Ucapan Neil dan A.I. sok tahu, Nana, kemarin, membuatku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sepanjang malam kalimat jatuh cinta, cantik, serta pertanyaan apakah aku menyesali atau tidak peristiwa one night stand yang terjadi antara aku dan Neil terus-menerus terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan lucunya aku tidak dapat menyingkirkan wajah dan sorot mata Neil, meskipun sudah berusaha menyingkirkannya dari otak dengan berusaha memejamkan mata.
Sial kenapa wajah laki-laki menyebalkan itu selalu muncul di kepalaku? Kupukul kepalaku beberapa kali untuk menyingkirkan wajah manis itu dari otakku. Manis? Hah! Rupanya aku sudah gila!
Memikirkan laki-laki tengil itu membuat seluruh tubuh dan pikiranku terasa amat lelah. Padahal ini akhir pekan, dan Sabtu Minggu adalah hari liburku baik di Firma Hukum Benjamin maupun Wollim, tapi pagi ini aku justru terpaksa menembus jalanan ibukota untuk bertemu dengan salah satu korban pencemaran lingkungan PT Orin be
“Pak Doni, apa terjadi sesuatu?” Entah mengapa tiba-tiba muncul firasat tidak enak di hatiku. Kali ini aku memperbaiki posisi duduk dan menatap layar head unit, kemudianmenyalakan mode merekam panggilan telepon. Tidak ada jawaban dari seberang, hanya ada suara napas yang terdengar ragu. “Katakan saja, Pak Doni. Mungkin aku bisa membantu.” aku mencoba bersikap tenang. “Akhir-akhir ini....Aku selalu merasa sedang diikuti seseorang," Suara Doni terhenti, ia terdengar menghela napas panjang sebelum kembali berkata, “Kurasa seseorang mengikutiku semenjak pertemuan kita untuk pengambilan sampel darah dua minggu lalu. Sepertinya mereka mengikutiku semenjak aku dan para korban keluar dari gedung Firma anda.” Aku menahan napas ketika Doni menyebutkan gedung firmaku. Aku tahu bahwa yang diucapkan Doni benar, karena fotoku pun muncul di rapat Wollim. Bisa jadi orang yang mengikuti Doni adalah suruhan Wollim. “Apa kau masih diikuti?” Aku harus mema
BAB 37 : KEDAI K Waktu pada jam tanganku menunjukkan pukul 08.25 WIB. Aku memarkirkan mobil tepat di depan sebuah kedai kopi 24 jam dengan nuansa rumahan. Kedai kopi ini didominasi warna cokelat kayu pada bagian depan bangunan, serta dipenuhi berbagai tanaman hijau yang ditata secara apik sehingga menimbulkan kesan asri. Sebuah plang kayu berukir tulisan ‘Rumah Kopi’ menggantung di atas pintu masuk kedai. Aroma kopi tercium cukup pekat dari depan bangunan rumah kopi tempatku berdiri. Kehangatan harum kopi bercampur karamel menenangkan pikiran sekaligus mampu meningkatkan semangatku yang sedikit layu. Begitu aku melangkah masuk ke dalam kedai tersebut, irama petikan gitar mengiringi nyanyian merdu seorang wanita yang melantunkan lagu I’m yours milik Jason Myraz. Pilihan playlist yang cukup bagus, sebab lagu ini mampu membangkitkan semangat para pengunjung yang masih mengantuk dengan cara yang lembut. Selain itu aku melihat sebuah meja bar berb
“Bu Sophie! Tidak...Tidak...Aku baru saja tiba. Silahkan duduk.“ Doni langsung berdiri dan mengulurkan tangannya begitu melihat kehadiranku. Doni berbohong padaku, Doni mungkin sudah cukup lama menungguku, bisa jadi ia sudah tiba jauh sebelum meneleponku tadi. Aku tahu itu jika melihat dari batang rokok yang sudah hampir habis di tangannya, serta lima sisa puntung rokok lain yang sudah habis terbakar di dalam asbak. Tangan Doni yang memegang rokok terlihat gemetar, sedangkan wajahnya cukup pucat dan kuyu, janggut dan kumisnya pun tampak tumbuh tidak terawat. Saat itulah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang lebih besar dari yang aku kira. Doni menarik kursi di sampingnya untuk kududuki. Begitu kami duduk, namun belum sempat berbincang, salah satu bartender berwajah oriental layaknya artis Korea mendekati kami. “Mau pesan kopi apa, Kak?” tanya bartender berwajah ramah dengan mata tersenyum seperti bulan sabit. “Satu cafe au lait,
Aku memandang Doni dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk antara penasaran, curiga, dan takut. Namun tekadku cukup bulat, rasa penasaran lebih mendominasi daripada perasaan lain. Tatapanku beralih pada layar ponsel. Kupandangi ponsel itu dengan saksama, pada bagian kanan atas video tampak deretan angka yang menunjukkan durasi video adalah lima menit. Menilai dari sudut pandang gambar, bisa kuyakini bahwa video ini direkam dari jarak dekat. Aku mengernyitkan dahi dan melirik Doni. Pria itu mengangguk sebagai tanda bahwa aku sebaiknya mulai menyaksikan video tersebut. Kutekan tombol play, tayangan dalam video mulai bergerak. Pada mulanya aku menyaksikan seorang pria berbadan besar dengan bekas luka melintang di antara mata kanan menuju pelipis, menodongkan pistol di kepala laki-laki kurus berkacamata dengan jaket putih yang tampak seperti jaket lab seorang peneliti. Darah berlumuran di bagian depan jas laboratorium sang peneliti. Wajahnya dipenuhi bekas luka dan
“Permisi, Kak, ini pesanannya. Satu cangkir cafe au lait, satu kopi hitam, dan satu sandwich keju,” seorang pelayan laki-laki berwajah oriental dengan seragam serba cokelat dan apron hitam di pinggul tersenyum ramah. Gerakannya yang efisien dalam menata cangkir dan piring di meja kami sedikit mengalihkan perhatian dari video pembunuhan yang baru saja kusaksikan. Khawatir jika video keji itu tanpa sengaja terlihat oleh si pelayan, masih dalam kelimbungan, kututupi layar ponsel dan segera kukembalikankan ponsel itu kepada pemiliknya, Doni. “Terima kasih,” ucap Doni dengan wajah datar, dan sorot mata waspada yang tidak sedikitpun ia tanggalkan sejak kedatanganku kepada pelayan itu. Sekilas kupandang sang pelayan, pada papan nama di dada kanannya tercantum nama Shandi. “Sama-sama,” pelayan bernama Shandi itu memamerkan senyumnya. “Sudah semua ya pesanannya. Kalau tidak ada lagi, saya permisi.” “Terima kasih, Mas Shandi,” Donie kemb
Brengsek, adegan pembunuhan itu terlalu kuat terpatri di dalam otakku, bahkan aroma kopi sudah tidak mampu mengalihkan pikiranku meskipun hanya sejenak. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pikiran? Aku menyesal sudah menekan tombol play pada ponsel Doni. Pembunuhan itu sangat biadab. “Hati-hati. Kopinya masih panas,” teriak Doni ketika aku menengguk kopi dengan cepat. “Panas..Panas…Eh monyong panas..Panas..!” Kopi panas tersembur dari mulutku. Doni berusaha menyentuh tanganku. Ia berniat menyadarkanku. Masalahnya garis koordinasi antara pikiran dan otot-otot tubuh tidak akan sejalan ketika latahku kambuh. Bukannya menjadi tenang, otot dan otakku justru semakin tidak terkendali. Dalam refleks cepat tidak terkendali, tanpa sengaja kuayun tangan yang masih memegang cangkir. Gerakanku sangat cepat. Untung saja tangan Doni segera menjauh dengan wajah memerah dan panik. Namun cangkir yang melayang segera pecah berkeping-keping
Doni menyeruput kopi miliknya, ransel hitam yang ia jaga, kini ia letakkan di atas pangkuannya, sedangkan aku hanya dapat menatap sandwich keju yang telah ditaruh oleh Doni tepat di hadapanku.Selera makanku sudah hilang.Jujur saja, segala gerak-geriknya untuk menjaga ransel itu dengan sangat hati-hati membuatku ingin bertanya perihal isi dari ransel itu. Sepertinya Doni menyadari arah tatapanku, sebab Doni tampak menggeser ransel di pangkuannya dengan tidak nyaman.“Maafkan aku ya, Pak. Semoga cipratan kopi panas itu tidak ada yang mengenaimu” ucapku tulus. “Tadi aku benar-benar tidak sengaja. Aku..”Doni menggeleng, lalu dengan cepat ia berkata, “Tidak, Bu! Bu Sophie tidak salah. Lagi pula orang waras mana yang bisa tetap bersikap tenang setelah melihat penyiksaan dan pembunuhan tadi?”Sebuah pernyataan yang tepat sasaran. Menenangkan dengan ucapan yang miris.Aku hanya dapat menatap lantai dal
Si pemimpin para korban pencemaran Orin menatapku cemas. Ia masih ragu.“Minimal,” ujarku kini dengan suara lirih. “Tuntaskanlah apa yang ingin anda sampaikan hingga membuatku harus datang ke tempat ini. Anda bisa bicara pelan sehingga mereka tidak bisa mendengar kita.”Melihat keyakinanku, Doni yang sebelumnya tampak ragu mulai mengangguk. Sebutir keyakinanku tampaknya bisa mempengaruhinya.“Baiklah,” ujarnya dalam suara pelan.“Ceritalah. Tapi..” Aku berusaha menahannya ketika Shandi, pelayan berwajah oriental bak artis K-Pop menghampiri kami. Ia membawa dua cangkir kopi.Sambil tersenyum Shandi berkata, “Permisi, Kak, ini kopinya kami ganti. Kakak tidak usah bayar lagi. Hanya..” Ia tersenyum. “Cangkir tadi saja yang diganti.” Shandi tampak membawa nampan kecil berisi buku tagihan, padahal aku belum memintanya. Mungkin ini kebijakan kedai kopi, memberikan bill
Haloo teman-teman pembaca, mohon maaf kalau saya sering terlambat untuk upload cerita moonlight kiss akhir-akhir ini, karena saya sedang mengikuti lomba menulis novel Mizan Writing Boothcamp, dan tantangan dari lomba lumayan banyak, sehingga banyak menyita fokus perhatian saya. Jadi mohon dukungan dan doanya ya untuk keberhasilan saya. Dan saya akan terus berusaha untuk mengupdate novel moonlight kiss meskipun selama periode lomba MWB, saya akan cukup terlambat mengupdate, Terima kasih banyak atas pengertian, perhatian, dan dukungannya. Saya akan kembali dengan chapter menarik lainnya. Mari kita nantikan bersama bagaimana kelanjutan kisah antara Sophie, Neil, dan Gerald. Kemanakah bunga-bunga cinta mereka akan berlabuh? lalu bagaimana mereka mengatasi para mafia dan senjata pemusnah massal M.K. Project alias Moonlight Kiss? Mari kita tunggu kelanjutannya... Love you all... -Scarlette-
Rasanya sulit menggambarkan perasaanku saat ini. Pada satu sisi aku merasa sangat bersyukur dan gembira karena Gerald telah menyelamatkan kami. Pria bermata sayu itu rupanya memiliki keahlian bela diri. Ia dapat mengalahkan satu per satu lawan dengan menggunakan teknik mematikan. Sejenak aku bahkan merasa seperti telah diselamatkan oleh seorang pangeran berkuda putih. Baiklah, aku pun telah diselamatkan oleh Kevin sebelumnya, dengan keahlian peretas kelas wahid, tapi diselamatkan oleh pria yang kita suka terasa sangat berbeda. Jujur, tindakan Gerald membuatku merasa sangat tersanjung dan terpesona.Akan tetapi, komunikasi kami di sepanjang perjalanan membuatku sangat frustasi. Lompatan-lompatan pikiran Gerald sama sekali tidak dapat kubaca. Mata sayunya tampak tidak fokus, dipenuhi dengan kecemasan yang sangat sulit kukorek. Sepanjang jalan tidak terjadi koneksi di antara kami, baik dalam hal perbincangan maupun dari hati. Wajar saja jika saat ini perasaan kagumku kepadanya sedikit b
Ia masih tidak bereaksi. Sama sekali.Tidak mengangguk ataupun menggeleng.Ia sama sekali tidak menanggapi perasaanku.“Gerald!” Kurenggut lengannya. Ia benar-benar tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Syukurlah pada akhirnya Gerald menoleh. Sebuah gerakan sederhana yang menunjukkan bahwa ia telah kembali menjadi manusia, bukan patung tanpa nyawa.“Apa? Ada apa?” tanya Gerald dengan mata berkedip-kedip dan pupil yang terus bergerak ke sana ke mari. Ia tampak kebingungan.“Dari tadi aku hanya mau mengatakan terima kasih...,” kuhentikan sejenak perkataanku dan kembali menatap Gerald, memastikan bahwa pria di sampingku telah memulihkan konsentrasinya. Setelah memastikan bahwa Gerald benar-benar mendengarkan, lalu kulanjutkan ucapanku, “Terima kasih karena tadi, kamu sudah menyelamatkanku.”Gerald menatapku secara cepat, hanya sekilas lantas kembali memandang jalur perjalanan di balik kaca bening pelindung kendaraan kami. Gerald menarik napas sangat dalam kemudian menghembuskannya l
Berbeda dengan ketenangan maupun kesigapan yang Gerald tunjukkan saat menghajar para begundal. Laki-laki yang selalu membuat resah hati dan pikiranku, sedari tadi membungkam mulutnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seakan memikirkan begitu banyak hal. Keringat membasahi pelipis pria seputih pualam itu. Entah apa yang membuat Gerald resah. Namun satu hal yang kutahu pasti, bahwa pria bermata sayu di sampingku tidak akan pernah mau membicarakan isi hati dan pikirannya. Meskipun aku dapat melihat dengan jelas kecemasan dari sorot mata tidak dapat berbohongnya, karena seperti itulah sosok Gerald yang kutahu sejak dulu. Dingin dan pendiam. Seperti sebuah semesta yang tidak dapat kujelajahi. Namun hal itu juga yang menjadi daya tariknya, sebab hanya aku tahu bahwa sebenarnya Gerald memiliki hati yang hangat. Kedua mataku melirik kembali pada pria yang tampak serius mengemudi. Entah mengapa ia selalu menjadi medan magnet perhatianku. Dahi Gerald tampak berkerut hingga jarak ked
Gerald menggenggam tanganku sangat erat dan sedikit kasar. Ia menarikku dengan cepat. Seandainya aku tidak begitu mengagumi pria di hadapanku, aku dapat mengira bahwa ia sedang menyeretku menuju mobil Mitsubishi Pajero berwarna cokelat muda. Karena posisi mobil yang cukup tinggi, tanpa aba-aba, Gerald membuka pintu, lalu mengangkat tubuhku dengan lembut seakan aku adalah kaca yang sangat rapuh, ia mendudukanku di kursi penumpang depan.Gerakan Gerald sangat taktis dan efisien. Setelah menaikkanku ke dalam mobil, ia meminta laki-laki berjas hitam untuk memanggul Doni yang rupanya tidak sanggup berjalan. Pada awalnya Doni mencoba berlari menghampiri, namun baru beberapa langkah Doni sudah menghentikan langkahnya. Ia terjatuh. Tampaknya pertempuran tadi melukai kaki dan bagian-bagian lain dari tubuhnya.Begitu kami semua telah masuk mobil, Gerald lantas menginjak gas meninggalkan lokasi. Di dalam mobil, Gerald mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sedangkan pria
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi nyeri meskipun pada kenyataannya luka di leherku sangatlah pedih. Aku tidak ingin Gerald terganggu oleh lukaku. Karena hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah keluar dari situasi mengerikan dengan selamat dan tanpa kehilangan Moonlight Kiss.Tatapanku kembali mencari sosok Doni, rupanya ia telah roboh di samping mobil tesla. Posisi tidak imbang karena rekan Gerald, si pria berjas hitam harus melawan dua orang. Sebelum menghampiri pria berjas hitam, Gerald dengan gagah menarikku agar berada di balik punggungnya. Kali ini bukan aku yang menjadi perisai hidup bagi seseorang, tapi Gerald menjadikan dirinya perisai hidup yang melindungiku.“Gerald, tolong berhati-hatilah!” ujarku dengan pelan, entah ia mendengarnya atau tidak. Aku bahkan dapat mendengar nada keputusasaan dari suaraku sendiri. Tanganku berusaha menggapai punggung Gerald. Namun debar di dada membuatku urung untuk menjangkaunya
Pukulan Gerard sangat keras. Si pria kuncir kuda terdorong. Pegangannya di leherku terlepas. Aku bergerak mundur mencari jarak aman lalu berjongkok melindungi diri. Aku tidak dapat menemukan lLmborghini hitam di sekitar kami. Kurasa kehadiran Gerald berhasil mengusir mereka. Tapi pria berkuncir ekor kuda belum jatuh. Dia berupaya membalas pukulan Gerald. Tangan kanan si kuncir mengayun kencang. Dia mengincar wajah Gerald. Satu pria berjas hitam tampak bertarung dengan pria botak dan pria brewok berkemeja hawai. Doni terlihat turut membantu pria berjas hitam. Kurasa pria bersetelan hitam itu adalah rekan Gerald.“Awas!” pekikku. Pria berkuncir kuda berhasil mengambil tongkat baseball yang rupanya tidak terpental jauh dari posisi kami dan hendak menghantam kepala Gerald. Tubuhku mendadak terasa lemas membayangkan tongkat itu melukai Gerald.Sayangnya pria yang selalu ada dalam ruang rinduku itu tidak terpengaruh oleh pekikanku. Dia pun tak terpengaruh dengan
Ia menarik tanganku hingga aku terpelanting di atas aspal panas. Sedangkan kedua pria yang mengincar Doni telah berhasil membuka pintu dan turut menarik pria kurus itu keluar dari mobil. Pria brewok berkemeja hawai dan rekannya tampak mengacak-acak isi mobil, mencari keberadaan tabung cairan kimia.Doni terlihat berusaha menghalangi si pria kemeja hawai dengan tendangan tinggi mengarah pada dada, namun pria berkepala botak yang berada di belakangnya segera menghalau tendangan kanan Doni dengan tangkisan tangan kiri. Doni beralih pada pria botak. Satu tonjokkan hampir mengenai pelipis pria itu jika saja dia tidak sigap menahan pukulan yang dilontarkan oleh Doni dengan satu tangan.“Doni, awas!” Aku berteriak ketika pria borak melakukan pukulan balasan menggunakan tangan kirinya yang bebas. Sayangnya Doni terlambat menyadari peringatanku dan membuat pukulan itu tepat mengenai pipi Doni. Meskipun menggunakan kiri, pukulan itu mampu menjatuhkan Doni.Pad
Keinginan hidup membuatku memperhitungkan dengan saksama kedalaman rem yang kupijak. Ini pengereman kedua. Mobil tesla sudah hampir menabrak. Namun jalan masih menurun terjal. Aku melepas lagi rem. Berharap mobil tidak kehilangan kendali, lalu menginjak rem satu kali lagi. Tesla tidak memiliki rem tangan, jadi aku benar-benar harus mengandalkan rem kaki dan kemampuan menyetirku.Mobil berdecit keras. Suaranya pasti terdengar sampai di mall sana.Kecepatan dan daya dorong mobil tesla yang berusaha kukurangi dengan tiga kali rem menciptakan gerakan pendulum. Laju mobil ditambah oleh gaya tarik gravitasi, dilawan oleh rem secara cepat mengakibatkan gaya balik di dalam mobil.Aku dan Doni akan terlempar keluar seandainya tidak mengenakan sabuk pengaman. Untunglah kami mengenakan seat belt. Tubuh kami hanya terdorong ke depan secara mendadak, kemudian terpantul kembali setelah mobil berhenti total. Hanya berjarak sejengkal dari mobil Land Cruiser.Ber