Langit Kota G sudah menggelap, dihias oleh titik garis yang terbentuk oleh bintang-bintang. Lampu penerang jalan dan dari gedung-gedung tinggi pun membuat Kota G tampak gemerlap. Ethan membuka mata, pemuda itu menurunkan kaki ketika menyadari dirnya sudah ketiduran di di atas sofa dengan smartphone di atas perutnya. “Sial, malah ketiduran!” gumam Ethan setelah melihat jam di layar smartphonenya yang sudah menunjukkan angka dua puluh lewat lima menit. Setelah menggeliat sejenak, Ethan bangkit dari kursi. Dia memberanikan diri untuk masuk ke kamar Rosie. Sudah tidak sabar menunggu jawab atas pertanyaan yang dia lontarkan pada kakaknya sepulang dari mansion Om Clayton tadi siang. Takut Rosie akan menyemprotnya dengan sikap dingin, Ethan menekan gagang pintu kamar Rosie pelan-pelan. Mengendap-endap dan mendapati kakaknya sudah terlelap. “Tumben banget tidur cepat,” gumam Ethan saat memerhatikan wajah kakak perempuannya itu. Melihat Rosie tidur cepat adalah pemandangan langka
Ethan pun terjaga hingga langit sudah terang. Pemuda itu sudah sibuk di dapur demi menyiapkan makanan untuk Rosie. Saat Ethan sedang sibuk seperti itu, Rosie keluar dari kamar dalam balutan pakaian yang dia kenakan semalam.“Sedang masak apa?” tanya Rosie. Wajah wanita itu masih tampak pucat, kepalanya pun masih terasa pusing.“Kakak!” Ethan menghampiri Rosie, memerhatikan wajah kakaknya yang pucat itu lantas melettakan punggung tangan di dahi Rosie. “Badanmu masih panas, sebaiknya kamu istirahat saja.” Ethan menyarankan. Rosie menurunkan tangan Ethan dari dahinya. “Urusan pekerjaan gak bisa kutinggalkan. Aku cuma sakit, bukannya mati.” Rosis berbalik tapi, tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang lantas, tubuh sintal itu ambruk di dada Ethan. “Dasar bodoh! Sudah kubilang untuk istirahat!” Ethan meracau. Ethan menggendong tubuh Rosie hingga ke kamar lantas membaringkannya di atas king size. Meninggikan posisi kaki Rosie lebih tinggi dari kepala dengan bantuan guling. Mel
Mario duduk di sofa mewah kantor advokad itu, berseberangan dengan seorang pria bertubuh kurus, wajahnya tirus dan agak tinggi. Usianya kira-kira empat puluh tahunan. “Kita tinggal selangkah lagi. Setelah aku resmi mengirimkan dokumen pailit Absolute Beauty Chemical aku akan menduduki jabatan CEO dan mengakuisisi dengan perusahaan Lee.” Mario duduk santai. Mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak lantas melepit benda itu dengan giginya. Sesaat seelah menyalakan pemantik, asap tipus pun mengebul dari hidung Mario.“Apa Pak Mario yakin dengan ini?” tanya pria di depannya yang juga sedang mengebulkan asap rokok.“Ya, tapi bukankah Rosie masih punya adi yang seharusnya memiliki saham itu? Saya sudah menyelidiki profil ABC dan Nature Chemical. Bukan tidak mungkin rencana kita ini gagal,” ucap Pak Han. Pria itu bernama Pak Han, sudah puluhan tahun menjadi advokat dan mengurusi berbagai urusan advokat dari urusan tanah sengketa hingga kerjasama perusahaan. Mario merubah posisi
Ada sesuatu yang salah dengan perkataan Rosie tentang dirinya. Jika Rosie hanya bercanda, Rosie akan mengatakan secara terang-terangan mengatakan dirinya bercanda kepada Ethan. Akan tetapi, sorot mata Rosie, nada bicara dan kalimat itu begitu sangat serius. Napsu makan Ethan mendadak hilang, burger yang sudah digigit setengah itu diletakkannya kembali di piring. Pemuda itu tidak ingin makan lagi akibat pikirannya tentang diri sendiri. Terlintas di kepalanya tentang amplop kemarin yang dibawa Rosie dari rumah Om Clayton. Mungkin yang disebut Rosie sebagai dokumen negara sangat rahasia itu bisa menegaskan tentang perkataan Rosie. Ethan kembali ke kamar Rosie, berjalan pelan agar tidak mengganggu kakak yang sedang terbaring lemas di atas king size. Berdiri di dekat nakas, Ethan menyapukan pandangan ke seluruh bagian nakas sambil sesekali melihat ke arah Rosie yang sesekali menggeliat mengubah posisi tidurnya. Setelah memastikan aman, Ethan kembali menyapukan pandangannya. S
Bak tersambar petir di siang bolong, Ethan tidak percaya apa yang barusan dibacanya.Tidak mungkin dirinya bukan adik kandung Rosie. Tidak mungkin dirinya lahir dari rahim wanita simpanan ayahnya. Mata Ethan mulai terasa perih terlebih lagi, ini yang mungkin dimaksud Rosie di ruang kerja beberapa hari lalu. Dada Ethan berdegub kencang, ada sesuatu yang seakan menghujam dadanya saat itu juga. Terasa sakit lalu Ethan memerosot ke lantai. Kebenaran ini masih belum bisa membuatnya begitu yakin tentang jati dirinya. Tubuhnya lemas seakan semesta menyerap energi sepenuhnya dari tubuh itu. “Apa-apaan ini!” racaunya. Ethan meremas kuat-kuat surat itu. Lantas menghantamkan tangannya ke lantai berkali-kali hingga tangannya terasa sakit. Namun, rasa sakit yang dia buat tidak lebih sakit dari hatinya yang mendadak dicabik oleh kenyataan. Puas mengeluarkan kekesalannya ke lanta, Ethan memeluk lutut. Menumpahkan air matanya di atas lutut. Mengerang dalam diamnya agar suaranya tidak sampa
Rosie bangun dari tempat tidur meski kepalanya masih terasa sakit tapi, demi mengosongkan kantung kemih yang penuh dengan hasil ekskresi, Rosie menguatkan diri untuk menuju ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, setelah lega dia hendak kembali ke kamar. Baru beberapa langkah berjalan, wanit itu merasa pusing dan terpaksa harus beristirahat di sofa. Baru saja Rosie duduk di sofa empuk yang selama ini jadi tempat ternyaman bagi Ethan untuk menginstirahatkan tubuh. Ketiak baru saja pantat wanita itu menyentuh permukaan sofa, dia merasakan sesuatu yang kaku di sana. Rosie memeriksa sesuatu di bawah pantatnya dan menarik benda itu dari bawah. Rosie membeliak ketika benda tak asing itu berada di depan matanya. Seingatnya. Dokumen ini terakhir dia letakkan di laci nakas tapi, mustahil bisa di sini. Butuh beberapa saat bagi Rosie untuk memikirkan benda itu. Sesaat kemudian Rosie membeliak. Tidak ada orang lain selain Ethan yang bisa membawa keluar dokumen ini dari dalam l
Rosie terbangun ketika menyadari di luar sudah menggelap. Dia tidak mendapti Ethan di sampingnya. Ketika menoleh ke arah nakas, makanan sudah siap di atas nampan. Rosie lantas menurunkan kakinya ke lantai. Tidak hanya ada makanan di atas nampan itu tapi juga selembar sticky note warna kuning. “Kakak, makanlah yang banyak! Jangan cemas, aku hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri. Aku juga sudah siapkan obat dan vitamin untukmu. Minumlah! Kalau kondisimu tidak membaik juga, tolong pergi ke dokter!” Rosie memandang makanan di atas nampan itu lantas bergumam, “Bocah itu, kemana dia pergi?” Sementara itu, di tempat lain Yunri pulang dari perjalanannya menutup kedai. Ketika melewati sebuah bangku panjang di trotoar, didapatinya Ethan dengan wajah letihnya sedang duduk sambil minum kopi kaleng. Mata Yunri tertuju pada ransel cokelat yang mengembung penuh barang.“Kamu mau naik gunung malam-malam begini?” ucap Yunri. Suara Yunri berhasil membuat Ethan mengangkat dagunya. “Bagu
Pagi itu, Rosie memutuskan untuk bekerja dari rumah karena badannya belum betul-betul fit untuk pergi ke kantor. Setelah menghubungi bagian HRD, Rosie lantas duduk di depan laptop. Dengan begini, dia bisa istirahat jika kondisi tubuhnya tidak bisa bekerja sama di tengah perkerjaan. Rosie membuka laporan dan membacanya dengan serius. Masalah Nature Chemical dan Absolute Beauty Chemical belum juga bisa dia selesaikan. Bukannya lari dari masalah tapi, Rosie sudah kehabisan akal untuk memberesakan masalah klaim formula yang berpengaruh pada brand produk. Sekeras apapun Rosie mencoba berkonsentrasi, pikirannya Rosie malah jadi buyar. Rosie bersandar pada sandaran kursi hidrolik, menghela napas lantas melipat tangan di dada. “Aku bisa gila!” gumam Rosie. Beberapa saat kemudian, Rosie mengulurkan tangan, membuka laci meja kerjanya. Dokumen yang diberikan oleh Om Clayton tentang pewaris Naure Chemical. Ada sesuatu yang tidak beres tentang semua ini. Rosie mendaratkan amplop i
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p