"Tunggu, Della!" ucap Raka. Pria itu menghadang langkah Della.
"Apalagi, Kak? Jangan ganggu aku, pleasee....!"
Raka menggeleng pelan. "Aku cuma mau bicara sebentar."
"Aku nggak bisa. Aku sibuk," tolak Della.
"Sebentar aja, Dell."
Della menatap nyalang tangan Raka yang berani menyentuh pundaknya. Dengan marah, Della menepis kuat tangan Raka. "Jangan sentuh aku!" sentaknya.
Raka berjalan mundur sembari mengangkat kedua tangannya. "Oke. Oke. Aku nggak akan nyentuh kamu," ucapnya.
Della memalingkan wajahnya kesamping dengan nafas memburu. Dia ingin sekali melampiaskan kemarahannya pada Raka. Tapi tidak bisa.
"Aku mau bicara. Ini serius, Dell. Kita cari tempat lain buat ngobrol. Oke?" tawar Raka pada Della. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Mereka menjadi bahan tontonan para mahasiswa di kampus Della.
"Nggak!" tolak Della cepat.
Raka mendesah pendek. "Ayolah, Dell. Kak Raka bener-bener butuh ngomong berdua sama kamu."
"Nggak! Aku nggak mau! Sebaiknya kamu pergi!"
"Kak Raka nggak akan pergi sebelum kita ngomong berdua."
Della memasang wajah geramnya. "Aku bilang nggak ya nggak!" serunya kencang.
Raka mengusap wajahnya kasar. "Ikut Kak Raka sekarang, Della! Sebelum Kak Raka berbuat nekat!" ancamnya.
Della menatap Raka dengan tajam. Seakan ingin menghabisi pria itu dengan tatapannya. "Silahkan! Disini ada banyak orang. Aku bisa teriak!" balasnya.
Raka manggut-manggut. "Silahkan teriak. Dan Kak Raka akan bikin kamu malu. Biar aja semua orang tau kalau kamu-" ucapan Raka terhenti saat Della membungkam mulut pria itu dengan tangannya.
Della menatap Raka penuh kebencian. "Oke. Aku ikut!" serunya pasrah.
Raka mengikuti langkah besar Della keluar gerbang kampus. Pria itu menghela nafas lemahnya saat sempat melihat air mata keluar dari kedua sudut mata gadis itu.
***
"Aku... minta maaf," ucap Raka serius. Matanya tak berkedip memandangi Della yang sedang menunduk. Pria itu menghela nafas pelan melihat ekspresi sendu gadis itu.
Raka tau dia sedih. Iyalah, gadis mana yang nggak sedih kalau masa depannya dirusak oleh pria brengsek sepertimu, batin Raka bersuara.
"Aku bener-bener nyesel, Dell. Aku khilaf. Aku min-"
"Nggak usah dibahas lagi," ucap Della lirih memotong perkataan Raka.
Gadis itu tetap menunduk menatap lantai di bawahnya. Suasana restoran siang itu lumayan sepi. Dan kebetulan Raka memilih tempat VVIP untuk mereka yang jauh dari meja lain. Sehingga memungkinkan mereka untuk berbicara dengan bebas tanpa takut didengar oleh orang lain.
"Kamu... nggak bilang sama Ve, kan?" tanyanya pada Della.
Gadis itu terdiam. Lalu tak lama setelahnya dia menggeleng pelan."Kalau Romeo?"Della menggeleng lagi.
"Teman kamu nggak ada yang tau kan?"
"Aku nggak cerita sama siapapun," ucap Della lirih.
Raka menghela nafas lega. Namun matanya masih waspada mengamati Della. "Bener kamu nggak kasih tau siapapun?" tanyanya.
Della mendongak. Menatapnya tajam. "Menurut kamu, apa aku akan membuka aibku sendiri di depan orang lain?" Gadis itu berujar dingin pada Raka.
Raka menelan ludahnya kaku. Pria itu menyapu pandangan ke sekelilingnya karena tak kuat ditatap seperti itu oleh Della. Tatapan gadis itu semakin membuatnya merasa bersalah.
"Maaf," lirihnya.
"Maaf nggak akan mengembalikan semuanya," balas Della sendu.
Raka memejamkan matanya rapat. Ya. Kesalahannya sangat fatal. Dan hanya kata maaf yang dia lontarkan tidak akan mengubah apapun. Semuanya sudah terjadi.
Pria itu mengangguk pelan. Dia kembali membuka matanya memandang Della yang juga memandangnya. "Aku tau. Karena itu, aku ingin menebus kesalahanku."
Kening Della berkerut. "Maksud kamu?"
Raka menautkan jarinya di atas meja. Matanya tak lepas menatap Della. "Aku mau memberikan kompensasi buat kamu. Sebagai ganti kesalahanku."
Jantung Della berhenti berdetak saat mendengar ucapan Raka. Gadis itu diam seribu bahasa. Matanya mengawasi Raka yang mengambil secarik kertas dan pulpen dari saku jasnya.
Pria itu meletakkan kertas dan pulpen yang diambilnya ke atas meja. Menyodorkannya ke hadapan Della. "Tulis berapapun yang kamu mau!" ucapnya tanpa dosa.
Della terpaku. Dia syok. Gadis itu menatap kertas di atas meja. Kertas yang tak lain adalah sebuah cek yang sudah bertandatangan Raka. Mendadak mata Della memanas. Cairan bening berkumpul dan menggantung di pelupuk matanya.
"M-maksudnya-"
Raka mengangguk. "Iya. Aku ingin menebus kesalahanku. Dan kamu boleh menulis berapapun jumlah uang yang kamu inginkan. Asal kamu mau memaafkanku. Dan nggak mengungkit lagi kejadian malam itu."
Satu tetes cairan bening yang menggantung di mata Della pun jatuh. Lalu disusul tetesan lainnya. Gadis itu menatap Raka dengan ekspresi tak terbaca.
Jadi inikah seorang Raka Milan yang terkenal itu? Pewaris Indo Milan yang amat besar dan tersebar dimana-mana? Di balik jas mahal dan kursi kepemimpinannya, ternyata dia tak lebih dari seorang pecundang yang berpikiran picik.
Dia menganggap dirinya bisa membeli segalanya dengan hartanya yang tak terhitung jumlahnya itu. Dia pikir dia bisa membeli hidup orang dengan seenaknya. Della sangat kecewa. Bukan pada Raka, melainkan pada dirinya sendiri. Kenapa dia bisa jatuh cinta pada pria seperti Raka?
"Kenapa diam, Dell? Kamu boleh tulis berapapun yang kamu inginkan. Atau... kamu mau ganti yang lain?"
Raka menatap gadis itu penuh tanya. Della tak bersuara sedikitpun membalas ucapan Raka. Tapi gadis itu terus menangis.
"Kamu tau kan, kalau sekarang ada operasi untuk mengembalikan... ehm.. kamu taulah."
Pria itu menghela nafas panjang. "Kalau kamu mau, kamu bisa melakukan operasi. Biar aku yang atur semuanya. Asal kamu mau memaafkanku."
Raka mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar bingung harus berbuat apa. Pria itu terlihat begitu frustasi. Dia sadar akan kesalahannya. Dan dia benar-benar menyesal sudah merusak hidup seorang gadis. Terlebih gadis itu adalah sepupu Verona, gadis yang dia cintai.
"Maaf. Maafkan aku, Dell. Aku khilaf. Aku salah. Seharusnya ini semua nggak terjadi. Harusnya malam itu aku nggak-" Raka tidak meneruskan kata-katanya.
Pria itu menatap Della dengan memelas. "Kamu mau maafin aku kan, Dell?" mohonnya.
Della menatapnya lama. Permohonan pria itu terdengar tulus di telinganya. Hingga akhirnya Della mengangguk. "Aku akan memaafkan Kak Raka," ujar gadis itu lirih.
Raka mendesah lega. Matanya berbinar seketika. "Bener kamu mau maafin aku?" tanyanya dengan antusias.
Della mengangguk pelan menjawab pertanyaan Raka. Dan saat itu pula hati Raka langsung terasa ringan. Beban yang menimpanya selama berhari-hari seperti hilang begitu saja.
Selama ini dia tidak pernah bisa tidur di malam hari. Raka terus memikirkan Della yang telah dia nodai. Tidak sedetikpun Raka berhenti memikirkannya. Bahkan saat tidur pun Raka memimpikan gadis itu.
"Baik. Kalau gitu sebutkan apa yang kamu mau. Aku mau menebus kesalahanku," ucapnya senang.
Della mengangguk kecil. Matanya tak lepas memandang wajah pria brengsek yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku cuma minta, pergilah yang jauh. Jangan pernah memperlihatkan wajah kamu di depanku lagi. Karena aku nggak mau lagi melihat wajah pria brengsek seperti kamu!"
Raka ternganga. Pria itu melongo seperti orang bodoh saat Della bangkit dan pergi dari hadapannya. Raka diam mematung di tempat duduknya. Sementara Della keluar dari restoran mewah itu dengan hati yang hancur. Karena hidup juga harga dirinya, telah diinjak-injak oleh seorang Raka Milan.
***
"Keluar! Saya bilang keluar dari ruangan saya!"
Raka melempar map yang ada di tangannya ke arah pintu. Sehingga menyebabkan isi dari map itu berhamburan keluar dan jatuh berceran di lantai. Matanya menatap marah pada laki-laki di depannya, seorang staf keuangan yang tadinya datang untuk memberikan laporan.
Tapi karena suasana hati Raka sedang tidak baik, satu kesalahan kecil yang diperbuat oleh pria itu langsung memicu amarah Raka. Pria malang itu langsung dimarahi habis-habisan oleh Raka.
"Pak, saya mohon jangan pecat saya, pak. Saya akan memperbaiki laporannya. Tapi saya mohon, jangan pecat saya. Kasihan anak dan istri saya nanti, Pak. Anak saya masih kecil," pinta laki-laki itu dengan memelas.
Raka berdiri dengan berkacak pinggang di depan pria itu. "Saya nggak peduli! Sekarang keluar dari ruangan saya!" ucapnya dingin penuh intimidasi.
"Tapi, Pak..."
"Keluar atau saya lempar kamu keluar jendela ruangan ini!" sentak Raka.
Pria itu buru-buru memunguti kertas yang berceceran di lantai sembari terisak. Pengabdiannya selama bertahun-tahun di perusahaan harus terhenti karena masalah sepele. Dia salah waktu tadi. Harusnya dia tidak menemui bosnya itu saat moodnya sedang buruk.
Raka uring-uringan selama beberapa hari. Tidak ada satupun karyawan yang berani mendekat dengan jarak sepuluh meter dari ruangannya. Kecuali si sekretaris, Vida.
Di luar pintu, ada beberapa karyawan lain sedang menunggunya. Mereka menatap iba pada pria itu. Satu lagi karyawan Indo Milan harus meninggalkan perusahaan tempat mereka bekerja.
Kemarin seorang office boy dipecat oleh Raka karena membuat kopi yang terlalu manis. Padahal Raka tidak suka kopi manis. Dan akhirnya dia dipecat saat itu juga.
Sekarang gantian, Pak Yudi, staf keuangan yang dipecat karena masalah kecil. "Sabar ya Pak Yudi," ucap Vida, sekretaris Raka.
"Iya, Pak. Yang sabar. Semoga setelah keluar dari sini, Bapak dapet kerjaan yang lebih baik," sahut karyawan yang lain.
Mereka benar-benar prihatin dengan nasib Pak Yudi. Dalam hati, mereka berdoa semoga saja tidak terkena musibah seperti pria itu. Cukup Pak Yudi, orang terakhir yang dipecat secara tidak hormat oleh bos mereka.
***
"Sialan!" Raka menggebrak meja kantornya dengan kencang.
Entah kenapa emosinya semakin hari semakin tinggi. Pikirannya kacau. Hidupnya tidak tenang. Sejak terakhir kali dia bertemu Della di restoran saat itu, Raka jadi gelisah. Dia jadi gampang sekali marah.
Pria itu mengacak rambutnya frustasi. Hanya karena seorang Della, hidupnya jadi kacau. Gadis itu terus memenuhi pikirannya. Membuat hari-harinya tidak tenang.
"Brengsek! Brengsek!" Raka mengacak-ngacak meja kerjanya dengan kesal.
Kemudian pria itu bangkit dari kursinya. Raka menyahut jasnya yang tergantung di sandaran kursi. Lalu bergegas keluar ruangan. Sepertinya malam ini dia harus meredakan kekacauan yang dibuat Della dengan minuman. Karena hanya minuman yang bisa menghilangkan gadis itu dari pikirannya.
***
Verona berdecak pelan. Dengan kesal, gadis itu berjalan ke arah pintu depan. Dalam hatinya dia mengutuk tamu yang masih saja mengganggu di saat sudah larut seperti ini. Dengan segera, Verona membuka pintu rumahnya.
Betapa terkejutnya Verona saat mendapati calon adik iparnya sedang berdiri di depan pintu dengan penampilan acak-acakan. "Pak Raka?" lirihnya.
Raka mendongak. Matanya yang merah menatap Verona tajam. "Mana Adik kamu?"
Verona mengernyit. "A-adik saya?"
"Mana dia?"
Verona menggeleng pelan. "Mak-maksud kamu apa?"
"Suruh Adik kamu keluar sekarang! Suruh dia keluar!" teriak Raka di depan wajah Verona.
Gadis itu langsung menutup hidungnya. Dia mual saat mencium bau minuman keras dari mulut Raka.
"Suruh Della keluar! Atau aku hancurkan rumah ini! Cepat!" bentak Raka.
Verona berjalan mundur. Dengan badan gemetaran, gadis itu bergegas menuju ke kamar Della. Mengetuk pintu kamar Della dengan terburu-buru.
"Della! Bangun Dell! Della bangun! Kita lagi dalam masalah!" ujarnya.
"Della! Della buka pintu!" Verona terus menggedor pintu kamar Della karena tidak ada jawaban sedikitpun dari dalam.
Vetona begitu ketakutan melihat Raka yang tidak beranjak sejengkal pun dari tengah pintu. Ekspresi wajah marah dan kesalnya, juga tatapan menyeramkan dari matanya yang memerah, sukses membuat Verona gemetaran.
Verona bingung harus bagaimana. Dia tidak tau harus melakukan apa. Raka benar-benar terlihat seperti iblis saat ini. Tanpa sadar tubuh Verona merosot ke bawah. Gadis itu meringkuk ketakutan.
Saat itulah pintu kamar Della terbuka. Della keluar kamar dengan wajah khas bangun tidurnya. Rambut panjangnya terlihat acak-acakan. Gadis itu terheran melihat Verona berjongkok di lantai sembari memeluk lututnya.
"Kak! Kak Ve kenapa?"
Verona tersentak kaget. Sontak gadis itu bangkit dan langsung memeluk Della erat. Gadis itu mendorong Della untuk masuk ke dalam kamarnya. Lalu mengunci pintu secepat mungkin.
"Di-di luar ad-ada Raka. Di-dia nyari kamu," ujarnya terbata. Verona terlihat ketakutan.
"Hah? Raka? Mau ngapain dia?"
Verona menggeleng cepat. Wajahnya pucat pasi. Della pun bingung sendiri melihatnya. Kalau hanya Raka yang datang, tidak mungkin Verona sampai ketakutan seperti itu.
"Kak Ve kenapa sih? Kok kayaknya takut banget?"
Verona mencengkeram lengan Della kuat-kuat. "Raka..."
"Raka kenapa?"
"Dia kayak monster, Dell. Kak Ve takut."
Della mengerutkan dahinya. "Monster apaan sih? Kak Ve lagi ngigau ya? Mimpi buruk?"
Verona menggeleng. Wajah ketakutannya membuat Della makin penasaran pada apa yang terjadi saat ini.
"Raka kayak monster," cicit Verona sembari menunjuk ke arah pintu.
Della berdecak. Mau apa lagi si pengecut itu datang ke rumah mereka, batinnya. Gadis itu memilih beranjak keluar untuk mengecek keluar.
Tapi Verona menahan tangannya. "Jangan, Dell. Bahaya!"
"Bahaya apanya? Kan cuma Raka yang dateng. Bukan monster beneran kan?"
"T-tapi dia serem, Dell. Ntar kamu diapa-apain sama dia!" cegah Verona saat Della nekat maju.
Della menepis tangan Verona. Kemudian membuka kunci pintu. Perlahan dia membuka pintu kamarnya. "Kak Ve tunggu aja disini!" perintahnya.
"Tapi kalau dia ngapa-ngapain kamu gimana?"
Udah telat, batin Della dalam hati. "Aku nggak akan kenapa-kenapa. Biar aku tanya maunya apa dia malem-malem gini ke rumah orang! Dasar nggak punya etika!" ucapnya geram.
Verona mengangguk pelan. Raut ketakutan masih terlihat jelas di wajahnya. "Hati-hati, Dell!"
Della keluar dari kamar dengan perlahan. Posisi kamarnya yang berada di bawah, tak jauh dari pintu, memudahkan dia untuk melihat sosok Raka di tengah pintu.
Gadis itu segera beranjak menghampiri Raka yang tampak acak-acakan. Ini kedua kalinya dia melihat Raka dengan keadaan seperti ini. Namun kali ini, terlihat berbeda.
Pria itu terlihat frustrasi. Wajahnya nampak seperti orang sedang putus asa. Della bisa langsung tau jika Raka sedang mabuk saat melihat mata sayunya yang memerah.
Raka menatapnya tanpa kedip. Seolah sedang mengungkapkan sesuatu dari pandangan matanya. Mendadak Della menjadi iba saat melihatnya.
Della mencoba mendekatinya. Dia berdiri tepat beberapa meter dari pria itu. Mata Raka masih memandangnya tanpa kedip. Della berusaha memasang wajah datarnya pada pria itu.
Dia tidak ingin terlihat lemah di depan Raka, pria yang sudah menginjak-injak harga dirinya. Della tidak mau Raka mengira dia akan hancur ketika dia tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Padahal Della memang sedang hancur, terpuruk sendirian.
"Ada apa lagi? Bukannya urusan kita udah selesai?" ucap Della dingin. Matanya menatap tajam pada Raka.
Raka hanya diam tidak bersuara. Namun matanya tak henti memandangnya. Hal yang membuat Della terheran, Raka sama sekali tidak berkedip.
Dan itu sudah sejak beberapa menit yang lalu. Bagaimana mungkin pria itu bisa melakukannya? Apa mungkin karena efek mabuk?
Raka maju satu langkah mendekat. Secara refleks, Della mundur ke belakang. Gadis itu jelas takut. Dia merasa seperti dejavu. Tiba-tiba kejadian malam itu terlintas di depannya. Della pun ketakutan.
"Ma-mau apa kamu?"
Lagi. Raka maju selangkah mendekati Della. Dan Della pun spontan mundur menjauh. Dan untuk yang ketiga kalinya, kejadian itu terulang.
Selanjutnya Raka terdiam. Pria itu tidak melepaskan pandangannya sedikitpun pada Della. Sedang Della sendiri mulai takut. Dia takut Raka akan kembali menyakitinya. Tangannya sudah sedingin es. Kakinya mulai gemetaran.
"Kak Raka mau apa?" cicitnya lirih.
Saat itulah Raka seakan tersadar. Pria itu mengedip beberapa kali. Lalu tubuhnya terhuyung ke belakang. Raka memegangi kepalanya yang terasa pening karena terlalu banyak minum.
Della mematung ketika Raka berbalik dan pergi begitu saja. Gadis itu ternganga. Heran melihat kelakuan pria itu yang aneh menurutnya. Apa sebenarnya yang terjadi pada pria itu, pikirnya.
Belum sempat Della berpikir lebih jauh, Verona berdiri dengan tiba-tiba di sampingnya. Della sontak terkejut dengan kehadiran Verona.
"Si Raka kemana?" tanya Verona sembari celingukan keluar.
Della memegangi dadanya yang berdebar-debar karena kaget. "Udah pulang," jawabnya sembari berbalik menuju kamarnya.
"Kamu usir, Dell?"
"Pergi sendiri."
Verona mengerutkan dahinya. "Terus dia ada urusan apa tadi sama kamu?"
Della mengendikkan bahunya sekilas. Gadis itu melangkah menuju ke kamarnya. "Pintunya jangan lupa kunci ya, Kak. Kayaknya tadi Kak Ve lupa kunci pager juga ya sampai Raka bisa masuk?"
Verona meringis kecil. Tadi setelah pulang kerja, dia memang lupa mengunci pagar. Niatnya tadi Verona mau keluar lagi untuk membeli nasi goreng. Tapi karena kelelahan, dia malah tertidur dan terbangun saat Raka datang tadi.
Della mendengus pelan. Dia sudah tau kelakuan kakak sepupunya yang ceroboh itu. Dia sebal karena tidak ada hal benar yang bisa dilakukan oleh Verona.
Gadis itu jadi bingung, kenapa bisa seorang Romeo yang sempurna di matanya tunduk pada Verona. Padahal banyak gadis lain yang lebih benar dibanding Verona.
Contohnya ya dirinya. Tapi sebelum musibah itu terjadi. Kini, Della tidak berarti apa-apa lagi. Hidupnya sudah hancur di tangan Raka. Entah apa jadinya dia setelah ini.
"Dell!"
Della mendongak. Matanya berpapasan langsung dengan bola mata hazel Verona. Gadis itu tersadar seketika.
"Kamu sakit?" tanya Verona.
Della menepis tangan Verona yang menyentuh dahinya. "Aku gapapa kok, Kak."
"Badan kamu panas. Kamu sakit ya?"
Della menggeleng pelan. Gadis itu mengindar saat Verona akan menyentuh lehernya. "Aku baik-baik aja kok."
"Kak Ve anter buat periksa ke dokter ya? Kamu kayaknya beneran sakit, Dell. Kita ke dokter yuk!"
"Nggak, Kak. Aku cuma mau istirahat aja. Aku capek."
Verona menghela nafas panjang. "Kamu banyak pikiran ya? Belum dapet tanda tangan juga dari dosen?"
"Udah. Tinggal ngerjain skripsinya aja."
Verona mengangguk. "Syukur deh. Kalo ada masalah, bilang sama Kak Ve. Jangan dipendam sendiri," ucapnya.
Della terdiam. Lama baru dia menyahut, "Iya."
"Ya udah kalo gitu kamu tidur. Kak Ve udah kunci pintu sama pagernya."
Della mengangguk. Dia memandang nanar punggung Verona yang berjalan keluar dari kamarnya. Benarkah Verona bisa membantunya? Apa yang bisa dia perbuat? Meminta Raka bertanggungjawab?
Gadis itu menghela nafas pelan. Mana mungkin Raka mau bertanggungjawab. Jelas-jelas dia malah berniat membayar Della. Tanpa diminta, hati Della berdenyut sakit. Perih sekali rasanya mengingat kejadian beberapa hari lalu saat bertemu Raka di restoran.
Raka tidak akan mau bertanggungjawab. Dia bukan pria seperti itu. Playboy yang pengecut macam Raka mana mungkin mau terikat dengannya. Kecuali dia sudah gila.
Della menggeleng pelan. Dia tidak mau mengingat Raka lagi. Bisa gila lama-lama kalau dia memikirkan Raka terus. Gadis itupun berbaring. Memposisikan dirinya senyaman mungkin dan memejamkan mata. Kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu tadi.
***
"Lo sakit ya, Dell?"
Della menggeleng cepat saat mendengar pertanyaan Vika.
"Kok muka lo pucet gitu?"
Della refleks meraba wajahnya. "Masa sih?"
Vika mengangguk cepat. "Jelek banget lo, sumpah!"
Della mengerucutkan bibir. "Kayak lo cantik aja pake ngatain gue jelek," balasnya.
Vika terkekeh. Gadis itu sembari mengemasi buku-bukunya di meja. "Bukan gitu, emang lo keliatan jelek banget tau! Muka lo itu udah pucet kayak vampir!"
Della mendengus. Dia ikut merapikan buku-bukunya. Lalu memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya.
"Eh iya, lusa kita jadi kan ikut Mariana ke Bandung?"
Vika mengangguk. "Jadi dong, Dell!"
"Ya udah. Jadi gue bisa prepare dari sekarang," balas Della.
"Tapi apa Kakak lo yang galak itu ngasih ijin?"
Della mengangguk mantap. "Gue udah bilang sejak lama, kok. Dan dia kasih ijin."
Vika manggut-manggut. "Ya udah, deh. Pulang yuk!"
"Lo jadi nganter gue kan?"
"Iya."
Della tersenyum senang. "Lo baik banget deh, Vik. Kalo aja lo tiap hari mau anter jemput gue gini, kan lumayan gue bisa ngirit ongkos angkot."
"Asem lo! Udah buruan!"
Della terkekeh. Dia bangkit dari duduknya. Tapi mendadak kepalanya terasa berat. Gadis itu limbung. Lalu terjatuh kembali ke kursi.
"Della!"
Vika mengambil tas Della yang terjatuh ke bawah. "Lo kenapa, Dell?" ujarnya panik saat melihat wajah Della sudah sepucat mayat.
Della tidak bisa menjawab. Fokusnya saat ini hanya pada kepalanya yang sangat berat. Badannya melemas seiring kesadarannya yang mulai menurun.
Selanjutnya gadis itu sudah tidak ingat apa-apa lagi.
***
Della mengerjap. Gadis itu melempar pandangannya ke sekeliling ruangan. Seingatnya terakhir kali dia berada di kampus. Lalu kenapa sekarang dia bisa ada disini?
"Della!"
"Vika," ujar Della lirih.
"Syukurlah, akhirnya lo sadar juga!"
Della memegangi kepalanya yang terasa berat. "Gue dimana, Vik?"
"Di klinik. Lo pingsan tadi," balas Vika.
Della menghela nafas perlahan. Gadis itu menatap langit-langit kamar klinik di kampusnya. "Jam berapa sekarang?" tanyanya pada Vika.
"Setengah empat."
"Pulang yuk, Vik!"
"Hah? Sekarang?"
Della mengangguk pelan. "Yuk! Udah sore nih!"
"Tapi lo kan masih sakit, Dell."
Della menggeleng pelan. "Gue udah agak baikan. Gue mau pulang aja deh."
"Ya udah. Bentar ya! Gue mau pamit sama Dokter Adam dulu!"
Vika kemudian beranjak meninggalkan Della. Namun tak lama, datanglah seorang dokter muda yang memang bertugas di klinik kampus, Dokter Adam.
Pria tampan itu mendekati Della dengan senyumannya yang manis. "Kamu udah boleh pulang," ujarnya.
Della mengangguk. Gadis itu bangkit dari ranjang. "Makasih, Dokter."
"Jaga kesehatan ya," pesan Dokter Adam.
"Iya, Dokter."
"Jangan terlalu capek! Jangan banyak pikiran juga, Dell! Makan yang banyak! Karena sekarang kamu membawa dua nyawa, jaga diri baik-baik!"
Della mengernyit. Gadis itu menatap Dokter Adam dengan bingung.
"Saya sarankan kamu ke rumah sakit, supaya tau gimana kondisi janin kamu. Kamu udah pernah periksa sebelumnya?"
Della mengerjap. Gadis itu mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh Dokter Adam.
"Janin?" lirihnya.
Della menyentuh perutnya yang tertutup baju. Mengusapnya perlahan dengan gerakan ringan. Matanya menatap nanar sebuah benda kecil yang tergeletak di lantai kamarnya. Dua garis merah yang ada disana membuat gadis itu syok. Dia hamil. Tanpa suami. Janin hasil perbuatan Raka. Satu tetes air matanya jatuh. Lalu disusul tetesan lain. Della menangis tergugu di kamarnya. Hancur sudah masa depannya kini. Hidupnya berakhir sampai disini. Kalau orang tua dan keluarganya tau dia sedang mengandung hasil hubungan gelap, dia pasti akan diusir. Dan dia kembali terlantar seperti dulu. Della sudah merasa kotor karena malam itu bisa menyerahkan diri pada Raka. Dan kini dia merasa lebih kotor lagi karena dipercaya mengandung janin hasil kesalahannya. Mungkin ini adalah balasan setimpal atas dosanya karena berani berhubungan di luar nikah. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa mungkin dia harus memaksa Raka menikahi dirinya demi menutupi kehamilan
Della mengerjap. Matanya terbuka perlahan. Gadis itu mengernyit saat merasa silau karena cahaya yang masuk dari sela-sela jendela.Saat akan bangun, sebuah tangan menahannya. Della mendongak, menatap orang yang berada tepat di sampingnya itu."Ardan?" lirihnya."Jangan bangun dulu! Istirahat aja!" Della mendesis pelan saat merasakan kepalanya terasa nyeri. "Gue dimana ini, Dan?""Rumah sakit."Della terdiam. Gadis itu menjelajah sekeliling tempat dia berada dengan matanya. "Kok gue bisa disini sih, Dan? Apa maag gue kambuh lagi ya?"Ardan menatapnya bingung. "Lo nggak inget?""Inget apa?""Kemarin kita makan di restoran. Terus pulangnya elo-""Restoran?" sela Della.Ardan mengangguk mantap. Dan hal itu membuat Della kebingungan."Bukannya gue lagi sama Vika kemarin?" ujar gadis itu.
Satu tahun kemudian."Ai!" Raka berlari kencang kemudian memeluk erat seorang gadis berjilbab merah.Gadis itu terkekeh pelan. Dan membalas pelukan Raka tak kalah eratnya. "Lama banget liburannya!" Raka tertawa lalu melepaskan pelukannya. Dia menggandeng gadis itu dan mengajaknya menuju ke mobil."Gimana Bali?"Raka hanya tersenyum tipis. "Ya gitu-gitu aja, Ai. Nggak ada yang spesial," balasnya."Ceweknya?""Em... biasa aja!""Biasa aja tapi lo nggak pulang-pulang!"Raka terkikik. Pria itu memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi mobil Aisha. Baru setelah itu dia menyusul Aisha masuk ke mobil."Gimana Jakarta?" tanya Raka pada gadis itu.Aisha mengendikkan bahu. "Gini-gini aja. Nggak ada yang berubah."Raka manggut-manggut. Pria itu mulai menjalankan mobilnya keluar dari banda
"Selamat datang, Pak. Saya Nadella Paramita yang ditunjuk Pak Haria untuk menjadi sekretaris anda."Mata Raka melebar sempurna. Pria itu tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia benar-benar syok dengan apa yang dilihatnya sekarang."Della?"Della mengangguk cepat. Gadis itu tersenyum lebar pada Raka. "Benar, Pak. Pak Raka boleh panggil saya Della."Raka termanggu. Saat terakhir bertemu Della, hubungan mereka tidak baik. Bahkan yang terburuk, Della melihatnya bercumbu dengan gadis lain di toilet.Kemudian mereka hilang kontak sama sekali. Dan Raka memutuskan untuk pergi ke Bali. Saat pulang, mereka bertemu kembali namun saat ini Della sudah berubah.Gadis yang ada di hadapannya ini, sangat berbeda dengan Della satu tahun yang lalu. Penampilannya masih sama. Wajahnya pun sama. Tapi Raka meresa dia seperti bukan Della. Raka bahkan tidak mengenali Della yang sekarang.
"Sejak kapan Della tinggal di rumah, Pa?"Haria mengernyit mendengar pertanyaan Raka. Pria tua itu bingung karena pertanyaan aneh Raka. Tumben sekali, pikirnya. Biasanya Raka tidak pernah memikirkan orang lain. Apalagi dia adalah Della, adik dari wanita yang dia cintai.Kenyataan bahwa kini Verona telah menikah dengan Romeo sangat membuat Raka terluka sampai dia kabur ke Bali selama satu tahun. Haria pikir dia tidak ingin berhubungan lagi dengan sesuatu yang menyangkut Verona. Apalagi ini adalah adiknya."Apa?" kata Haria ragu.Raka mendesah kecil. "Sejak kapan Della tinggal di rumah kita?" ulangnya menahan jengkel. Dia sudah sangat penasaran. Tapi papanya tak kunjung memberikan jawaban."Kenapa kamu tanya itu?" kata Haria."Kenapa emangnya? Nggak boleh aku nanya gitu?"Haria terkikik mendengar nada suara ketus putra bungsunya. Dia yakin saat ini wajah Rak
Della melangkah cepat ke dalam sebuah club. Gadis itu mengabaikan tatapan bingung bercampur heran orang-orang yang sedang berada disana. Iyalah, jelas saja mereka terheran. Tidak pernah ada seorang gadis berpakaian piyama masuk ke dalam sebuah club malam bukan?Gadis itu berjalan mengikuti seorang pria bertubuh besar yang berjalan di depannya. Dialah yang tadi menghubungi Della. "Mas Raka ada di dalam," ujarnya.Della mengangguk pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu pun bergegas masuk ke sebuah ruangan VVIP dimana Raka berada."Pak Raka...." ujarnya syok melihat Raka terkapar di sofa dengan serpihan botol minuman dimana-mana.Della segera mendekatinya. Ditepuk-tepuknya wajah Raka. Namun pria itu hanya bergumam pelan. Raka mabuk berat. Dia bahkan tidak bisa membuka matanya. "Pak Raka bangun! Pak! Ini saya Della, Pak.""Dia mabuk berat, Mbak.""Apa dia minum banyak sekali?" tanya Della pada pria yang
"Raka?" Kasih terpaku melihat sang putra bungsu berdiri tegap di depannya. Pria itu tersenyum lebar pada Kasih. Lalu mengecup pipi Kasih dengan hangat."Apa kabar, Ma?" sapa Raka.Kasih langsung menyemburkan tangisnya. Wanita itu menubruk dada Raka, memeluknya erat. Kasih terisak di pelukan Raka."Mama kira kamu udah lupa sama Mama, Ka! Kamu nggak pernah ngabarin Mama! Pulang ke Jakarta juga kamu nggak bilang-bilang sama Mama," tangisnya.Raka tersenyum tipis. Diusapnya punggung Kasih dengan lembut. "Sorry, Ma. Raka nggak keinget Mama sama sekali. Soalnya Mama udah tua sih. Beda sama pacar-pacar Raka yang seksi."Kasih sontak menghentikan tangisnya. Dan melepaskan pelukan Raka. Ekspresinya yang tadi sendu mendadak berubah kesal. Dicubitnya perut Raka secara brutal. Sehingga putra bungsunya itu kesakitan."Ampun, Ma! Ampun!""Anak durhaka kamu! Mama dibandingin sama pacar kamu yang lusinan itu?
"Apa maksud kamu dengan hilang ingatan? Jelas-jelas dia mengingat semua orang. Dia bahkan ingat sama saya!" ujar Raka pada seorang pria berjas hitam di depannya."Bukan hilang ingatan secara total, Pak Raka. Dia memang mengalami hilang ingatan tapi cuma sebagian.""Sebagian?" ulang Raka.Pria itu mengangguk. "Kecelakaan yang dia alami membuat dia terkena amnesia retrograde. Mbak Della kehilangan sebagian memori sebelum dan sesudah kecelakaan itu terjadi."Raka menggeleng tidak mengerti. "Saya nggak paham maksud kamu," ujarnya.Pria itu berdehem sebelum mulai menjelaskan pada Raka tentang apa yang terjadi pada Della. Musibah yang tidak banyak orang tau. Bahkan dengan keluarganya sendiri.Raka tertegun mendengar penjelasan detektif suruhannya yang memang dia tugaskan untuk menyelidiki tentang Della selama satu tahun terakhir. Pria itu curiga ada sesua
“Enak?”Raka mengangguk cepat kemudian meletakkan sendok yang habis dia gunakan untuk mencicipi sup buatan Della ke atas meja dapur. “Aku mau mandi dulu terus makan. Gerah banget habis jogging.”Della tersenyum kecil. Gadis itu kemudian mematikan kompor dan menyiapkan sarapan untuk Raka di meja makan. Della tidak bisa menahan senyumnya saat ini. Hatinya merasa sangat senang dan damai. Berada di apartemen Raka saat ini sepertinya lebih baik dari pada pulang ke rumah ketika dirinya dilanda patah hati.Della sungguh-sungguh berterima kasih kepada Raka karena sudah memberinya tumpangan dan menemaninya di saat dia sedang berada di ambang kehancuran. Bagaimana tidak, pria yang selama ini dia sayangi, tunangan sekaligus sahabatnya, tega berselingkuh di belakangnya. Apalagi dia berselingkuh bukan dengan orang jauh, tapi dengan sahabat dekat Della sendiri.Rasa sakit hati yang dirasakan oleh Della makin berlipat-lipat dari sakit hati biasa. Della kemudian duduk di kursinya, menunggu Raka yang
Raka berlari secepat mungkin setelah keluar dari lift. Pria itu langsung bergegas ke arah apartemennya. Belum sampai di depan pintu, dari kejauhan pria itu melihat sosok yang sangat dia kenali sedang duduk bersandar di dinding apartemen sambil menutup wajahnya. Raka segera menghentikan kakinya. Pria itu memandang lama sosok tersebut.Raka menghela nafas panjang. Dengan melangkah pelan pria itu mendekat padanya. Raka berjongkok tepat di depan gadis itu. Dan rupanya gadis itu tidak sadar jika ada orang lain bersamanya."Kamu ngapain disini, Del?" tanya Raka dengan suara begitu pelan dan lembut karena takut mengagetkan Della.Della sontak mendongak dan kaget begitu melihat Raka ada di hadapannya. "Kak Raka? Kok bisa ada disini?"Raka mendesah lirih. "Harusnya aku yang tanya kenapa kamu bisa ada disini," jawabnya. "Kamu ngapain disini? Bukannya kamu harusnya udah ada di Surabaya? Katanya Mama kamu sakit kan?" ujar Raka.De
Raka keluar dari mobil dengan terburu-buru lalu membuka pintu dengan kuat. Begitu ada di dalam rumah, pria itu berteriak dengan keras, "Mama! Ma!""Mama!" Karena tak mendapatkan jawaban, pria itu segera berlari ke atas menuju ke kamar mamanya. "Mama!"Kasih keluar dari kamar dengan wajah dongkol. Wanita itu segera menepuk kepala Raka dengan majalah yang tadi dia baca. Niatnya untuk bersantai sore ini malah terganggu karena teriakan putra bungsunya."Kamu ini teriak-teriak di rumah Mama! Kamu kira ini di hutan apa?" geramnya."Della mana, Ma? Dia sakit apa? Udah panggil dokter belum?" tanyanya bertubi-tubi.Lagi-lagi Kasih merasa dongkol karena pertanyaan Raka. Anak itu bukannya minta maaf karena mengganggu waktu santai mamanya, malah justru menanyakan sesuatu secara tidak sabaran seperti itu."Della nggak ada!" balas Kasih ketus."Nggak ada kemana, Ma?""Pulang ke Surabaya."&nbs
Della mengetuk pintu ruang kerja Raka dengan ragu. Suara Raka yang menyahuti dari dalam membuat Della mengambil nafas panjang. Ini adalah pertama kalinya gadis itu merasa bimbang ketika akan melangkah masuk ke ruangan bosnya itu.Biasanya dia selalu enjoy meskipun Raka sedang marah-marah. Hanya dia satu-satunya pegawai yang tidak takut dimarahi oleh Raka. Karena memang selama ini, menurut pengalaman Della, Raka tidak pernah marah kepadanya. Sebesar apapun kesalahan yang diperbuat oleh gadis itu, Raka akan memaafkannya. Termasuk menghilangkan kontrak dengan perusahaan dari Jepang Minggu lalu.Kala itu, perusahaan Raka membuat kontrak kesepakatan untuk memakai bahan-bahan dari Jepang untuk produk furniture terbaru yang akan diproduksi oleh perusahaan mereka. Pria itu mempercayakan Della untuk menyimpan surat kontrak tersebut segera setelah meeting. Namun karena teledor, Della kehilangan surat tersebut.Dan tanggapan Raka mal
Suasana ball room sebuah hotel bintang lima saat ini sangat ramai. Acara ulang tahun perusahaan Indo Milan digelar dengan sangat meriah. Para karyawan, klien serta perwakilan dari kantor cabang sudah berdatangan, memenuhi ruangan gedung yang sangat luas tersebut.Della berjalan dengan gugup di belakang Raka. Ini adalah pesta pertamanya dan pergi ke pesta sebesar ini tentu membuatnya grogi dan agak tidak nyaman. Apalagi dengan penampilannya yang sangat berbeda dengan hari-hari biasa. Dia sangat tidak percaya diri meski Raka berkali-kali meyakinkannya jika Della sangat menawan malam ini."Della!"Della sontak mendongak. "Ya?""Kenapa berhenti?"Della tergagap. Gadis itu bergegas mempercepat langkahnya dan mengikuti Raka yang sudah berada di depan. Namun Della masih menjaga jarak dengan Raka. Karena dia takut akan menjadi bahan pembicaraan orang di kantor. Menjadi sekretaris Raka saja sudah membuatnya jadi bahan cibiran dan sindiran. Apalagi jika seka
Raka mengakhiri rapat pagi ini dengan senyuman ceria. Sehingga membuat para staf merasa kebingungan. Tumben sekali bos mereka tersenyum. Padahal tidak ada sesuatu istimewa yang terjadi. Sangat membingungkan, mengingat pria itu kemarin marah-marah tidak jelas pada semua orang di kantor.Dan pagi ini, seperti sebuah keajaiban. Raka bersikap sangat ramah pada para staf yang mengikuti rapat. Ulang tahun perusahaan akan segera tiba. Karena itu diadakan rapat untuk membentuk panitia penyelenggaraan ulang tahun perusahaan.Sepanjang acara Raka terlihat begitu antusias. Padahal di rapat ulang tahun perusahaan tahun-tahun yang lalu, pria itu tidak mau terlibat sedikitpun. Namun kali ini pria itu terlihat begitu bersemangat menyambut hari penting bagi perusahaan.Sikap Raka itu tak pelak membuat karyawannya kebingungan sekaligus senang. Setelah minggu-minggu yang kelam disana, pelangi pun datang juga. Setelah semua kesulitan y
"Raka?" ujar Kasih tak percaya saat melihat sang putra bungsu sedang berdiri di depan pintu, meringis lebar padanya."Pagi, Mama Sayang."Kasih mengerutkan keningnya, menatap pria tampan itu dengan mata menyipit. "Tumben kamu pagi-pagi kesini? Mau ngapain?" tanyanya heran.Raka hanya tersenyum mendengarnya. Pria itu merangkul pundak sang mama dan mengajaknya masuk. "Mama gitu banget sih sama Raka. Masa Raka dateng bukannya disambut malah dibilang tumben."Kasih tersenyum sinis melihat kerlingan mata putranya itu. Dia tau jika anak itu pasti ada maunya. Kalau tidak, tidak mungkin seorang Raka Milan yang kepala batu menginjakkan kakinya disana setelah semua yang terjadi.Wanita itu menatap Raka penuh selidik. Kasih melipat tangannya di depan dada dengan gaya khas seorang Nyonya Milan. "Mau minta apalagi kamu sekarang? Uang tabungan Mama udah ludes ya, Ka. Terakhir Mama kasih kamu untuk beli rumah kecil itu," ketusnya.Lagi-lagi san
Raka menguap lebar. Matanya masih terpejam saat dia bangun dari ranjang lalu keluar kamar. "Bentar! Bentar! Astaga!" kesalnya saat mendengar bunyi bel ditekan terus-terusan.Sial sekali dirinya. Sudah semalam tidak bisa tidur, lalu saat dia baru terpejam satu setengah jam, dipaksa bangun. Benar-benar...Sembari menggerutu pria itu berjalan membuka pintu depan. Dia sudah bersiap-siap memaki orang yang membangunkannya dengan kasar. Namun wajah cantik nan lembut di depan pintu membuatnya terpaku."Kak Raka?"Raka mengerjap. "De-Della?" ujarnya."Kak Raka ngapain disini?" tanya Della.Raka mengerutkan keningnya. "Harusnya aku yang tanya ngapain kamu disini?" balasnya.Della meringis kecil. "Maaf, Kak. Habisnya aku kaget pas tau Kak Raka yang buka pintunya.""Aku juga kaget pas tau kamu yang ngetuk pintunya dan buat aku kebangun tiba-tiba," bal
"Apa maksud kamu dengan hilang ingatan? Jelas-jelas dia mengingat semua orang. Dia bahkan ingat sama saya!" ujar Raka pada seorang pria berjas hitam di depannya."Bukan hilang ingatan secara total, Pak Raka. Dia memang mengalami hilang ingatan tapi cuma sebagian.""Sebagian?" ulang Raka.Pria itu mengangguk. "Kecelakaan yang dia alami membuat dia terkena amnesia retrograde. Mbak Della kehilangan sebagian memori sebelum dan sesudah kecelakaan itu terjadi."Raka menggeleng tidak mengerti. "Saya nggak paham maksud kamu," ujarnya.Pria itu berdehem sebelum mulai menjelaskan pada Raka tentang apa yang terjadi pada Della. Musibah yang tidak banyak orang tau. Bahkan dengan keluarganya sendiri.Raka tertegun mendengar penjelasan detektif suruhannya yang memang dia tugaskan untuk menyelidiki tentang Della selama satu tahun terakhir. Pria itu curiga ada sesua