Makan malam di kediaman keluarga Raka berlangsung meriah, padahal di meja makan hanya ada tiga orang saja. Tante Hera memasak banyak sekali makanan, mulai dari sayur, tumisan juga daging sapi semua lengkap tersedia di meja, pokoknya 4 sehat 5 sempurna. Tasya dan Raka hanya bisa menggelengkan kepala, mereka tidak yakin bisa menghabiskan semua ini.
Dan benar saja, mereka telah selesai makan namun makanan masih tersisa.
“Gimana kalau kalian nikah aja?”
Tasya hampir menyemburkan air yang sedang ia minum. Untung saja dia masih bisa menahannya sehingga dia tidak kehilangan muka di depan ibu dari sahabatnya ini, cukup Raka saja yang melihat semua keburukannya orang lain jangan sampai.
“Kenapa Ibu tiba-tiba nanya kaya gitu?” Raka bertanya. Dia sama terkejutnya seperti Tasya.
“Kalian kan udah kenal lama. Dan kalian masih single sampai sekarang. Kayanya kalau kalian nikah, bakal cocok.”
Raka hanya terdiam. Dia sebenarnya senang jika ibunya berpi
Radhika masih berkutat dengan komputernya, karena tadi saat Tester masih ada beberapa bugs, namun tidak fatal. Dia masih memikirkan hasil rapat terakhirnya. Terlalu lancar, dan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Karena biasanya mereka selalu bertingkah dan mempersulitnya. Namun kali ini, mereka tidak berkomentar apa-apa. Bahkan saat mereka tahu kalau masih ada bugs, mereka hanya memintanya menyelesaikannya malam ini. Hal ini patut dicurigai.Radhika melirik jam di layar komputernya, sekarang sudah pukul sepuluh kurang. “Kalian pulanglah, udah malem.”“Enggak usah, Pak.Ini biar kita aja yang beresin,” ucap salah satu tim programmerbernama Rendi. “Iya kan, guys?” lanjutnya bertanya pada rekan-rekannya.Rekan-rekan kerja Rendi mengangguk.“Kita enggak masalah tidur di sini, Pak.” Kali ini Taufik yang berbicara.“Iya, Pak. Kita udah biasa,&
Hari ini Tasya datang lebih pagi karena ayahnya memintanya membawakan sarapan untuk Radhika. Ayahnya bilang, dia khawatir pada Radhika. Karena kemarin Tasya bilang Radhika sakit, sehingga dia bisa pulang cepat dan pergi ke kedai karena merasa bosan di rumah.Kemarin Radhika langsung mengantarnya pulang, dia bilang bisa merawat dirinya sendiri. Tasya awalnya menolak dan mengatakan tidak mau turun dari mobil, ketika mereka sampai di depan rumahnya. Namun, Radhika memaksanya. Dia menariknya keluar dari mobilnya, setelah itu langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Sangat tidak sopan!Radhika sangat keras kepala, padahal dirinya sudah berbaik hati berniat untuk merawatnya. Namun, ditolak mentah-mentah. Tasya harus mulai terbiasa. Dia harus mulai memaklumi semua tingkah abnormal si Sableng.Tasya tiba di depan ruangan Radhika. Seharusnya Radhika sudah ada di dalam karena sebelum berangkat, Tasya bertanya apa Radhika masuk kerja atau tidak. Karena jika dia tidak beke
Tidak biasanya Radhika terlambat. Sekarang sudah pukul sembilan lebih, tetapi dia masih belum datang juga. Hari ini dia tidak ada jadwal meetingdi pagi hari, jadi Tasya bingung kenapa dia masih belum datang. Yogajuga bilang, kalau dia belum mendapat kabar dari Radhika. Apa mungkin sakit lagi?Sebaiknya dia segera meneleponnya. Khawatir sesuatu terjadi seperti beberapa waktu lalu. Buru-buru Tasya mengambil ponselnya lalu menelepon Radhika. Tasya bersyukur teleponnya tersambung, berarti ponsel Radhika aktif. Tasya menunggu karena Radhika tak kunjung mengangkat telepon darinya.“Ada apa?” tanya suara di seberang.“Itu ….” Tasya bingung harus mengatakan apa, dia tidak ingin Radhika tahu kalau dirinya sempat khawatir. Nanti dia merasa di atas angin. “Kenapa Pak Dhika belum datang?”“Saya udah datang.”“Udah datang?” tanya Tasya bingung.
Sudah tiga jam Tasya berlatih memainkan game yang sebelumnya Radhika ajarkan. Tetapi Tasya masih belum mengerti sepenuhnya, dia hanya berlari-lari lalu terbunuh. Malah dia pernah terbunuh saat game baru berjalan dua menit. Padahal dia hanya bermain dengan komputer. Komputer di sini adalah player yang diatur oleh sistem dalam game, itu sih yang diterangkan oleh Radhika. Bagaimana jadinya jika dia bermain dengan playeryang sesungguhnya. Sepertinya dia benar-benar tidak berbakat dalam bermain game.Tasya menghela napas, dan mematikan laptop yang tadi diberikan oleh Radhika. Laptop ini sepertinya mahal, walau Tasya tidak terlalu tahu masalah barang-barang elektronik, tapi dia juga tidak bodoh. Laptop merek ini bisa mencapai belasan atau puluhan juta. Tadi sebenarnya dia tidak ingin membawanya, tapi Radhika memaksanya sebelum dia pulang tadi. Dengan alasan laptop ini sudah diisi dengan semua kebutuhan yang berkaitan dengan pekerjaan. Jadi dengan terpaksa, d
Ketika Tasya hendak berbaring. Tiba-tiba Radhika meneleponnya. Tasya menghela napas, apa Radhika tidak bisa menahan amarahnya sampai besok? Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk memarahinya.Tasya harus mempersiapkan diri. Dia tidak boleh kalah dalam peperangan kali ini. Jika Radhika memakinya, maka dia harus membalasnya. Lagi pula bukankah Radhika bilang kalau dia membutuhkannya? Berarti seharusnya Radhika memperlakukannya dengan baik.“Halo,” sapa Tasya. Dia berusaha membuat nada suaranya terdengar biasa saja, walau hatinya sekarang sedang tidak keruan.“Ada apa?” tanya suara di seberang. Tasya mengerutkan keningnya. Ternyata Radhika tidak memarahinya. Nada suaranya pun biasa saja, tidak mencerminkan kemarahan sama sekali.“Kamu enggak marah? Tumben,” ledek Tasya. Dalam hati Tasya merasa lega, sepertinya Radhika benar-benar sudah berubah.“Kenapa saya harus marah?”Tasya me
Tasya melihat pantulan dirinya di cermin. Dia tidak ingin terlihat terlalu antusias, karena tidak ingin membuat Radhika besar kepala. Namun, dia juga tidak ingin terlihat buruk dengan berdandan asal-asalan. Ini adalah kencan pertama mereka. Walau sebenarnya Tasya tidak ingin menyebutnya seperti itu, tapi sebenarnya dia juga sedikit menantikan hal itu terjadi.Jujur saja, dia sedikit kekanak-kanakan. Dia ingin kencan pertamanya berkesan. Karena menurutnya, kencan pertama itu akan sangat berbekas dalam memorinya. Dia juga sedikit merasa senang. Dia tidak pernah berkencan sebelumnya, maka wajar saja jika dia merasa senang. Ya, dia senang karena ini adalah kencan pertamanya, bukan karena dia akan kencan dengan Radhika. Dia yakin siapapun orangnya, dia pasti tetap akan senang.Selain itu, dia juga tidak ingin membuat ayahnya curiga. Semalam saat ayahnya pulang, mereka mengobrol banyak. Dari awal Tasya sudah bertekad tidak akan melibatkan ayahnya dalam permainan ini. Karena
Radhika menatap langit yang tertutupi dedaunan. Cukup menyenangkan melakukan hal seperti ini. Dia tidak ingat, kapan terakhir kali bisa bersantai seperti ini. Sepertinya dia harus sering-sering pergi ke tempat-tempat seperti ini, agar pikirannya tidak dipenuhi dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak ada habisnya.Beberapa hari lalu, si penjilat-Ahmad-mulai mencari gara-gara lagi dengannya. Dia yakin, orang itu sedang merencanakan sesuatu. Ahmad adalah orang yang licik dan penuh dengan trik. Jika dia tidak hati-hati, maka masalah besar akan menimpanya. Di pertemuan sebelumnya, Ahmad memberi ancaman padanya. Semakin tua, orang itu semakin menjadi-jadi. Bukanya bertobat.Radhika menyisir rambut dengan jarinya. Seharusnya dia refreshing, kenapa malah memikirkan si kampret satu itu. Radhika mengedarkan pandangannya, entah pergi ke mana Tasya dan Om Robi. Tasya bilang, mereka ingin mencari tempat untuk berfoto. Sebenarnya mereka sempat mengajaknya tadi, namun dia menolak. Dia
Tasya menghabiskan isi botol air mineral dalam sekali teguk. Setelah benar-benar habis, Tasya meremukkan botol kosong itu lalu melemparnya ke tong sampah yang kira-kira berjarak tiga meter di depannya. Dan sialnya botol itu hanya menyentuh ujung tong sampah, sehingga botol tersebut jatuh ke lantai. Mau tak mau, Tasya harus memungutnya. Jika tidak, maka dia akan jadi orang yang membuang sampah sembarangan. Hal itu jelas tidak baik.Tasya kembali duduk di bangku taman, dia menyandarkan kepalanya hingga mendongkak. Hari ini tidak terik padahal sekarang sudah jam dua belas lebih. Matanya menerawang menatap langit yang tertutup awan. Ada yang aneh dengan dirinya. Dia terlalu sering menatap Radhika akhir-akhir ini. Walau sebelumnya dia juga seperti itu, tapi kali ini berbeda. Ada perasaan aneh setiap kali melihatnya. Karena itulah dia kabur kemari. Padahal Radhika mengajaknya makan siang bersama.Tasya harus mengurangi intensitas pertemuan mereka. Jika tidak, dia bisa gila.
Minyak di wajan sepertinya sudah panas, karena sudah mulai mengeluarkan sedikit asap. Dengan perlahan Tasya menuangkan telur yang sudah ia beri garam dan potongan daun bawang ke dalam wajan tadi. Memasak telur seperti ini sangat mudah ternyata, dia juga sudah memasak nasi. Tadinya dia ingin membuat nasi goreng, tetapi dulu ibunya pernah bilang kalau membuat nasi goreng dari nasi yang masih panas itu pamali. Sebenarnya Tasya percaya, tidak percaya sih. Namun, saat dia browsing, hal itu memang tidak akan bagus, karena nasinya nanti akan menggumpal. Mungkin maksud dari pamaliyang diucapkan mendiang ibunya, mengarah ke arah situ. Sepertinya sudah saatnya membalik telur yang sedang ia goreng, Tasya mengambil spatula yang tidak jauh dari kompor. Perlahan-lahan Tasya mengangkat telur dalam wajan, namun dia merasa kesulitan. Tasya menghela napas, dengan sekali gerakan dia membalik telur tersebut, namun pada akhirnya telur itu tidak terbalik dengan sem
“Kamu kenapa? Pucat banget, kan aku bilang apa. Jangan telat makan. Sakit, kan, jadinya. Udah kita balik lagi aja.”Ucapan Tasya membuatnya seperti tersedot lagi ke dunia nyata. Napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa lemas sekali.Radhika bisa melihat pintu lift terbuka. Kedua wanita tadi keluar. Sedangkan Tasya menekan angka lima, mereka harus kembali lagi ke kamar.“Tahan sebentar, ya.” Tasya menggandeng lengan Radhika. “Sebentar lagi sampai.”Radhika mengangguk. Dia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia menyandarkan punggungnya dan mencoba mengusir ingatan buruk itu.“Tahan, ya.” Tasya mengelus-elus punggung Radhika. Dan Radhika merasa sedikit tenang karena sentuhan itu.Radhika merasa waktu berlalu begitu lamban. Walau perasaannya sudah mulai tenang, tetapi ingatan buruk masih berputar-putar di kepalanya. Membuatnya, merasa tersiksa.“Udah dibilangin makan itu
“Malam ini saya akan pulang. Kamu sebagai ketua tim Alpha harus menyelesaikan masalah ini sebelum saya pulang. Karena besok, kita sudah mulai kerja keras lagi. Kita cuman punya waktu dua minggu untuk cari solusi.”“Oke, Pak. Saya akan bicara sama Taufik. Saya yakin, Taufik ngelakuin itu pasti ada alasannya. Taufik lagi diamanin sama anak-anak, Pak. Lagi usaha ngorek-ngorek informasi.”“Oke, saya percaya sama kamu. Saya tutup ya.”Radhika menyimpan ponselnya di meja. Dia lelah sekali. Rapatnya tadi siang tidak sepenuhnya bisa dibilang lancar. Karena, dewan direksi masih menekannya. Bahkan mereka mengancam, jika dalam dua minggu tidak mendapat memberikan solusi, maka Radhika harus melepaskan jabatannya. Pantas saja proyek ini sebelumnya lancar-lancar saja. Hambatannya hanya di awal saja. Ternyata mereka menyimpan kejutan di akhir.Waktu dua minggu, adalah waktu yang singkat. Jelas tidak mungkin mengubah gamep
“Buang itu, Tasya! Saya enggak mau liat!”Bingung, terkejut dan takut. Itulah yang Tasya rasakan sekarang. Dia tidak tahu, mengapa Radhika bereaksi berlebihan seperti itu. Tasya melirik ke arah Radhika. Sepertinya ada yang tidak beres. Wajah Radhika pucat dan tangannya bergetar. Apakah dia … takut?“Dhika.” Tasya menyentuh lengan Radhika, namun dia tidak merespons. “Kamu enggak apa-apa?” Lalu dia mencoba menarik lengannya, namun tetap tidak berhasil.Tangan Radhika mulai memegang kepalanya, hal itu membuat Tasya semakin panik. Mungkin mainan itu ada kaitannya dengan kasus penculikan lima belas tahun yang lalu. Ya, itu masuk akal. Karena saat diculik, Radhika masih anak-anak. Bisa jadi mainan ini dia bawa saat diculik. Dengan perlahan, Tasya menarik lengan Radhika, lalu memeluknya dan berbisik. “Ada aku di sini. Jangan takut.” Dia mengelus punggung Radhika, berharap sentuhannya bisa membuat Radh
Udara di Surabaya lebih panas daripada di Bandung. Namun, tidak sepanas di Jakarta. Tasya baru saja menyelesaikan sarapannya. Sekarang masih pukul delapan lebih. Sebelum kembali ke kamarnya, dia berencana untuk berkeliling di sekitaran hotel. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke Surabaya, jadi dia tidak mungkin berkeliling jauh. Lagi pula, dia datang ke sini untuk bekerja, bukan untuk wisata.Tadinya Tasya ingin mengajak Radhika keluar, mencari udara segar, supaya dia bisa sedikit lebih rileks. Namun, chat darinya tidak dibalas. Mereka juga belum bertemu, sejak berpisah kemarin. Sepertinya Radhika sangat sibuk, Tasya tidak ingin mengganggunya.“Mbak.” Tasya terkejut saat bahunya tiba-tiba ditepuk. “Maaf, saya bikin kaget. Ini ada titipan untuk Pak Radhika, kurirnya bilang harus segera dibuka.”Tasya mengerutkan kening. Mengapa tiba-tiba ada kiriman untuk Radhika? Dan kenapa laki-laki di hadapannya tahu kalau dia adalah kenalan Radhika
Ada masalah besar. Dan masalah itu terjadi di kantornya. Ternyata ini masalah yang membuat Radhika kemarin buru-buru pergi. Sekarang situasi di kantor sangat kacau.Dari yang ia dengar, ada dua masalah yang datang bersamaan. Pertama sebuah perusahaan star up, baru saja merilis game yang sangat mirip, hampir 95% dari game Fire and Gun. Kedua, Athena’s diserang cheater lagi, dan sekarang lebih parah dari sebelumnya, karena memengaruhi keseimbangan dalam game, sehingga merugikan pemain lain.Diduga salah satu anggota tim Alpha ada yang membocorkan data. Sampai sekarang sepertinya kasus itu sedang diselidiki secara rahasia oleh Yoga, itu yang dikatakan oleh RadhikaTasya bingung, ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi bulan depan game ini sudah harus rilis. Dia hanya berharap semua akan baik-baik saja, dan Radhika bisa menemukan jalan keluarnya.Tasya menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Tasya mengaduk-aduk minuman cola dengan sedotan. Dia tidak mengerti dengan situasinya sekarang. Awalnya dia hanya ingin mengantar Raka membeli hadiah, lalu makan dan pulang. Tetapi sekarang, entah apa yang akan mereka lakukan setelah keluar dari sini.Setelah menutup telepon, Radhika memintanya untuk menunggu sampai dia sampai. Jadi Tasya mengajak Raka untuk makan terlebih dahulu. Sekarang, Radhika dan Senja sudah bergabung bersama mereka.“Jadi kalian habis ngapain?” tanya Senja pada Raka.Raka yang sedang fokus pada ponselnya, kini menatap ke arah Senja. “Oh, tadi kita abis beli hadiah buat ibu saya.”“Ibu kamu ulang tahun?”Raka menggeleng. “Bukan, cuman lagi ingin kasih aja.”“Oh gitu. Aku juga jadi pengin kasih hadiah buat mama sama papa.” Senja berdiri dari kursinya. “Bang minta kartu.” Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Radhika.Radhika mengambil dompe
Tasya berguling di atas kasur nya. Sekarang dia sudah berada di rumahnya dan bersiap untuk tidur. Soal permintaan Radhika tadi, jelas saja dia menolaknya. Tidak ada alasan untuk bermalam di sana. Terlebih lagi, hal itu tidak terlalu baik. Mengingat hubungan mereka sekarang, walaupun sebenarnya masih tidak jelas, tetapi tetap saja mereka adalah sepasang kekasih.Gadis itu mengecek jam di layar ponselnya. Sudah satu jam lebih, tetapi Radhika belum mengabarinya. Padahal laki-laki itu sendiri yang mengatakan jika dirinya sudah sampai, maka dia akan memberi kabar. Jarak rumah mereka juga tidak terlalu jauh, bisa ditempuh kurang lebih empat puluh menit. Lalulintas juga tidak terlalu ramai, jadi Radhika tidak mungkin terjebak macet.“Apa gue tanya aja ya?” Tasya buru-buru menggeleng. “Enggak, enggak … kalau kayak gini, nanti gue dikira nungguin kabar dari dia.”Tasya menyimpan ponselnya lagi di samping kepalanya, lalu menatap langit-langi
Tasya sedang duduk di ruang tengah, tangannya sibuk memencet tombol remote TV, mencari saluran yang menurutnya menarik. Radhika sepertinya berlangganan TV kabel, karena banyak sekali salurannya. Tasya yang terbiasa menonton saluran lokal menjadi bingung sendiri.Sebenarnya Tasya juga tidak terlalu ingin menonton, dia juga sudah jarang menonton televisi. Hanya saja, dia cukup bosan menunggu Radhika yang sedang mencuci piring.Akhirnya Tasya menyerah, dia menyimpan remote TV di meja. Dia membiarkan TV memutar acara binatang yang hidup di alam liar. Tasya memperbaiki posisi duduknya, lalu mengambil bantal dan menaruhnya di atas paha.“Kamu suka acara kayak gini?”Tasya melirik ke arah Radhika yang kini duduk di sampingnya. “Enggak juga, cuman bingung aja.”“Mau coba nonton film?”Tasya berpikir sejenak. Menonton akan memakan waktu yang cukup panjang, minimal satu jam. Dia berencana pulang sekitar pukul sembil