Rosie tidak begitu terkejut dengan pengakuan ayahnya. Wanita itu sudah lebih santai dengan kenyataan. Wajah Jonthan yang lebam dengan sedikit kejujuran bagi Rosie itu sudah cukup untuk menentukan langkah Rosie selanjutnya.“Lalu, Ayah. Apa kamu tahu tentang kasus pembunuhan seorang wartawan saat perusahaan pecah?” Meski tidak ingin menanyakan hal sensitif seperti itu, pada akhirnya pertanyaan itu saja yang keluar dari mulut Rosie. Bukan tanpa tujuan tapi, bangkai di air seharusnya mengambang di permukaan dan mudah ditemukan. Jonathan menarik napas dalam-dalam, rasa nyeri pun memenuhi dadanya akibat perlakuan dari Mario dan anak buahnya.“Mengenai itu, itu juga memang terjadi. Akan tetapi, tidak mudah untuk mengungkap buktinya. Apa kamu berniat menyerang Absolute Beauty dengan itu?’ Jonathan mencari jawaban di mata putrinya. “Tidak. Aku hanya ingin menjawab sebuah pertanyaan dari seorang anak yang ayahnya terbunuh hanya karena berita,” sahut Rosie.“Apa maksudmu?” Jonathan memir
Pak Clayton bangkit, mengunci tangannya di belakang punggung. Laki-laki itu memandang keluar jendela dan berdeham. “Maaf sudah melibatkanmu dalam masalah keponakanku, Yunri.” Yunri hanya terdiam, di balik tempurung kepalanya, bukankah yang seharusnya minta maaf atas masalah ini adalah Ethan atau kakaknya tapi, Pak Clayton begitu rendah hati. Bahkan mau mewakili keponakannya untuk meminta maaf.“Tidak perlu, Pak. Namun, sebenarnya yang saya ingin tahu, kenapa masalah ini bisa terjadi dan melibatkan saya?” Yunri memandang punggung lebar Pak Clayton.“Masalah keluarga itu rumit untuk diceritakan. Suatu hari, kamu akan tahu siapa Ethan sebenarnya, Yunri.” Pak Clayton berbalik. Mereka berdua saling bertemu tatap. “Baiklah, kalau begitu… Saya permisi dulu.” Yunri beranjak dari duduknya. Sepeninggal Yunri dari ruangan itu, Pak Clayton mengela napas dalam-dalam. Mengeluarkan smartphone dari dalam saku celananya lantas menghubungi seseorang. “Tolong proses secara hukum!” ucap Pak C
Rosie duduk tenang di ruang kesaksian. Hanya ada dia dan anggota polisi yang mengaku bernama Rafael sebelumnya. Pakaian serba hitam itu membuatnya tampak gagah karena bentuk tubuhnya pun atletis. “Bu Rosie, kita akan mulai.” Pria itu memulai pemeriksaan dengan sebuah buku catatan di depannya. “Adik anda dibawa ke gudang waktu itu. Apakah Bu Rosie tahu?” “Tidak. Anak itu bahkan gak pulang selama tiga hari. Dan di hari ke-3 barulah saya tahu kalau dia disekap.” Rosie menjawab jujur. “Lalu dokumen ini?” Tangan Rafael yang kekar mengangkat amplop itu di depan Rosie. “Ya, saya tahu.” “Apa isinya?” “Bukankah Pak Rafael bisa melihatnya sendiri? Kenapa saya harus repot-repot menjawab?” Rafael mengela napas dalam-dalam lantas meletakkannya kembali di atas meja. Dia pernah menangani kasus mirip seperti ini dengan karakter wanitanya persis seperti Rosie. “Baiklah. Kita ke pertanyaan lain tapi, masih berkaitan dengan dokumen ini.” Rafael memajukan sedikit tubuhnya, merapatkan ta
Rosie tidak langsung pulang ke apartemennya, melainkan dia datang ke rumah sakit. Menyempatkan diri menjenguk keadaan Ethan yang kabarnya sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Rosie duduk di sebelah brankar. Memandang wajah Ethan yang menyisakan luka lebam. Sosok itu terbaring tak berdaya dibantu dengan alat pernapasan. Hanya suara EKG di sebelah Ethan yang terhubung ke dada kekar pemuda itu sekaligus mengisi keheningan ruangan itu.Kriit! Seorang pria yang usianya tampak sedikit lebih muda dari Pak Clayton masuk dengan pakaian formal. Wajahnya tampak awet muda, tubuhnya tampak bugar sekalipun kalau dipikir, pria itu seharusnya sudah punya anak paling tidak berusia sepantaran dengan Ethan. “Selamat sore, Nona Rosie,” sapanya ramah. “Sore,” Rosie membalas. Wanita itu kemudian beranjak ke sofa tamu di dekat sana. Maklum, ruang perawatan itu adalah ruang perawatan VIP. Kamarnya pun cukup luas sehingga memungkin menerima tamu hingga lima orang. “Silakan duduk.” Rosie mempersilak
Rosie duduk di kursi ditemani secangkir kopi dan roti sederhana di depannya. Makanan itu tak kunjung terjamah olehnya sejak makanan itu diantar kira-kira lima menit lalu. Matanya hanya memandang keluar jendela kanti, pikirannya mengawang. Drrrt! Drrrt! Drrt! Getar smartphone itu membuyar dirinya. “Ya.”[Sore, Bu Rosie] suara dari manajer HRD di seberang sana.“Iya.”[Maaf mengganggu sore-sore begini, Bu Rosie. Hanya saja, sayang sekali. Untuk proses resignya kami percepat. Besok tidak usah datang untuk wawancara dan last day untuk bekerja di ABC adalah dua hari lagi] Mata Rosie membulat mendengar informasi dari rekan kerja beda departemen itu. “Kenapa sangat cepat? Jika sesuai SOP, tanggal terakhir bekerja saya adalah tanggal 30 bulan depan.”[Sayang sekali, Bu. Ini adalah perintah Pak Harwan jadi, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Maaf]“Baiklah. Saya mengerti. Terima kasih informasinya.”[Kalau begitu, saya tutup] Panggilan pun terputus. Rosie mengela napas pelan dan mel
Rosie pagi-pagi sudah berada di kantor Absolute Beauty. Menunggu manajae HRD di ruangannya. Tak berapa lama kemudian, orang yang ditunggu pun datang. “Pagi!” sapa Rosie.“Pagi, Bu Rosie.” Wanita bertubuh tambun berparas ayu itu pun membalas. “Tunggu sebentar ya,” imbuhnya kemudian melenggang ke belakang meja. Mengambil sebuah file dan mengeluarkannya. Begitu wanita itu menemukan apa yang dicarinya, wanita itu kemudian duduk di sofa berseberangan dengan Rosie dengan meja kaca sebagai pembatas mereka. “Silakan baca dulu, Manajer Rosie.” Wanita itu pun menyodorkan map dan Rosie pun menerimanya. Rosie membaca dengan seksama kertas di dalam map itu. Setelah merasa cukup adil dan hak-haknya terpenuhi setelah resign, Rosie pun menandatanganinya.“Sayang sekali, Bu Rosie harus meninggalkan perusahaan ini. Padahal kontribusi Bu Rosie sangat besar,” sesal Sang Manajer HRD.“Setinggi apapun jabatan saya dan sebanyak apapun kontribusi saya terhadap perusahaan, saya tetap saja seorang pek
“Viona, saya ada tugas untuk kamu!” Rosie memulai dengan serius.“Apa?”“Setelah saya Resign, saya akan handover sebagian besar tugas saya kepadamu,” jawab Rosie dangan tatapan serius.“A…apa?” Viona mengatup-ngatupkan bibirnya. “En…gak mau! Saya gak bisa pegang tugas manajer. Saya gak tahu apa-apa!” tolaknya kemudian.“Enggak semuanya, kok. Nanti akan ada yang bantu juga tapi, tugas saya yang penting-penting aja kamu pegang.”“Tapi tugas manajer itu semuanya penting.”“Maksudnya yang paling penting dari semua yang penting,” sahut Rosie.“Contohnya apa?”“Sederhana, kok. Kamu cuma pantau grafik penjualan, nyusun strategi buat naikin penjualan, bikin laporan dan cek toko.”“Itu banyak banget, Manajer.” Viona mengeluh.“Saya rasa gak akan sulit buatmu, Viona. Kamu udah punya dasar dari semua itu.” Rosie meyakinkan.“Boleh tanya sesuatu?”“Silakan.”“Kenapa Manajer Rosie milih saya buat ngerjain itu semu padahal, banyak loh anak-anak sales lain yang lebih kompeten?” “Sederhana aja. Kare
Mario tidak jera di depan pengacara meskipun sudah melakukan hal yang jelas-jelas bersalah. Meski pengacaranya tampak tenang, raut wajahnya tidak bisa bohong jika kepalanya juga buntu akan kasus ini. “Apa Pak Han tidak bisa membela saya?” tanya Mario.“Bukan begitu. Jika kasusnya begini kita justru akan kalah. Bukti yang kita punya untuk memperkuat alibi pun tidak bisa kita dapatkan,” sahut Pak Han.“Pak Han., anda belum menyelesaikan tugas pertama anda dan sekarang malah berusaha membela saya.”“Baiklah. Sekarang katakan, kenapa anda menembaknya?” Pak Han bersiap menulis keterangan di atas selembar kertas.“Saya melakukannya untuk melindungi diri dari serangan Ethan. Apakah itu salah?”“Namun, menurut keterangan saksi sesuai dengan penyelidikan anda tidak sedang diserang.”“Baiklah. Kalau begitu, saya hanya melakukannya karena terpaksa. Takut jika dia menyerang saya lagi karena dokumen itu.” Mario begitu tenang. Pak Han memijat ujung alisnya. Tampaknya kali ini agak kewalahan
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p