"Lagi-lagi kamu hanya menganggur!" Yunri masuk ke klinik. Gadis itu mendapati Ethan sedang bersandar di kursi hidrolik."Aku gak nganggur.""Lantas itu namanya apa?" Yunri memiringkan kepala memerhatikan kegiatan Ethan yang daritadi terlihat santai."Kenapa sih kamu sensitif banget sama aku? Padahal aku lagi kerja juga, ini." Ethan berkilah. Dia memang tidak mengerjakan apapun selain menunggu kedatangan pasien hingga jam istirahat pertama ini. Kemungkinan akan seperti itu hari-harinya."Heran, apa sih kontribusimu buat yayasan ini. Bisa-bisanya Pak Clayton memperkerjakanmu." Yunri mendekat ke meja kerja Ethan."Baiklah. Kamu ingin lihat aku kerja, kan?" Ethan menantang. Sementara Yunri memasang ekspresi datar menantikan apa yang akan dikerjakan Ethan."Kalau begitu, apa sudah kamu selidiki tentanga anak itu... siapa? Le Regar." Ethan menyahut."Apa urusannya denganmu?" Yunri kali ini kembali terheran."Kalau gak bisa lihat aku nganggur, silakan lakukan itu." Ethan mendekat ke arah Yunr
Yunri masih saja membolak-balik kertas itu, lantas seorang rekan kerjanya yang mendapati Yunri sedang kebingungan menghampiri.“Kenapa, Yun?” tanya rekan wanitanya itu.“Tidak apa-apa.” Yunri sebisa mungkin menyembunyikan ekspresinya.“Yakin?” tanya rekannya lagi.“Iya, jangan khawatir.” Yunri berkilah.“Ya sudah kalau begitu.” Rekannya pun kemudian berlalu. Jam ketiga sampai jam terakhir hari ini, Yunri tidak mengisi kelas. Pikirannya saat ini sedang bimbang. Sebagai seorang pendidik, tentu saja dia tidak ingin Le Regar terus ada titik ini. Bisa-bisa anak itu akan dibully habis-habisan jika dia tidak bisa membaca dan tulisannya kacau. Atau bahkan ini akan mempengaruhi masa depan Le Regar sendiri. Yunri memijat ujung alisnya, tentu saja kepalanya tidak sedang sakit. Dia menghembuskan napasnya perlahan dalam kebingungan yang tengah dia rasakan sekarang. Hanya Ethan yang bisa dia andalkan untuk masalah ini. Buru-buru dia mengambil buku tugas dan lembar ujian Le Regar. Suara
"A-apaan, sih Ethan? Jangan pegang-pegang!" Yunri menarik tangannya. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Pipinya merona. Ethan lagi-lagi mengembangkan senyumnya. "Pokoknya, kita pasti bisa bantu Le." Ethan menjawab."Tapi, pihak yayasan mau bantu gak ya untuk biaya pemeriksaan Le?" Wajah merona Yunri berubah menjadi khawatir. "Memangnya tidak ada dana khusus untuk itu?" tanya Ethan."Setahuku hanya ada biaya untuk MCU. Itu pun untuk anak-anak baru yang tergolong dalam keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah." Yunri mengingat tentang biaya kesehatan untuk anak-anak di yayasan. Sepengetahuan dan sepengalaman selama dia bekerja di Yayasan Pundak Kanan."Yah, umumnya sih ditanggung keluarga, tapi kan di sini sebagian besar anak-anak yatim-piatu." Celotehan Ethan membuat Yunri mendelik ke arahnya. Menyadari dirinya telah salah bicara, Ethan lantas mengela napas pelan."Maaf, bukan maksud aku." Ethan berkilah."Kalau begitu, nanti kubicarakan dengan Pak Clayton. Siapa t
Selepas kerja, Ethan dan Yunri sepakat duduk satu meja di sebuah kedai kopi kekinian yang ramah bagi kantong anak-anak muda. Bukan tanpa alasan mereka berdua terutama Yunri duduk satu meja. Berawala dari rasa tidak etis jika membicarakan atasan di tempat kerja sekaligus tidak bisa berbohong, Ethan memilih tempat ini untuk mengatakan jawaban yang dia terima. “Maaf, Yunri. Aku tidak bisa bantu kali ini. Pak Clayton menolak untuk memberikan dana pemeriksaan untuk Le Regar.” Yunri tidak terlalu kaget mendengar jawaba Ethan. Melihat ekspresi itu tadi pagi saat di lorong saja Yunri sudah bisa membaca raut kekecewaan di wajah Ethan. Sekalipun Yunri juga sedikit dekat dengan Pak Clayton, akan sangat lancang jika meminta bantuan dana hanya untuk mengetahui penyakit seorang anak didik. “Ti-tidak apa-apa,” jawab Yunri. “Sepertinya kamu begitu mengkhawatirkan anak itu, ya?” Ethan bisa merasakan alisnya berkernyit. “Ya begitulah.” “Aku sama sekali tidak bisa bantu karena biar bagaimana
Rosie menenangkan diri dengan secangkir kopi di pantri. Namun, kopinya tidak kunjung dia seruput sedikitpun. Hanya ditatapnya cangkir di atas meja kaca itu sambil memikirkan apa sebetulnya rencana Mario terhadap dirinya. Kalau Mario yang merencanakan, bukan tidak mungkin Mario juga dalang dibalik klaim Nature Chemical atas formula Youth Serum. Dalam lamunannya, Rosie mengenang kembali bagaimana Mario memperlakukannya dengan baik juga dengan kasar. Salah satu ingatan terburuknya tentang Mario sebelum Rosie benar-benar mengakhiri hubungannya dengan Mario adalah bagaimana Mario benar-benar berambisi untuk menikah dengannya. Pertengahan Juni dua tahun lalu, Mario datang ke apartemennya setelah bertengkar perkara rencana pernikahan. “Kita akan menikah. Rencana masa depan kita sudah direncanakan oleh ayahku, kita tidak akan kesusahan. Kamu tidak perlu bekerja, hidupmu akan sejahtera jika bersamaku.” Rosie membelakangi Mario, memandang keluar jendela apartemen yang men
Rosie tersenyum bisa membalas perlakuan memalukan Lee malam itu. Paling tidak, satu masalah tentang Lee terselesaikan sehingga dia tidak harus berurusan lagi dengan pria berdarah Korea Selatan itu.Malam itu, sewaktu Ethan mengikuti dirinya ke restoran tempat pertemuan dengan Lee. Ethan rupanya telah meminta izin untuk menyalin rekaman itu. "Kalau di Jepang menyetir tanpa SIM bisa kena tilang nih!" "Beda negara, Bos!" ucap Rosie. Ethan mengeluarkan smartphone dari saku celananya ketika menunggu untuk nyala lampu hijau di sebuah traffict light lantas menyerahkannya pada Rosie."Apa ini?" Rosie memiringkan kepala seraya mengambil benda pipih itu dari tangan Ethan."Coba aja buka galerinya. Ada video yang mungkin bakal berguna buat kakak." Ethan menarik tuas persneling lantas menginjak gas saat lampu hijau sudah menyala. Menuruti perintah Ethan, wanita itu lantas menuruti adik semata wayangnya. Sebuah video yang mempertontonkan bagaimana perlakuan Lee terhadap dirinya tadi di t
“Aku antar ke kos, ya?” tawar Ethan setelah mereka membahas tentang anak didik mereka yang satu itu.“Ngapain sih, gak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagian, aku masih harus ke van burger buat kerja.” Yunri melirik benda melingkar di tangannya. Memasukkan samrtphone ke dalam tas kecil lantas beranjak.“Bareng, yuk. Kita searah loh!” Ethan pun bergegas bangun dari duduknya. Menyusul Yunri yang meningalkannya beberapa langkah di belakang. Matahari siang itu masih teriknya menyengat apa saja yang ada di bawahnya. Termasuk tubuh Yunri dan Ethan. Mereka memilih berjalan di atas trotoar yang sepanjang jalan itu ditutupi pohon perindang. Langkah Ethan mendadak berhenti ketika sepasang netranya itu menangkap sesosok pria yang tidak asing baginya masuk ke sebuah toko pakaian bermerek bersama seorang pria. “Seharusnya a-.” Yunri menghentikan kalimatnya seraya menoleh ke belakang. Menyadari Ethan yang mematung sambil memandang ke sebuah toko, Yunri pun berbalik.“Kenapa bengong,
"Hah!" Ethan terbangun dari alam bawah sadarnya. Keringat dingin mengucur dari pelipis ke pipi tegas itu. Kepalanya terasa sedikit pusing. Entah mengapa, tubuhnya terasa panas meskipun udara dari AC berembus mendinginkan ruang tamu apartemen itu.Terengah-engah bagaikan baru saja dikejar seseorang di dalam mimpi. "Ma...ma." Bibir Ethan bergetar lirih. Menyebut nama wanita yang telah merawatnya. Sudah lebih dari sepuluh tahun Ethan tidak bertemu dengan ibunya. Bahkan, sejak dia pergi ke Jepang untuk kuliah, Ethan sudah lupa apa ibunya masih hidup atau tidak. Satu-satunya hal yang dia tahu adalah orang tuanya bercerai. Rosie dan Ethan diasuh oleh Om Clayton hingga Rosie bisa mencari nafkah sendiri dan lepas dari tanggung jawab Om Clayton.Ethan turun dari sofa, menyalakan lampu lantas melepaskan bajunya kemudian melangkah ke dapur dengan dada telanjang. Mengambil segelas air dingin untuk melegakan tenggorokan yang kering setelah mimpi buruk. Ethan mendekat ke jendela. Gemerlap Kota G d
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p