Sementara itu di tempat lain, Ethan sudah sampai di kediam Om Clayton. Berangkat dengan mobil milik kakaknya. “Rosie mana?” sambut Om Clayton sambil mencari seseorang di belakang Rosie. “Tadi niatnya mua ikut tapl gak jadi, katanya masih ada pekerjaan.” Ethan menjawab jujur. Om Clayton merangkul pundak keponakannya itu menuju ruang tamu. “Sayang sekali, dia itu sama kayak mamanya. Pekerja keras dan bertanggung jawab,” puji Om Clayton.“Ya, karena pekerjaannya itu aku kadang jadi sasaran untuk meluapkan stresnya.” komentar Ethan.“Hahaha, yah mau gimana lagi. Kan cuma kamu yang ada untuk itu.” Om Clayton mempersilakan keponakannya duduk di sofa bergaya mewah nan empuk itu.“Yah, pagi ini juga kedatangan seorang tamu,” tutur Ethan. Sesaat kemudian seorang pembantu datang membawakan minuman dan camilan untuk jamuan Ethan. “Kamu betah di yayasan?” tanya Om Clayton.“Yah, sejauh ini betah sih. Enak kerjanya.”“Oke. Om harap, kamu bisa betah terus di sana. Apa kamu gak mau buk
Setelah melewati jalan setapak yang jalurnya menjulur lurus, mereka memasuki jembatan kecil. Di bawahnya terdapat kolam ikan dengan bunga teratai di atasnya. Sesekali ikan mas seakan mengintip dua anak manusia itu dari bawah daun tertai yang lebar. Di ujung jembatan itu terdapat sebuah balai bengong dengan tembok pembatas setinggi pinggang orang deawa hingga pemandangan kolam masih terlihat dari sana. . Sesekali, angin berembus meniup rambut mereka yang berjalan berdampingan.“Ada dua hal yang gak bisa kupercaya setelah ketemu kamu.” Yunri memulai pembicaraan.“Apa itu?” “Pertama, aku masih gak percaya kamu seorang dokter dan yang kedua Pak Clayton punya keponakan sepertimu,” jawab Yunri. Pandangannya jauh ke tengah kolam.“Hahaha, kenyataannya begitu. Ya, mau gak mau kamu harus percaya.” Ethan menimpali.“Ya, mungkin kalau kamu dokter aku sudah sedikit pecaya sekarang. Tapi, kalau kamu keponakan Pak Clayton itu aku masih meragukannya. Langkah mereka pun sampai di balai be
Sebelum Yunri terlarut dalam suasana asmara seperti itu, Yunri menggeser pantatnya demi menjaga jarak dengan Ethan. “Ba-Bagaimana kalau kita lakukan segera?” Yunri gelagapan. Menunduk demi menyembunyikan rona di wajahnya. Ethan melengos, menyadari drirnya nyaris saja larut dalam suasana yang terjadi secara tiba-tiba. Di balik tulang rusuk itu masih terasa deguban yang membuat jantungnya nyaris saja lepas saking kencangnya. “Bisa kita mulai senin tapi, apa di yayasan ada alat pendukungnya, ya?” tanya Ethan. “Apa yang kamu perlukan?” Yunri memiringkan kepala.“Ya, seperti yang ada di film tadi.” Ethan menyahut.“Kalau itu, hampir semuanya ada kok.”“Baguslah, kalau enggak ada itu semua kita bisa keluar biaya nih,” komentar Ethan.“Jangan khawatir, alat penunjang belajar dan pengembangan kreativitas di yayasan itu lumayan lengkap, kok.” Yunri tersenyum.“Oke. Kita siapkan saja Senin. Aku akan melatihnya.” Ethan memerosot turun dari balai bengong. Menghirup udara yang segar itu lant
“Jangan pura-pura gak tahu, Om.” Rosie membentak, dia melempar amplop coklat hingga mendarat tepat di ujung kaki Om Clayton. Om Clayton miletakkan cangkirnya, membungkuk mengamit benda cokelat itu. Benda putih pun mencuat dari dalam sana, berhasil membuat pria itu penasaran. Apa gerangan yang akan ditunjukkan keponakan perempuannya ini. Om Clayton menarik kertas itu lantas membacanya sekilas. Om Clayton tidak mampu berkata apapun setelahnya, membeliak dan mengatupkan bibir. Hanya hal itulah yang bisa dia lakukan. “Di-dimana kamu dapatkan dokumen ini?” Om Clayton menatap keponakanya lekat-lekat. “Om gak perlu tahu. Sekarang, katakan apa maksud dari semua ini?” Rosie mendelik. Amarahnya masih membakar dada wanita itu sampai-sampai paru-parunya kembang kempis.“Rosie, ini gak seperti yang kamu pikirkan!” kilah Om Clayton seraya berdiri.“Jika Om gak mau katakan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan perusahaan ayah, aku tidak akan menganggapmu paman lagi. Aku bahkan tidak ped
Setelah menurunkan Yunri di depan kedai van burger milik Tirta, Ethan langsung melajukan kembali kendaraannya hingga di basement apartemen Roise. Pemuda itu bahkan tidak berkata apa-apa kepada Yunri meski hanya sekadar kata perpisahan hari itu. Ethan bahkan tidak merespon ucapan Terima kasih Yunri.“Aneh banget dua orang itu.” Yunri bergumam lantas berbalik mendekat ke Tirta.“Wih, beda banget penampilanmu hari ini. Terpesona abang kau buat,” goda Tirta.“Apaan sih, Tir.” Yunri merona dipuji seperti itu meski dia tahu Tirta hanya bercanda. Yunri naik ke van, menggantung tasnya lantas mengenakan apron warna cokelat. Mengikatkannya ke pinggang lantas mengkat rambut tinggi-tinggi.“Udah selesai urusanmu dengan Pak Clayton?” tanya Tirta.“Udah. Cuma cowok itu-,” Yunri menghentikan kalimatnya, mengambil jeda-.”Cowok itu … Banyak hal yang gak kupercaya darinya.” Yunri menghadap Tirta. “Gimana maksudnya?”“Pertama, aku gak percaya kalau dia dokter, yang kedua ini yang mengagetkan. Dia itu
Langit Kota G sudah menggelap, dihias oleh titik garis yang terbentuk oleh bintang-bintang. Lampu penerang jalan dan dari gedung-gedung tinggi pun membuat Kota G tampak gemerlap. Ethan membuka mata, pemuda itu menurunkan kaki ketika menyadari dirnya sudah ketiduran di di atas sofa dengan smartphone di atas perutnya. “Sial, malah ketiduran!” gumam Ethan setelah melihat jam di layar smartphonenya yang sudah menunjukkan angka dua puluh lewat lima menit. Setelah menggeliat sejenak, Ethan bangkit dari kursi. Dia memberanikan diri untuk masuk ke kamar Rosie. Sudah tidak sabar menunggu jawab atas pertanyaan yang dia lontarkan pada kakaknya sepulang dari mansion Om Clayton tadi siang. Takut Rosie akan menyemprotnya dengan sikap dingin, Ethan menekan gagang pintu kamar Rosie pelan-pelan. Mengendap-endap dan mendapati kakaknya sudah terlelap. “Tumben banget tidur cepat,” gumam Ethan saat memerhatikan wajah kakak perempuannya itu. Melihat Rosie tidur cepat adalah pemandangan langka
Ethan pun terjaga hingga langit sudah terang. Pemuda itu sudah sibuk di dapur demi menyiapkan makanan untuk Rosie. Saat Ethan sedang sibuk seperti itu, Rosie keluar dari kamar dalam balutan pakaian yang dia kenakan semalam.“Sedang masak apa?” tanya Rosie. Wajah wanita itu masih tampak pucat, kepalanya pun masih terasa pusing.“Kakak!” Ethan menghampiri Rosie, memerhatikan wajah kakaknya yang pucat itu lantas melettakan punggung tangan di dahi Rosie. “Badanmu masih panas, sebaiknya kamu istirahat saja.” Ethan menyarankan. Rosie menurunkan tangan Ethan dari dahinya. “Urusan pekerjaan gak bisa kutinggalkan. Aku cuma sakit, bukannya mati.” Rosis berbalik tapi, tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang lantas, tubuh sintal itu ambruk di dada Ethan. “Dasar bodoh! Sudah kubilang untuk istirahat!” Ethan meracau. Ethan menggendong tubuh Rosie hingga ke kamar lantas membaringkannya di atas king size. Meninggikan posisi kaki Rosie lebih tinggi dari kepala dengan bantuan guling. Mel
Mario duduk di sofa mewah kantor advokad itu, berseberangan dengan seorang pria bertubuh kurus, wajahnya tirus dan agak tinggi. Usianya kira-kira empat puluh tahunan. “Kita tinggal selangkah lagi. Setelah aku resmi mengirimkan dokumen pailit Absolute Beauty Chemical aku akan menduduki jabatan CEO dan mengakuisisi dengan perusahaan Lee.” Mario duduk santai. Mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak lantas melepit benda itu dengan giginya. Sesaat seelah menyalakan pemantik, asap tipus pun mengebul dari hidung Mario.“Apa Pak Mario yakin dengan ini?” tanya pria di depannya yang juga sedang mengebulkan asap rokok.“Ya, tapi bukankah Rosie masih punya adi yang seharusnya memiliki saham itu? Saya sudah menyelidiki profil ABC dan Nature Chemical. Bukan tidak mungkin rencana kita ini gagal,” ucap Pak Han. Pria itu bernama Pak Han, sudah puluhan tahun menjadi advokat dan mengurusi berbagai urusan advokat dari urusan tanah sengketa hingga kerjasama perusahaan. Mario merubah posisi
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p