Rosie datang lebih awal daripada karyawan lainnya, dia duduk di kursi hidrolik di ruang kerjanya. Sejak dia membuka laptop, dia tidak tahu harus mengerjakan apa. Hanya lembar kerja pengolah data yang dia buka seakan menonton dirinya yang sedang bingung dengan pekerjaan. Menggulir tombol ke atas dan ke bawah, hanya itu yang dia lakukan.Beberapa saat kemudian, Rosie membuka folder lainnya. Hasil survey mentah yang kemarin Viona kerjakan. Hasil survey yang ternyata di mata Pak Harwan adalah sia-sia. Rosie kemudian menggigit jarinya, mata indah itu masih memandang layar. Memikirkan cara agar tidak kalah dengan Nature Chemical juga agar Youth Serum bisa kembali ke pasar.Tok! Tok!Terdengar ketukan di pintu
Ethan duduk di bangku taman kota, tidak terlalu luas tapi taman itu adalah bagian ruang hijau lainnya di Kota G. Tepat di sebelah Ethan, seorang anak kecil duduk dengan buku tulis yang terbuka. Anak laki-laki kecil berusia sekitar delapan tahun itu hanya memandang buku itu. Iseng, Ethan mengintip sedikit isi buku tulis yang terbuka. Menyadari diperhatikan seperti itu, anak kecil berwajah bulat itu menutup bukunya kemudian memeluknya seperti sesuatu yang berharga. Ethan tersenyum seraya memutar topi warna hitamnya ke belakang. “Jangan dilihat, ini rahasia!” ucap anak kecil itu. “Sedang belajar ya?” tanya Ethan. Bocah itu membuang muka yang muram. Ethan menyandarkan punggungnya, meraup udah ke dalam paru-paru kemudian menghembuskannya perlahan. “Le, kamu di sini ternyata!” seorang wanita mendekat, napasnya tersengal. “Kenapa kamu tidak di kelas dan malah di sini?” tanya wanita itu. Ethan mendelik, memandang wajah wanita itu yang tak lain adalah Yunri. Sengaja tidak me
Lampu remang warna warni menyentuh wajah siapa saja yang ada di bawahnya. Musik yang dimainkan DJ seakan berhasil membuat orang-orang di bar itu larut dalam alunannya, membuat mereka seakan melupakan masalah kehidupan untuk sejenak. Mario juga turut serta menikmati alunan musik yang mulai mengencang, ditemani Lee. Mario menenggak sloki minuman keras. “Aku akan mengurus semuanya termasuk membujuk ayah untuk menjual sahamnya pada perusahaan kosmetik milik ayahmu.” Mario memulai pembicaraan. Ayah Lee memiliki perusahaan kosmetik juga bernama UM Company yang berpusat di Korea Selatan. Beberapa produk kosmetik produksi UM Company asal Negeri Ginseng itu pun sudah terkenal di Indonesia. Lee dipercaya ayahnya untuk memegang perusahaan konstruksi milik ayahnya yang sedang melebarkan sayap di Indonesia. “Ayahku tidak mau tahu. Beliau bilang harus untung lebih banyak jika ayahmu mau menjualnya. Jika bisa terakuisisi malah bagus.” Lee menyahut. “Aku hanya mau mengincar perusahaan saja
Ethan iseng masuk ke dalam gedung Yayasan Pundak Kanan. Disambut oleh seorang resepsionis wanita dari balik konter kayu. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. “Ah, saya mau cari Mbak Yunri,” jawab Ethan dengan ekspresi santai. “Sepuluh menit lagi kelas sudah selesai. Mau menunggu?” tanyanya. “Iya tidak apa-apa. Saya bisa menunggu di mana ya?” tanya Ethan lagi. “Bisa di taman belakang. Oh,ya. Mas ini siapa, ya?” tanya Sang Resepsionis. Ethan mengangkat kedua telunjuknya kemudian menyatukannya seraya berkata, “Teman dekat.” Kerlingan Ethan membuat resepsionis itu hanya mengangguk. “Baiklah, tunggu saja ya. Saya sampaikan nanti. Silakan lewat pintu itu dan tunggu di taman.” Resepsionis itu menunjuk ke arah pintu kaca yang tepat lurus di depannya dengan jarak sekitar empat meter. Dari dalam sini, pemandangan di balik kaca itu tampak teduh dengan pohon perindang. Ada juga kotak pasir yang di tengah-tengahnya berdiri perosotan juga ayunan. “Oke. Saya tunggu di sana
Ketika suara bel memanggil untuk masuk ke dalam kelas, Yunri meninggalkan Ethan tanpa berpamitan. Di tengah anak-anak yang berhamburan memasuki kelas karena tahu waktu pelajaran harus dimulai lagi. Sebagian dari mereka antusias dan sebagian lagi hanya duduk di kelas. Di Yayasan inilah mereka dieksplor bakatnya untuk mengetahui potensi sejak dini.“Beri salam!” ucap salah satu anak yang mengenakan kemeja warna kuning yang sepertinya adalah ketua kelas.“Selamat siang, Kakak Guru!” ucap seisi kelas berbarengan.“Silakan duduk!” ucap Yunri seraya meletakkan buku ajar di atas meja. Pandangannya tersapu ke seluruh ruangan kemudian berhenti pada bangku kosong di pojok kelas.“Le Regar kemana?” tanya Yunri.
Yunri tidak punya pilihan lain selain menemani Ethan yang sudah mentraktirnya minuman mahal. Meski kesal, itulah caranya menghargai pria menyebalkan di hadapannya yang sedang duduk santai sambil sesekali menyedot minuman di tangan kanannya. Bertemu Ethan mungkin adalah hal yang tidak pernah Yunri bayangkan sebelumnya. Sejak kejadian itu, Ethan seakan datang membuatnya kesal setiap kali Ethan muncul di kedai van burger secara tiba-tiba. Sekarang ini pun dia masih belum percaya kenapa harus duduk berdua di meja kedai kopi mahal. Alih-alih mengganti kopi yang juga merusak bukunya, dia malah ditraktir. Bukan tidak mungkin kalau Ethan akan meminta ganti lagi setelah ini. Yunri kemudian menggeser uang pemberian Ethan ke hadapan laki-laki itu. Melihat tingkahnya, Ethan mengembuskan napas pelan. “Apa-apaan ini?” tanya Ethan seraya memandang Yunri. “Uangmu kukembalikan.” “Sudah kubilang tidak usah!” ucap Ethan. “Kalau begini sama saja kita beli sendiri dan bukan aku yang traktir!
Rosie pulang dengan beban kerja di pundaknya. Padahal dia tidak menderita penyakit apapun, tapi beban psikologis sepertinya merambat ke sana. Pintu apartemen perlahan dibukanya. Seperti biasa, pemandangan pertama yang dia dapati saat masuk adalah sosok Ethan yang selonjoran di atas kursi sambil bermain smartphone seakan adik laki-lakinya itu tidak punya beban hidup sama sekali. “Aku pulang!” sapa Ethan tanpa menoleh Rosie yang langkahnya mendekat. “Yang benar selamat datang!” Rosie mengela napas. “Selamat datang!” Ethan meralat sambutannya. “Kamu gak ada kerjaan lain selain selonjoran, main game dan keliaran?” Rosie melipat tangan di depan dada. Seakan sudah bosan dengan pemandangan yang diberikan Ethan setiap kali dia pulang. Kalau Rosie bisa, dia sudah mendepak Ethan dari apartemennya. Adik laki-laki yang tidak berguna meski menyandang gelar dokter. “Namanya juga pengangguran!” ucap Ethan. “Lama-lama aku depak juga dari apartemen ini!” Rosie mengancam. “Kok sensi?” Ethan
Matahari yang merangsek masuk menyilaukan mata membuat Ethan perlahan terbangun dari tidurnya. Terlintas di kepalanya yang dia lakukan semalam hanya bermain game setelah menggedor kamar Rosie. Ketiduran tepatnya, bahkan layar smartphonenya masih menampilkan rank game perang yang dia mainkan saat dia membuka kunci layar.Ethan menyapukan pandnagan ke sekeliling, laptop Rosie sudah tidak ada di atas meja. Terang saja, Rosie sudah mengambilnya saat dia terlelap. Ethan lantas beranjak dari sana. Membersihkan diri. Tidak lupa, setelah berpakaian rapi ala orang kantoran Ethan langsung mengambil beberapa fotokopi ijazah dan kelengkapan lain untuk lamaran kerja hari ini. Ethan belum pernah seantusias hari ini sebelumnya. Padahal masih nyaman dengan status dokter pengangguran.Ethan penuh percaya diri memasuki gedung Yay
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p