“Ah! Sial! Otakku tidak bisa lagi berpikir,” teriak Eren. Ia menutup wajahnya menggunakan buku tebal yang baru saja selesai ia baca dan memahami isinya.
Oscar tersenyum. Ia mendekat sembari membawa setumpuk buku lagi. Sedangkan di sana ada Eren dan Zavier yang sedang kelelahan setelah membaca dan belajar satu bulan penuh tanpa ada waktu untuk istirahat.
“Nona, masih ada enam buku lagi yang haru Nona hafalkan sebelum jam makan siang selesai,” ucap Oscar.
“Sayang!” Eren memeluk Zavier yang memiliki kondisi sama dengannya. Zavier bahkan seperti patung yang tidak memiliki kehidupan. “Ayo kita kabur kencan,” bisik Eren.
“Aku rasa, sebentar lagi aku mati,” gumam Zavier. “Aku tidak sanggup bernapas
"Kak!" Zaila yang sedang menatap buku-buku di rak akhirnya menoleh. "Rai! Ada apa?" tanya Zaila."Apa kau baik-baik saja menunggunya selama ini?" tanya Rai. Saat ini, SMA HG yang dulu semakin tentram dan normal. Semakin normal, Rai semakin waspada. Apalagi, ia harus terus berada di SMA tersebut sampai mendapatkan perintah resmi dari keluarganya."Memangnya, kenapa aku harus tidak baik-baik saja?" tanya Zaila. Senyumnya menyimpan sejuta rindu yang tidak bisa ia ungkapkan hanya dengan ukiran kata. Zaila masih tetap pada posisinya sebagai penjaga perpustakaan. Selama ini, mereka berdua juga berlatih keras di malam hari dan pada siang hari, beraktifitas seperti biasa supaya pergerakannya tidak diketahui oleh orang lain. Kejahatan tentang pembunuhan Meysha, hanya setengah peristiwa yang terkuak. Sedangkan sel
Zaila menggunakan pakaian yang sedikit asing bagi Rai. Rai sendiri menggunakan pakaian serba hitam dari atas sampai bawah."Kak, baju apa yang kau pakai?" tanya Rai."Katanya, kau seetuju dengan apa yang akan aku putuskan? Aku sudah memilih untuk jalan yang akan aku ambil," jawab Zaila."Apa hubungannya dengan pakaian yang kau kenakan?" Rai mengerutkan keningnya."Kau akan tahu nanti." Rai sudah tahu jauh sebelum Zaila mencurigai Leon yang tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Namun, Jordan menemui Zaila berulang kali memberikan Zaila sebuah penawaran. Mungkin saja, kali ini Zaila menerima penawaran tersebut karena ia sudah mendapatkan perintah resmi untuk bergerak."Rai, kau datang sebagai tamu, sedangkan aku…""Tidak perlu kau jelaskan. Kak, aku memahami posisimu."** &nbs
Renza tidak lagi memikirkan siapa dealer tersebut. Ia cukup dengan sebuah sapaan yang menurutnya hanyalah lelucon. Renza terkekang saat ia harus berpura-pura, tapi ia bebas melakukan apa saja ketika di luar SMA HG. Perbandingan yang cukup memuaskan baginya."Hai, Nona!" sapa Renza. Ia masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya. Ekspresi Raina yang ketika itu sangat manis, kini berubah masam. Renza mengernyitkan keningnya. Apa ada yang terjadi dengan Raina saat ia sedang bicara dengan seorang dealer? Pikir Renza."Apa ada yang sedang Nona Raina pikirkan?" tanya Renza."Heuh!" Raine menyumbingkan bibirnya. "Aku pikir kau berbeda, tapi rupanya sama saja," ucap Raina."Hm? Apa maksud, Nona?" Renza menatap polos. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang Raina pikirkan tentangnya."Berapa pria gila itu membayarmu?" tanya Raina. Ia yang acuh, kemudian menoleh. "Padahal aku tertarik padamu, tapi kau bekerja kotor dem
Renza tidak bisa mengatakan TIDAK. Tangan Renza meraih kepala Raina. Bibirnya menempel di atas bibir Raina. Saling berpagutan beberapa saat dengan sentuhan lembut yang enggan untuk dilepaskan. Mereka berdua mengikuti gairah yang menggebu. Tidak ada hubungan khusus, tidak ada perasaan yang mengikat. Tugas Renza berakhir pada ranjang yang sama, ranjang yang bergetar dan ranjang yang terasa sangat hangat. Raina juga tidak memiliki kuasa untuk menahan diri ketika Renza menarik nafsunya.“Ciumanmu cukup buruk,” ujar Raina. Wajah Renza memerah. Mau bagaimanapun, Renza tidak memiliki pengalaman apapun dengan seorang wanita. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya melindungi kel
Renza melakukan apa saja yang Raina perintahkan. Menuruti semua yang Raina inginkan. Misi untung menarik Raina dari arena judi, berganti menjadi misi untuk memuaskan birahi. Mereka berdua memejamkan mata. Menikmati setiap sentuhan-sentuhan lembutnya. Bibir mereka saling berpadu. Memberikan cinta dan juga memperpanas suasana. Tenggorkan rasanya kering. Ciuman saja tidak cukup untuk melegakan dahaga. Raina melepaskan ikatan tangan Renza. Mereka berdua sangat intim tanpa mematikan lampu. Di bawah sinar rembulan, terang benerang, menampakkan tubuh yang menggelincang bebas. Raina merangkul Renza. Ia masih tetap pada posisinya, duduk di atas pangkuan Renza. Renza tidak melepaskan pagutan bibir
Dealer yang bicara dengan Renza, masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ada beberapa dealer handal lainnya. Ruangan tersebut cukup gelap. Tidak ada yang tahu diantara mereka ada wanita atau tidak. Semua bersuara dan berdandan seperti seorang pria."Seseorang sedang menargetkanmu. Wajahnya tidak asing, tapi aku tidak ingat karena hanya melihatnya dari belakang," ujar Han."Hm … Bukan urusanmu," jawabnya."Mr. R, kenapa harus bicara sangat acuh?" tanya Han."Aku benci kau menyebutku seperti itu." Han tersenyum pahit. Ia merangkul pundak dealer yang ia sebut dengan nama Mr. R. Di antara mereka semua, hanya Han yang tahu sosok seperti apa dia."Aku heran, banyak dealer yang lebih hebat darimu tapi kenapa kau yang banyak sekali diincar para tamu?" tanya Han."Berisik! Bisakah kau berhenti mengunyah di samping terlingaku?""Kau tidak mau makan dengank
Jordan menyusuri sebuah jalan yang cukup jauh dari Jalan utama. Ia mencari seseorang yang menghilang beberapa hari bahkan tidak menerima panggilan darinya. Pencariannya terus berlanjut hingga tempat terakhir menjadi tujuannya."Akhirnya saya menemukan Anda, Tuan Rael!" Rael hanya diam mendengarkan ocehan dari Jordan. Ia menggunakan identitasnya sebagai Rael bukan untuk menutupi kegelisahan yang saat ini. Akan tetapi, ia sedang berusaha untuk menjadi dirinya sendiri."Apa yang sedang kau lakukan disini Jordan?" tanya Rael. "Bukankah kau memiliki tugas penting kali ini?" imbuhnya. Jordan duduk di samping Rael. Ia menatap ke atas seperti yang Rael lakukan. Meski Rael buta sejak ia dilahirkan, tapi ia bisa melakukan semua hal yang dilakukan oleh orang normal."Apa yang jauh lebih penting dibandingkan dengan menemukan Anda, Tuan?" tanya Jordan."Entahlah. Aku bahkan tidak tahu apa yang
Delice duduk di atas atap. Ia memperhatikan sekitar dengan santai. Semua tempat tersapu oleh matanya. Bersih tanpa sisa."Apa yang mau kau lakukan? Kau mengatakan kalau ini urusan anak-anak. Tapi, untuk apa kau sekarang ada di sini?""Hei, Loid!" Delice menengadah ke atas karena Loid berdiri di sampingnya. "Anak-anakku terperangkap. Mana mungkin aku diam saja?" sambungnya."Untuk apa kau memintaku untuk menemanimu? Mereka bukan anak-anakku," kata Loid."Kau ingin aku pukul sampai kepalaku terlempar?" pekik Delice. "Calon besan sialan!" gerutu Delice."Aku hanya bercanda," kata Loid."Dev sudah mengawasi luar daerah. Diego juga mulai bergerak. Setidaknya, kekacauan terjadi hanya di New York," ujar Delice."Meski begitu, cukup melelahkan juga." Mereka mengawasi dari dekat sejak dua jam yang lalu. Selain hilir mudik tamu yang masuk ke dalam casino, tidak ada lagi hal menarik lainnya.