Pagi merangkak menjadi siang, seperti rencana sebelumnya, Yunri dan Ethan sudah selesai mempersiapkan peralatan untuk mengajar Le Regar dengan metode dari film India yang mereka tonton di internet.“Apa gak masalah mencoret tangga ini?” Ethan memandang angka di tangga yang dia gambar dengan kapur.“Nanti bisa dibersihin.”“Bener?” tanya Yunri.“Iya.”“Oke, aku gak ikut-ikut kalau kena omel Pak Clayton,” ucap Ethan.“Kakak!” Le Regar berlari menghampiri mereka berdua dari arah pintu keluar bagian belakang gedung yayasan. Menepati janjinya pada Yunri.“Udah datang nih.” Yunri mencubit gemas pipi bocah itu.“Kenapa Kakak menyuruh aku datang ke sini?” Bocah itu diselimuti rasa penasaran.“Le, mulai hari ini Kakak dan Kak Dokter akan mengajarimu secara pribadi.”“Kenapa begitu? Kenapa gak ngajar di kelas aja sama teman-teman?” Rasa penasaran di wajah mungil itu malah semakin membesar. Ethan menyamakan posisi dengan anak itu dengan berjongkok.“Mau tahu kenapa kami mengajarimu secara pr
“Apa?” Rosie akhirnya merespon dengan mata yang tetap terpejam.“Aku akan menyelamatkan perusahaan ayah.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Ethan membuat Rosie seketika membuka matanya.“Jangan bercanda, gak ada yang bisa kamu lakukan untuk itu.” Rosie memperingatkan.“Ada.”“Enggak ada.”“Kenapa Kak Ros jadi pesemis? Apa ambisimu itu sudah hilang sekarang?” Ethan memiringkan kepala, memandang kakaknya lekat-lekat. Rosie mengembuskan napas lantas melengos. Menegakkan tubuhnya lantas bersandar pada daun king size. “Gini loh, Ethan. Ini gak semudah yang kamu pikirkan. Kalau kamu nekat juga, silakan lakukan sendiri. Sebaiknya pikirkan dulu baik-baik.”“Apa kamu gak mau bantu demi perusahaan ayah?”“Ini harus kita pikirkan matang-matang, jangan gegabah.” Rosie mengingatkan.“Kalau kita berdiam diri saja, kita malah gak bisa melakukan apapun. Bukankah Kak Ros juga sekarang sedang ada masalah produk formula Youth Serum dengan Nature Chemical?” Rosie memandnag lekat-lekat mat
Minuman yang sudah dihabiskannya di van burger rupanya tidak sanggup menghilangkan kalut di balik tempurung kepalanya. Dia melenggang meninggalkan Yunri yang masih terheran-heran dengan tingkah Ethan hari ini. “Tuh, lihat Tir! Bahkan dia gak bicara apapun dan melenggang begitu.” Yunri memandang punggung Ethan yang semakin menjauh.“Sudahlah, nanti juga balik lagi mood ngeselinnya,” komentar Tirta. Ethan melanjutkan langkahnya limbung. Padahal dirinya belum memulai langkah apapun tapi, dia malah seperti orang yang sudah putus harap. Seakan di depannya tidak ada jalan lagi. Ethan menarik napas panjang, mengembuskannya demi menengkan perasaan di dadanya. Sesaat kemudian, Ethan membeliak ketika melihat Mario dengan seorang pria yang pernah dia lihat masuk ke gedung sebuah kantor advokat waktu itu. Seharusnya ini masih jam kerja tapi, kenapa Mario malah mangkir dengan seorang pria dan ke kantor advokat yang sama? Bukankah seharusnya Mario menggantikan tugas Rosie di kantornya? T
Sesuai dengan permintaan Pak Harwan, Rosie pagi itu sudah mengenakan pakaian formal sekalipun wajahnya tampak pucat tapi, polesan make up mampu menutupi kesan tidak menyegarkan itu. “Aku akan pergi ke kantor. Kamu jangan macam-macam!” ucap Rosie pada Ethan yang baru keluar dari kamar mandi hanya dengan boxer dan menunjukkan dada telanjang.“Aku juga mau kerja kali, Kak. Gak kelayapan.” Ethan berkilah.“Ya udah, kerja yang bener!” Rosie keluar dari apartemen itu. Ethan kemudian menyeringai memandang ke arah berlalunya Rosie seraya berkata, “Enak aja jangan macam-macam!” Ethan masuk ke kamar Rosie lantas keluar lagi dengan pakaian formal ala CEO. Dandannya klimis dan rapi. Di balik tempurung kepalanya, dia sudah merencanakan sesuatu untuk pergi ke kantor Nature Chemical. Berpura-pura menjadi seorang pungunjung dari sebuah perusahaan. Tak lupa dia memasukkan tanda pengenal palsu yang dia desain sendiri. Akan tetapi, sebelum Ethan melancarkan aksinya dia menghubungi Yunri.“Halo
Setelah menyelesaikan urusannya, Ethan keluar dari gedung itu dengan rasa puas tapi, ini baru saja dimulai. Dia berpapasan dengan seorang wanita di undakan depan gedung yang tentu saja tidak asing baginya. “Kamu!” Tiba-tiba suara tegas wanita itu menghentikan langkah Ethan. Mencoba setenang mungkin, Ethan tersenyum ramah. “Wah, tidak disangka ketemu lagi. Nona Tas French Pink!” celetuk Ethan.“Jangan panggil aku begitu!” Giesta mendelik ke arah Ethan seakan tidak suka dengan keberadaan Ethan.“Apa yang kamu lakukan di kantorku?” tanya Giesta penuh curiga.“Hanya mau ketemu teman lama.” Ethan berkilah.“Siapa?” Giesta memiringkan kepala.“Bukan urusanmu!” Ethan hendak melenggang meninggalkan Giesta. “Tunggu!” Suara itu sekali lagi menghentikan langkahnya. “Kamu tidak sedang memata-matai kami, kan?” “Jangan curigaan begitu. Aku sama sekali gak ngerti dunia kosmetik.” Sekali lagi Ethan berkilah. Melanjutkan langkahnya dan membiarkan Giesta dengan rasa penasaran. Sementara di
Mobil mewah warna hitam yang dikendarai Mario melaju mulus di jalan tol Kota Jakarta. Dia pergi ke kota metropolitan itu untuk menyelesaikan urusannya. Mengabaikan pekerjaannya sebagai asisten Rosie. Bekerja di bawah seorang wanita seakan menampar harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Mobil itu keluar dari jalan tol lantas masuk ke sebuah area pertokoan yang terbengkalai. Berhenti di sebuah gudang dengan rolling door yang sudah terjamah vandalisme. Dia disambut oleh dua orang pria berpakaian formal serba hitam begitu turun dari mobil mewah itu. Perlahan, rolling door pun dibuka seakan menyambut Mario yang masuk ke sana. “Bagaimana dengan tawanan kita?” tanya Mario seraya berjalan masuk. “Dia aman. Kami sudah mengurusnya.” “Bagus!” Diantar oleh dua pengawal itu, Mario akhirnya berhadapan dengan pria yang tak lain adalah Pak Jonathan. Mario membuka kaca mata hitamnya, memandang wajah calon mertua yang tidak jadi itu. “Wah, apa kalian tidak memberinya makan? Lihat
“Kapan kamu akan menikahiku, Mas?” Mario mengehala napas dalam, dada bidangnya itu kembang kempis. “Tunggulah sampai aku merebut semua dari wanita itu.”“Aku udah sabar menunggu. Sejak kamu masih dengannya pun aku sabar hingga sekarag hubunganmu udah lama kandas tapi gak ada kepastian.” Mario bangkit dari posisinya hingga Lin menggeser kepalanya yang sudah terlanjur nyaman. “Sabar saja dulu!” “Enggak bisa. Apa aku hanya jadi pelampiasan napsumu itu saja?” Lin Memandang Mario lekat-lekat tapi, Mario abai dan berkata “Aku mau mandi.” Seraya turun dari ranjang dan melenggang ke kamar diri. Begitulah kesabaran Lin dalam menghadapi pria yang sudah lama menjadikan dirinya simpanan itu. Bahkan, Lin sudah sangat sabar dengan semua perlakuan Mario padanya. Tak apa jika dirinya hanya dijadikan pelampiasan napsu karena yang dia butuhkan hanyalah uang untuk bertahan hidup di kota metropolitan ini. Akan tetapi, ternyata kebutuhan hidup yang mendorongnya menjadi pelayan napsu Mario
Malam itu di balkon apartemen, Rosie berdiri sambil terus berpikir tentang Mario. Jika dia menikah dengan Mario hanya karena alasan menyelamatkan perusahaan, tentu saja itu bukan hal yang adil baginya. “Apa yang kamu cemaskan, Kak?” Ethan mendekat dengan segelas kopi di tangannya. Keduanya memandang jauh ke gemerlap malam Kota G di bawah sana. “Entah kenapa aku malah jadi cemas tentang arah permainan mereka.“Kamu udah kerja keras, Kak. Jangan biarkan mereka menghancurkanmu. Soalnya kita udah tahu kebenarannya. Sudah sejauh ini sayang banget kalau kita berhenti merebutnya. Ethan menyeruput kopinya. “Kalau aku gak kerja keras siapa lagi yang harus kerja keras? Tanpa kusadari selama ini ternyata aku bekerja untuk perusahaan ayah. Aku dedikasikan dengan tulus tanpa sadar menjadikanku seseorang yang berambisi.” Rosie tidak berpaling dari pemandangan di depannya.“Iya. Siapa sangka semuanya akan jadi begini. Maaf jika membuatmu marah tapi, apa kamu percaya Mario, Kak?” “Entahlah.
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p