius.“A…apa?” Viona mengatup-ngatupkan bibirnya. “En…gak mau! Saya gak bisa pegang tugas manajer. Saya gak tahu apa-apa!” tolaknya kemudian.“Enggak semuanya, kok. Nanti akan ada yang bantu juga tapi, tugas saya yang penting-penting aja kamu pegang.”“Tapi tugas manajer itu semuanya penting.”“Maksudnya yang paling penting dari semua yang penting,” sahut Rosie.“Contohnya apa?”“Sederhana, kok. Kamu cuma pantau grafik penjualan, nyusun strategi buat naikin penjualan, bikin laporan dan cek toko.”“Itu banyak banget, Manajer.” Viona mengeluh.“Saya rasa gak akan sulit buatmu, Viona. Kamu udah punya dasar dari semua itu.” Rosie meyakinkan.“Boleh tanya sesuatu?”“Silakan.”“Kenapa Manajer Rosie milih saya buat ngerjain itu semu padahal, banyak loh anak-anak sales lain yang lebih kompeten?” “Sederhana aja. Kare
Mario tidak jera di depan pengacara meskipun sudah melakukan hal yang jelas-jelas bersalah. Meski pengacaranya tampak tenang, raut wajahnya tidak bisa bohong jika kepalanya juga buntu akan kasus ini. “Apa Pak Han tidak bisa membela saya?” tanya Mario.“Bukan begitu. Jika kasusnya begini kita justru akan kalah. Bukti yang kita punya untuk memperkuat alibi pun tidak bisa kita dapatkan,” sahut Pak Han.“Pak Han., anda belum menyelesaikan tugas pertama anda dan sekarang malah berusaha membela saya.”“Baiklah. Sekarang katakan, kenapa anda menembaknya?” Pak Han bersiap menulis keterangan di atas selembar kertas.“Saya melakukannya untuk melindungi diri dari serangan Ethan. Apakah itu salah?”“Namun, menurut keterangan saksi sesuai dengan penyelidikan anda tidak sedang diserang.”“Baiklah. Kalau begitu, saya hanya melakukannya karena terpaksa. Takut jika dia menyerang saya lagi karena dokumen itu.” Mario begitu tenang. Pak Han memijat ujung alisnya. Tampaknya kali ini agak kewalahan
Keadaan sore di kantin rumah sakit, Yunri pun nyaris tidak kebagian tempat duduk untuk sekedar menikmati kursinya. Berniat untuk menikmatinya di taman belakang rumah sakit, akhirnya tidak jadi begitu matanya melihat satu kursi kosong di sebelah pria berpakain formal.Yunri mendekat dan meminta izin.“Maaf, apa boleh saya duduk di sini?”“Silakan!” pria itu mempersilakan tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatan dengan pulpen yang siap menari di tangan kanannya.“Terima kasiah.” Yunri lantas duduk berseberangan dengan pria itu.“Ah, anda pasti Nona Yunri, kan?” Pria itu tersadar akan orang yang duduk di depannya ketika mengangkat kepala.“Iya.”“Kenalkan, saya Yana.” Pria itu mengulurkan tangan. Gamang, tangan Yunri menjabat tangan pria itu. “Saya pengacaranya Ethan. Kebetulan sekali kita ketemu di sini.” Pak Yana menarik tangannya. “Pe-pengacara?”“Iya.” Yunri memandang lekat-lekat pria di depannya. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Bukankah itu artinya dirinya kali i
Dicky keluar setelah membasuh wajahnya. Pria itu sudah agak lega ketika keluar dari toilet tapi, langkahnya lunglai memasuki changging room sebelum masuk ke ruang riset. Baru saja pemuda itu memakai topi pelindung, seseorang menepuk pundaknya.“Pak Karta,” sapanya begitu melihat pria berbadan tambun. “Bagus, teruslah bekerja!” Pak Karta menyunggingkan senyum penuh arti setelah menyemangati begitu lantas melenggang. Dicky tidak dapat menangkap maksud yang terlukis di wajah Pak Karta itu. Mungkin hanya sekadar memberi semangat atau memang untuk mengintimidasinya secara mental. Hubungannya dengan Rosie sudah diketahui Giesta. Jika Pak Karta juga mengetahuinya tentu saja masalanya akan tambah runyam. Bahkan, Dicky akan dipecat dari Nature Chemical. Dicky menggidikan bahu, mencoba melupakan kerisauannya. Melanjutkan mengenakan pakaian pelindung lantas masuk ke ruang riset.*** Pekerjaan Rosie untuk meyelesaikan handover jobdesk bisa dia kerjakan dimanapu seperti hari ini, d
“Kamu kenapa baru bilang?” Rosie melipat tangan ke dada setelah mendengar ceita Ethan yang tidak dia duga jika Mario telah melakukan kekerasan jauh sebelum ini.“Habisnya, waktu itu Kak Ros kan lagi sibuk-sibuknya soal kasus produk.” Ethan berbohong, padahal waktu itu dia ingin pulang ke apartemen tapi, karena jarak kosan Yunri lebih dekat dari tempat itu, Ethan memilih untuk ke kos Yunri dan pulang keesokan harinya.“Tetap saja kamu harus bilang!” ketus Rosie.“Ya, maaf.”“Aku rasa ini bisa jadi tambahan untuk di persidangan nanti tapi, barang buktinya?” Rosie memiringkan kepala.“Di smartphoneku itu. Sayang sekali kalau sampai hilang.” Ethan mengela napas dalam.“Kalau begitu, apa kamu sudah siap untuk diwawancara pengacara?” tanya Rosie.“Aku siap kapanpun. Aku sudah bilang, aku cuma tertembak bukan wafat.”“Jangan dipaksa kalau enggak bisa. Kalau kamu bisa, nanti akan kuhubungi pengacara biar nanti sore bisa datang,” ucap Rosie.“Iya.” Ethan menyahut singkat.“Lalu, apa Mario mel
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p