Ethan duduk di balik meja kerja barunya di hari pertama dia bekerja sebagai seorang dokter di Yayasan. Tentu saja, dia hanya sebagai freelancer meski yayasan itu milik pamannya. Bukan tanpa alasan dia memilih sebagai freelancer, hanya saja waktu sebagai freelancer lebih bebas. Jika bisa, Ethan mungkin akan membuka kliniknya sendiri.Kursi hidrolik yang dia duduki beberapa kali dia naik turunkan bak anak kecil yang sedang mencoba permainan barunya. Saat menyenangkan seperti itu, ketukan di pintu lantas membuat dia terburu-buru memakai jas warna putihnya.“Masuk!” sahut Ethan.Perlahan, pintu itu pun terbuka. Sosok Yunri pun datang bersama dengan seorang anak kecil bertubuh gendut yang waktu itu mengganggu Lee. Datang seraya meringis.
Mario duduk di bangku panjang, mengebulkan asap tipis dari dalam hidungnya. Menenangkan kepala dengan asupan nikotin. Itu cara dirinya menenangkan kepala. "Kalau melamun gini, pasti mikirin hal yang sama. Yang sebenarnya gak perlu kamu pikirin.” Entah dari mana Giesta datang, wanita itu sudah berdiri di depan Mario seraya melipat tangan di depan dada. “Kukira kamu sudah ke Amerika ternyata masih di sini.” Mario kembali mengisap rokoknya. Giesta duduk di samping Mario, melepas kacamatanya kemudian menyandarkan punggungnya. "Coba aja dari dulu kamu sadar kalau Rosie itu adalah wanita tidak baik. Pasti kamu sudah menggantikan ayahmu sekarang.” “Kalau datang hanya untuk mengungkit masalah itu lagi, aku gak ada waktu untuk membahasnya.” . "Yah, sebagai sepupu yang baik, aku kan hanya menasihati untuk kebaikanmu.” "Diam !" bentak Mario. “Wah, wah. Sabar dong, Minoru san!” Giesta menyunggingkan senyum seakan belum puas melihat sepupunya itu dalam amarah. Saat emosi Mari
Langit kota G sudah mulai menggelap. Titik bintang berpendar di langi pun mulai bermunculan. Ethan berjalan di bawah sana sambil memanggul tas selempangnya. Hari pertama bekerja tidak terlalu melelahkan baginya karena tidak ada pekerjaan lain selain stok opname obat dan menangani luka kecil pada anak-anak akibat hiperaktifnya. Sesaat kemudian, langkahnya terhenti lalu memandang ke langit cerah penuh bintang. Mengembuskan napasnya perlahan. Indah. Hanya itu kesan yang Ethan dapatkan melalui matanya pada benda langit itu. Puas dengan langit, Ethan lantas mengalihkan pandangannya ke depan. Terlihan mobil van yang dia kenal masih buka. Kebetulan sekali, perutnya lapar dan menurut permintaan bagian tubuhnya itu yang meminta untuk dipenuhi. Ethan mendekat ke van burger langganannya itu. Hanya ada Tirta di balik konter yang sedang melayani seorang pria berpakaian f
Padahal belum masuk musim penghujan, tapi langit Kota G diselimuti awan yang agak mendung. Sore yang seharusnya masih sedikit menyengat pun jadi teduh. Jalanan kota G yang agak ramai oleh sebagai besar pejalan kaki dengan tujuan kemanapun mereka ingin. Dari balik kaca cafe, Rosie sedang menunggu seseorang masih dengan pakaian formalnya. Manajer pemasaran Absolute Beauty Chemical itu dengan sabar menunggu Dicky sambil sesekali menyeruput cappucino panas yang sudah mulai dingin karena paparan udara di dalam ruangan itu. “Maaf menunggu lama,” sapa seorang pria yang tiba-tiba saja datang. “Ah, tidak. Saya juga belum lama. Silakan!” Rosie mempersilakan pria itu duduk di kursi yang berseberangan dengannya. “Mau pesan apa?” tawar Rosie. “Tidak usah repot-repot, Manajer Rosie.” Dicky menolak halus. “Baiklah kalau begitu. Langsung saja ke intinya. Ada apa ingin ketemu saya?” tanya Rosie. “Anu … tentang masalah Youth Serum.” Dicky menelan salivanya, mengambil jeda sesaat. “Apa P
Lampu ruangan privat di sebuah restoran keluarga sedikit remang. Restoran yang dipilih oleh Lee untuk mengadakan pertemuannya dengan Rosie malam itu setelah sempat tertunda karena berbenturan dengan jadwal Rosie. Hanya mereka berdua. Rosie menempatkan dirinya sebagai perwakilan Absolute Beauty Chemical sengaja tidak mengajak rekan lainnya. Bukan tanpa alasan Rosie melakukan itu, melainkan dia ingin membuktikan kecurigaannya pasca penuturan Dicky tempo hari. Apakah Lee benar-benar ingin menghancurkan dirinya atau benar akan menanam modal. “Senang bisa bertemu lagi, Manajer Rosie,” sapa Lee. Tangan pria itu menuangkan bir ke dalam gelas untuk Rosie. “Iya. Saya pun masih gak nyangka kalau kita akan bekerja sama dalam hubungan bisnis nantinya." Rosie tersenyum tipis. “Silakan!” Lee menyodorkan bir dalam gelas ke dekat Rosie. “Terima kasih. Seharusnya saya yang menuangkannya.” “Tidak masalah. Kedepannya kita akan bekerja sama, kan?” Lee mendekatkan gelas ke depan bibirnya.
Rosie langsung merebahkan tubuhnya di atas king size. Bukan hanya kepalanya yang terasa berat, tapi juga seluruh badannya pegal. Perlakuan Lee tadi masih tergambar segar di kepalanya itu.Tok! Tok! Tok!Ketukan di pintu membuyar dirinya dari lamunan.“Kak, aku masuk ya!” Suara Ethan terdengar dari luar pintu kamarnya.“Ini sudah jam malam. Kamu gak boleh masuk.” Rosie menyahut.“Ayolah, sekali saja Kak!” Ethan memaksa seraya terus mengetuk pintu.Rosie bangkit dengan malas melangkah ke pintu. Soso
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi kamar. Perlahan kelopak mata itu bergerak-gerak lantas perlahan terbuka. Rosie bangkit dari posisinya lantas mengusap wajahnya, menguap melepaskan sisa rasa kantuk. “Kyaaaa!” sontak dia berteriak lantas refleks menendang pantat Ethan hingga adiknya itu terjungkal ke lantai. “Aduh!” lenguh Ethan seraya manahan sakit di badannya yang seakan mengambalikan alam bawah sadar dari kelananya. “Apaan sih, Kak!” protes Ethan. “Ke-kenapa kamu telanjang dada begitu?” Rosie menutup wajahnya. “Semalam gerah, tahu.” Ethan juga tidak ingat bagaimana dia bisa bertelanjang dada. Memori terakhir yang bisa dia tangkap atas kejadian semalam hanyalah sedang menenangkan kakaknya lalu ketiduran di atas king size. “Cepat pakai bajumu!” ucap Rosie seraya melemparkan baju kaos Ethan yang tepat mengenai dadanya. “Jam? Ini jam berapa?” Rosie panik buru-buru meraih smartphonenya. Matanya mendelik sebentar lantas melompat dari atas king size setelah menyadari d
[Saya Dicky] Rosie memperbaiki posisi duduknya. Memasang telinga menanti kabar apa yang akan diberikan Dicky hari ini. "Ya, ada apa?" [Saya sudah tahu siapa orang yang kemarin datang kepada saya] “Siapa?” [Setelah saya cari tahu, pria berparas Korea itu adalah] Dicky tidak melanjutkan kata-katanya. Membiarkan Rosie penasaran untuk beberapa saat. [Lee Jung Gi] Pupil mata Rosie membeliak mendengar nama yang tak asing baginya. Kecurigaannya hari ini terbayar oleh informasi yang dibawa Dicky. “Apa lagi yang kamu ketahui tentangnya?” Rosie menggali lebih dalam tentang Lee. [Putra tunggal seorang pengusaha kosmetik juga, tapi mereka masih menjual produk di seputar Korea Selatan saja] Sesuatu seakan menghujam dada Rosie. Pria mengaku ingin menanam modal di perusahaan tempatnya bekerja itu ternyata juga anak pebisnis di bidang yang sama ternyata sedang berusaha masuk untuk menghancurkan dirinya. “Kalau begitu, tentang formula apa ada yang Pak Dicky ketahui?” [An
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p