Brengsek, adegan pembunuhan itu terlalu kuat terpatri di dalam otakku, bahkan aroma kopi sudah tidak mampu mengalihkan pikiranku meskipun hanya sejenak. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pikiran? Aku menyesal sudah menekan tombol play pada ponsel Doni. Pembunuhan itu sangat biadab.
“Hati-hati. Kopinya masih panas,” teriak Doni ketika aku menengguk kopi dengan cepat.
“Panas..Panas…Eh monyong panas..Panas..!” Kopi panas tersembur dari mulutku.
Doni berusaha menyentuh tanganku. Ia berniat menyadarkanku. Masalahnya garis koordinasi antara pikiran dan otot-otot tubuh tidak akan sejalan ketika latahku kambuh. Bukannya menjadi tenang, otot dan otakku justru semakin tidak terkendali. Dalam refleks cepat tidak terkendali, tanpa sengaja kuayun tangan yang masih memegang cangkir.
Gerakanku sangat cepat. Untung saja tangan Doni segera menjauh dengan wajah memerah dan panik. Namun cangkir yang melayang segera pecah berkeping-keping
Doni menyeruput kopi miliknya, ransel hitam yang ia jaga, kini ia letakkan di atas pangkuannya, sedangkan aku hanya dapat menatap sandwich keju yang telah ditaruh oleh Doni tepat di hadapanku.Selera makanku sudah hilang.Jujur saja, segala gerak-geriknya untuk menjaga ransel itu dengan sangat hati-hati membuatku ingin bertanya perihal isi dari ransel itu. Sepertinya Doni menyadari arah tatapanku, sebab Doni tampak menggeser ransel di pangkuannya dengan tidak nyaman.“Maafkan aku ya, Pak. Semoga cipratan kopi panas itu tidak ada yang mengenaimu” ucapku tulus. “Tadi aku benar-benar tidak sengaja. Aku..”Doni menggeleng, lalu dengan cepat ia berkata, “Tidak, Bu! Bu Sophie tidak salah. Lagi pula orang waras mana yang bisa tetap bersikap tenang setelah melihat penyiksaan dan pembunuhan tadi?”Sebuah pernyataan yang tepat sasaran. Menenangkan dengan ucapan yang miris.Aku hanya dapat menatap lantai dal
Si pemimpin para korban pencemaran Orin menatapku cemas. Ia masih ragu.“Minimal,” ujarku kini dengan suara lirih. “Tuntaskanlah apa yang ingin anda sampaikan hingga membuatku harus datang ke tempat ini. Anda bisa bicara pelan sehingga mereka tidak bisa mendengar kita.”Melihat keyakinanku, Doni yang sebelumnya tampak ragu mulai mengangguk. Sebutir keyakinanku tampaknya bisa mempengaruhinya.“Baiklah,” ujarnya dalam suara pelan.“Ceritalah. Tapi..” Aku berusaha menahannya ketika Shandi, pelayan berwajah oriental bak artis K-Pop menghampiri kami. Ia membawa dua cangkir kopi.Sambil tersenyum Shandi berkata, “Permisi, Kak, ini kopinya kami ganti. Kakak tidak usah bayar lagi. Hanya..” Ia tersenyum. “Cangkir tadi saja yang diganti.” Shandi tampak membawa nampan kecil berisi buku tagihan, padahal aku belum memintanya. Mungkin ini kebijakan kedai kopi, memberikan bill
Doni serta-merta bangkit dari kursi dan merenggut pergelangan tanganku.“Copot...Copot...Copot,” latahku kembali. Di saat-saat yang paling memalukan.“Maafkan aku, Bu. Tapi kita harus pergi! Secepat mungkin!”Tidak kuasa menahan tenaga Doni yang menarikku, akhirnya aku hanya dapat berdiri sambil terus berbicara, mengatakan sesuatu yang tidak bisa kukendalikan. Cengkraman tangan si laki-laki brewok begitu kuat. Sangat keras dan dipenuhi ketakutan. Doni membawaku, atau lebih tepatnya tergesa-gesa menyeretku, melewati halaman depan cafe.“Pak Doni, kita mau ke mana?” kugerakkan tanganku, berupaya melepaskan cengkraman.“Kabur, Bu!” Tanpa menoleh ia menjawab.“Iya ke mana,” sekuat tenaga kutahan Doni.Ketika Doni merasakan bahwa tubuhku menolak untuk mengikuti keinginannya, pria itu berbalik menghadapku. “Yang penting kita harus melarikan diri, Bu! Ke mana pun!”
Doni membalikkan tubuh. Dia betul-betul mencari mobil land cruiser hitamtadi. “Mereka pasti mengikuti kita.Aku menggeleng. Dari sudut spion aku tidak melihat mobil itu lagi. Walaupun ada beberapa land cruiserhitam bertebaran, aku masih hafal nomor platnya dan mobil tadi tidak ada di belakang. “Tidak, Pak. Mereka tidak mengikuti kita!”“Kau harus percaya kepadaku!”“Tapi mereka tidak mengikuti kita!” sahutku jengkel.“Mereka pasti mengikuti kita!”Belum pernah aku mendengar ketakutan sebesar ini dari sesorang. Untuk membantu meredakan ketegangan pria berpenampilan kuyu ini, aku beralih menggunakan ponsel agar mengaktifkan mode autopilot. Kuketik tujuan ‘Firma hukum ayah’ sebagai destinasi utama yang harus dituju si mobil. Sebagai respon, auto voicetesla menjawab dalam bahasa yang kurang lebih berarti siap laksanakan. Nikm
Brengsek, Apa yang harus kulakukan? Otakku berpacu mencari cara untuk mengaktifkan serta merebut kembali kendali mobil teslaku. Mobil tesla kesayanganku diretas orang. Gila. Mereka benar benar biadab. Pada kondisi sedemikian genting, Kedua motor yang dikendarai pria berhelm dan pakaian serba hitam masih terus mengimpit di kedua sisi mobilku. Sedangkan tepat disebelahku kepanikan Doni sangat tidak membantu. Rasanya aku ingin memukul pria ini agar diam, karena ia terus-menerus berteriak sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan dalam posisi membungkuk dan memeluk ransel miliknya. Memori otakku tiba-tiba mengingat sosok seseorang yang dapat menolongku. Kevin, dia dapat menyelamatkanku. Kevin adalah rekan Megan, pemilik club X7 yang kudatangi sebelumnya. Pria gondrong yang selalu berdandan nyentrik ala visual kei. Dandanan para penggemar J-Rocks. Dengan cepat aku mencari nomor Kevin dalam kontak ponse
Untuk kesekian kalinya aku memeriksa kaca spion dan mendapati bahwa motor RX King kembali mengejar kami dari arah belakang. Namun kali ini ia tidak mendekat. Dari gerak-geriknya, pengemudi motor itu tampak menjaga jarak dengan kami. Ia tahu bahwa aku sama sekali tidak dapat mengendalikan laju mobil.Sedangkan dari sudut mataku, tubuh Doni terlihat bergetar. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya semakin erat memeluk ransel hitam di pangkuannya.Segera aku mengetikkan pesan pada sang peretas.(Чего ты хочешь от меня? [Chego ty khochesh' ot menya? – Apa yang kau mau dariku?]) tanyaku kembali. Tidak lama berselang, muncul sebuah pesan baru dari peretas yang menggunakan ID Dkrmln00.(что-то, что ты украл у нас. [Chto-to, chto ty ukral u nas. – Sesuatu yang kau curi dari kami.]) aku terperangah menilik pesan dari peretas kami. Pandanganku otomatis tertuju pada Doni.(у нас нет ничего, что вы хотите. [U nas net nichego, ch
Di antara tembok itu lampu motor memantulkan siluet dua orang manusia. Dua orang laki-laki yang kalau kuperhatikan baik-baik dari temaram lampu motor adalah laki-laki berambut pirang dengan tubuh tinggi menjulang. Aku dapat melihat salah satu pria berambut pirang tengah menghisap cerutu di tangan kirinya, asap putih terlihat mengepul di udara. Dia berdiri tegak di hadapan sebuah mobil sport hitam berbentuk khas sedan lamborghini. Tangan kanan pria itu memegang sebuah senapan AK47 yang dihamparkan seperti sedang memegang pedang katana para samurai. Di sampingnya tampak seorang pria Caucasian lain yang berkacamata bening berbingkai emas dan berjanggut sedang duduk di hadapan sebuah laptop dengan nyala terang. Ia terlihat sangat serius. Seperti seorang peretas yang sedang berperang. Aku rasa, merekalah biangkerok peretasan teslaku. Orang yang sedang Kevin lawan dari jauh. Mobil hampir berhenti sempurna bersamaan dengan kedua pengemudi motor yang mengikuti kami m
Mobil teslaku melaju semakin cepat, suara tembakan, musik L’Arc en Ciel, serta deru motor bertalu-talu mengejar kami membuat dadaku berdebar. Aku masih dapat mendengar mulut Doni yang berkomat-kamit merapalkan doa-doa. Berada di ambang kematian membuat keringatku terus bercucuran, pori-pori kulitku mati rasa, padahal pendingin mobil berada di posisi maksimal.Satu tembakan terdengar menghantam bagian belakang mobil.“Mooonyoooooooong! Ditembak monyong! Mati aku!” Aku dan Doni menjerit secara bersamaan, tapi tentu saja hanya aku yang mengumpat. Sedangkan Doni langsung meringkuk di balik jok kursi. Kutarik napas dalam-dalam sambil menggigit lidah, berusaha mengendalikan latahku sekeras mungkin. Hingga cairan hangat sedikit mengalir dan menimbulkan efek rasa tembaga di mulutku.Aku tahu itu adalah darahku. Lidahku terluka. Sambil memejamkan mata dan menghitung mundur, aku berusaha menenangkan diri, meskipun pandanganku selalu teralihkan oleh setir
Haloo teman-teman pembaca, mohon maaf kalau saya sering terlambat untuk upload cerita moonlight kiss akhir-akhir ini, karena saya sedang mengikuti lomba menulis novel Mizan Writing Boothcamp, dan tantangan dari lomba lumayan banyak, sehingga banyak menyita fokus perhatian saya. Jadi mohon dukungan dan doanya ya untuk keberhasilan saya. Dan saya akan terus berusaha untuk mengupdate novel moonlight kiss meskipun selama periode lomba MWB, saya akan cukup terlambat mengupdate, Terima kasih banyak atas pengertian, perhatian, dan dukungannya. Saya akan kembali dengan chapter menarik lainnya. Mari kita nantikan bersama bagaimana kelanjutan kisah antara Sophie, Neil, dan Gerald. Kemanakah bunga-bunga cinta mereka akan berlabuh? lalu bagaimana mereka mengatasi para mafia dan senjata pemusnah massal M.K. Project alias Moonlight Kiss? Mari kita tunggu kelanjutannya... Love you all... -Scarlette-
Rasanya sulit menggambarkan perasaanku saat ini. Pada satu sisi aku merasa sangat bersyukur dan gembira karena Gerald telah menyelamatkan kami. Pria bermata sayu itu rupanya memiliki keahlian bela diri. Ia dapat mengalahkan satu per satu lawan dengan menggunakan teknik mematikan. Sejenak aku bahkan merasa seperti telah diselamatkan oleh seorang pangeran berkuda putih. Baiklah, aku pun telah diselamatkan oleh Kevin sebelumnya, dengan keahlian peretas kelas wahid, tapi diselamatkan oleh pria yang kita suka terasa sangat berbeda. Jujur, tindakan Gerald membuatku merasa sangat tersanjung dan terpesona.Akan tetapi, komunikasi kami di sepanjang perjalanan membuatku sangat frustasi. Lompatan-lompatan pikiran Gerald sama sekali tidak dapat kubaca. Mata sayunya tampak tidak fokus, dipenuhi dengan kecemasan yang sangat sulit kukorek. Sepanjang jalan tidak terjadi koneksi di antara kami, baik dalam hal perbincangan maupun dari hati. Wajar saja jika saat ini perasaan kagumku kepadanya sedikit b
Ia masih tidak bereaksi. Sama sekali.Tidak mengangguk ataupun menggeleng.Ia sama sekali tidak menanggapi perasaanku.“Gerald!” Kurenggut lengannya. Ia benar-benar tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Syukurlah pada akhirnya Gerald menoleh. Sebuah gerakan sederhana yang menunjukkan bahwa ia telah kembali menjadi manusia, bukan patung tanpa nyawa.“Apa? Ada apa?” tanya Gerald dengan mata berkedip-kedip dan pupil yang terus bergerak ke sana ke mari. Ia tampak kebingungan.“Dari tadi aku hanya mau mengatakan terima kasih...,” kuhentikan sejenak perkataanku dan kembali menatap Gerald, memastikan bahwa pria di sampingku telah memulihkan konsentrasinya. Setelah memastikan bahwa Gerald benar-benar mendengarkan, lalu kulanjutkan ucapanku, “Terima kasih karena tadi, kamu sudah menyelamatkanku.”Gerald menatapku secara cepat, hanya sekilas lantas kembali memandang jalur perjalanan di balik kaca bening pelindung kendaraan kami. Gerald menarik napas sangat dalam kemudian menghembuskannya l
Berbeda dengan ketenangan maupun kesigapan yang Gerald tunjukkan saat menghajar para begundal. Laki-laki yang selalu membuat resah hati dan pikiranku, sedari tadi membungkam mulutnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seakan memikirkan begitu banyak hal. Keringat membasahi pelipis pria seputih pualam itu. Entah apa yang membuat Gerald resah. Namun satu hal yang kutahu pasti, bahwa pria bermata sayu di sampingku tidak akan pernah mau membicarakan isi hati dan pikirannya. Meskipun aku dapat melihat dengan jelas kecemasan dari sorot mata tidak dapat berbohongnya, karena seperti itulah sosok Gerald yang kutahu sejak dulu. Dingin dan pendiam. Seperti sebuah semesta yang tidak dapat kujelajahi. Namun hal itu juga yang menjadi daya tariknya, sebab hanya aku tahu bahwa sebenarnya Gerald memiliki hati yang hangat. Kedua mataku melirik kembali pada pria yang tampak serius mengemudi. Entah mengapa ia selalu menjadi medan magnet perhatianku. Dahi Gerald tampak berkerut hingga jarak ked
Gerald menggenggam tanganku sangat erat dan sedikit kasar. Ia menarikku dengan cepat. Seandainya aku tidak begitu mengagumi pria di hadapanku, aku dapat mengira bahwa ia sedang menyeretku menuju mobil Mitsubishi Pajero berwarna cokelat muda. Karena posisi mobil yang cukup tinggi, tanpa aba-aba, Gerald membuka pintu, lalu mengangkat tubuhku dengan lembut seakan aku adalah kaca yang sangat rapuh, ia mendudukanku di kursi penumpang depan.Gerakan Gerald sangat taktis dan efisien. Setelah menaikkanku ke dalam mobil, ia meminta laki-laki berjas hitam untuk memanggul Doni yang rupanya tidak sanggup berjalan. Pada awalnya Doni mencoba berlari menghampiri, namun baru beberapa langkah Doni sudah menghentikan langkahnya. Ia terjatuh. Tampaknya pertempuran tadi melukai kaki dan bagian-bagian lain dari tubuhnya.Begitu kami semua telah masuk mobil, Gerald lantas menginjak gas meninggalkan lokasi. Di dalam mobil, Gerald mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sedangkan pria
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi nyeri meskipun pada kenyataannya luka di leherku sangatlah pedih. Aku tidak ingin Gerald terganggu oleh lukaku. Karena hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah keluar dari situasi mengerikan dengan selamat dan tanpa kehilangan Moonlight Kiss.Tatapanku kembali mencari sosok Doni, rupanya ia telah roboh di samping mobil tesla. Posisi tidak imbang karena rekan Gerald, si pria berjas hitam harus melawan dua orang. Sebelum menghampiri pria berjas hitam, Gerald dengan gagah menarikku agar berada di balik punggungnya. Kali ini bukan aku yang menjadi perisai hidup bagi seseorang, tapi Gerald menjadikan dirinya perisai hidup yang melindungiku.“Gerald, tolong berhati-hatilah!” ujarku dengan pelan, entah ia mendengarnya atau tidak. Aku bahkan dapat mendengar nada keputusasaan dari suaraku sendiri. Tanganku berusaha menggapai punggung Gerald. Namun debar di dada membuatku urung untuk menjangkaunya
Pukulan Gerard sangat keras. Si pria kuncir kuda terdorong. Pegangannya di leherku terlepas. Aku bergerak mundur mencari jarak aman lalu berjongkok melindungi diri. Aku tidak dapat menemukan lLmborghini hitam di sekitar kami. Kurasa kehadiran Gerald berhasil mengusir mereka. Tapi pria berkuncir ekor kuda belum jatuh. Dia berupaya membalas pukulan Gerald. Tangan kanan si kuncir mengayun kencang. Dia mengincar wajah Gerald. Satu pria berjas hitam tampak bertarung dengan pria botak dan pria brewok berkemeja hawai. Doni terlihat turut membantu pria berjas hitam. Kurasa pria bersetelan hitam itu adalah rekan Gerald.“Awas!” pekikku. Pria berkuncir kuda berhasil mengambil tongkat baseball yang rupanya tidak terpental jauh dari posisi kami dan hendak menghantam kepala Gerald. Tubuhku mendadak terasa lemas membayangkan tongkat itu melukai Gerald.Sayangnya pria yang selalu ada dalam ruang rinduku itu tidak terpengaruh oleh pekikanku. Dia pun tak terpengaruh dengan
Ia menarik tanganku hingga aku terpelanting di atas aspal panas. Sedangkan kedua pria yang mengincar Doni telah berhasil membuka pintu dan turut menarik pria kurus itu keluar dari mobil. Pria brewok berkemeja hawai dan rekannya tampak mengacak-acak isi mobil, mencari keberadaan tabung cairan kimia.Doni terlihat berusaha menghalangi si pria kemeja hawai dengan tendangan tinggi mengarah pada dada, namun pria berkepala botak yang berada di belakangnya segera menghalau tendangan kanan Doni dengan tangkisan tangan kiri. Doni beralih pada pria botak. Satu tonjokkan hampir mengenai pelipis pria itu jika saja dia tidak sigap menahan pukulan yang dilontarkan oleh Doni dengan satu tangan.“Doni, awas!” Aku berteriak ketika pria borak melakukan pukulan balasan menggunakan tangan kirinya yang bebas. Sayangnya Doni terlambat menyadari peringatanku dan membuat pukulan itu tepat mengenai pipi Doni. Meskipun menggunakan kiri, pukulan itu mampu menjatuhkan Doni.Pad
Keinginan hidup membuatku memperhitungkan dengan saksama kedalaman rem yang kupijak. Ini pengereman kedua. Mobil tesla sudah hampir menabrak. Namun jalan masih menurun terjal. Aku melepas lagi rem. Berharap mobil tidak kehilangan kendali, lalu menginjak rem satu kali lagi. Tesla tidak memiliki rem tangan, jadi aku benar-benar harus mengandalkan rem kaki dan kemampuan menyetirku.Mobil berdecit keras. Suaranya pasti terdengar sampai di mall sana.Kecepatan dan daya dorong mobil tesla yang berusaha kukurangi dengan tiga kali rem menciptakan gerakan pendulum. Laju mobil ditambah oleh gaya tarik gravitasi, dilawan oleh rem secara cepat mengakibatkan gaya balik di dalam mobil.Aku dan Doni akan terlempar keluar seandainya tidak mengenakan sabuk pengaman. Untunglah kami mengenakan seat belt. Tubuh kami hanya terdorong ke depan secara mendadak, kemudian terpantul kembali setelah mobil berhenti total. Hanya berjarak sejengkal dari mobil Land Cruiser.Ber