“Katakan padaku apa syaratnya,” tegas Vian. Ia tak bisa lagi menahan diri karena ini menyangkut banyak hal. Termasuk kebahagiaan Farrin di dalamnya.
“Aku akan menyetujuinya jika kau sudah menjadikan aku sebagai istrimu.”
“Apa?!” Vian tersentak kaget saat ia mendengar syarat yang Lena ajukan untuknya. Syarat yang sebenarnya cukup mudah, tetapi sulit di saat yang bersamaan. Mudah karena ia hanya perlu datang ke kantor cacatan sipil atau pendeta, dan sulit karena ia tak berniat untuk mengkhianati Farrin.
“Hanya itu saja, Vi. Aku tak meminta apa pun. Begitu hubungan kita resmi, tak ada apa pun lagi untuk semuanya dan aku akan menyetujui yang sudah kujanjikan. Kau bisa memegang ucapanku. Aku juga berani mengundang pengacara untuk menyimpan perjanjian kita.”
“Tapi, Len. Aku hanya akan menikahimu jika kau hamil. Bagaimana jika tidak?”
Ada keraguan saat Vian mengatakan hal itu. Bagaimanapun juga,
“Jika boleh memilih, aku ingin menjadi satu-satunya orang yang ada di hati dan sisimu, Vi,” ujar Lena. Ia memandang pemandangan kota dari balik kaca yang ada di kamarnya. Melihat kota dari sudut pandang yang lebih tinggi dari biasanya memiliki sebuah keuntungan tersendiri. Kini, ia baru saja menyadari mengapa kamar hotel yang berada di lantai lebih atas memiliki harga yang berbeda dengan yang di bawahnya.Vian sudah tak lagi bersamanya di ruangan ini. Setelah tadi ia menumpahkan tangisnya di pelukan Vian, ia merasa lebih lega. Seolah beban berat yang menghimpitnya saat ini berkurang sedikit demi sedikit. Kehadiran Vian yang kembali ke hidupnya seolah membawa angin segar dalam kepahitan yang ia rasakan.Lena mungkin dipandang iri oleh sebagian orang karena memiliki kehidupan yang sempurna sejak kecil. ia memiliki dua orang tua yang mneyayanginya. Sebagai anak tunggal, tentu kasih sayang mereka hanya berpusat padanya. Tidak ada halangan apa pn meski ia seoran
“Maafkan aku, Fa,” batin Vian. Ia mengoper tuas gear mobil yang ia kendarai agar bisa mendapat kecepatan yang stabil. Setelah bertemu dengan Lena di hotel tadi, ia tak ingin kembali ke kantor. Ia sudah menghubungi Avan dan kakak kembarnya itu menerima alasannya dengan baik. Sepertinya, ia tak memiliki keinginan lain selain mengunjungi Farrin di sekolahnya. Jika melihat jam sekarang, pastilah wanita itu sedang beristirahat atau makan siang.Vian tahu jika beralah. Hanya saja, ia selalu merapal doa semoga kesalahan yang ia buat ini tak meninggalkan hal buruk di masa depan. Farrin yang sudah menjadi cinta pertamanya sejak lama adalah berlian berharga yang tak ingin dilepas begitu saja.Untuk Lena, Vian menyadari secara penuh jika ia adalah seorang pendosa. Ia sadar telah melakukan kesalahan karena tak bisa menjaga hasrat dengan baik. Jika ada hal yang sangat ia inginkan saat ini adalah Lena tak datang untuk memisahkan mereka. Vian mencintai Farrin, itu kenyata
Tidak!Bukankah sebelumnya Farrin sudah setuju untuk berhenti bekerja setelah mereka memiliki anak? Ia harus fokus pada perkembangan sang anak dan merelakan karir yang sudah ia miliki untuk sebuah hal yang tak bisa dibeli dengan uang. Farrin menyadari, jika semandiri apa pun ia, tetap akan membutuhkan seorang pria untuk bersandar.Mungkin beberapa waktu itu tak akan lama lagi, tetapi tak ada salahnya, kan, untuk menikmati hasil kerja kerasnya saat ini? Setelah ini ia berjanji, untuk bergantung sewajarnya pada sang suami. Mungkin saat itulah ia akan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.“Ah, mimpi yang indah,” batin Farrin. Ia tersenyum sendiri saat membayangkan akan datang masa di mana ia akan sibuk dengan tingkah menggemaskan anak kecil di antara mereka. Laki-laki atau perempuan tak akan menjadi masalah baginya. Yang terpenting adalah ia yang menjadi seorang ibu.“Sedang memikirkan apa?”Lamunan Farrin buyar saat ia mendenga
“Silakan menunya. Ingin pesan apa?” tanya pelayan saat mengantarkan makanan untuk mereka dan memutus pembicaraan antar keduanya. Suasana cafe sedang tak begitu ramai, jadi mereka bisa memilih tempat duduk dengan leluasa. Karena mereka berencana untuk makan sambil berbincang, maka mereka memilih tempat duduk dekat jendela. Bagi Vian, tempat di dekat jendela adalah tempat sempurna untuk berbincang.“Salad sayur, dengan air jeruk hangat,” ujar Farrin dan membuahkan kernyitan di dahi Vian. Di siang terik seperti ini, istrinya memesan minuman hangat?“Berat badanku naik dua kilo. Dan aku butuh penyeimbang untuk menurunkannya,” lanjut Farrin. Ia memang sengaja memilih makanan dan minuman yang tak mengandung banyak lemak untuk menjaga berat badannya agar tetap seimbang. Padahal menurut pandangan Vian, jika Farrin menambah berat dua kilo pun tak akan menjadi masalah. Farrin akan tetap cantik dan menarik di matanya.“Aku pesan ay
“Setelah ini kau akan ke mana?” tanya Vian begitu mereka menyelesaikan makan siang. Meski banyak pekerjaan di kantor yang menunggu untuk ia kerjakan, ia sama sekali tak ingin kembali. Persetan dengan amukan Avan dan Rizuki yang akan menyudutkannya. Ia ingin menenangkan diri untuk saat ini. Bagaimanapun juga, bertemu dan berbincang dengan Lena cukup membuatnya berpikir berat.Bagaimana jika sebulan dari sekarang Lena dinyatakan hamil? Bagaimana dengan Farrin, orang yang sejak dulu ia inginkan dan kini sudah berada di sampingnya? Sebagai seorang pria, ia harus mmiliki komitmen yang baik. Namun, kini ia sendiri yang menodai komitmen dan melukai istrinya secara diam-diam.Andai saja, sejak awal ia tak bermain-main atau keburu nafsu, mungkin tidak akan berada di dalam kondisi seperti ini.“Seperti biasa, kembali ke kelas. Meski bukan jadwalku untuk menjaga atau mengajar les, tapi aku harus berada di sana untuk kmengecek pekerjaan rumah anak-anak,&rd
Sudah sebulan lebih dari hari di mana Vian menjemput Farrin di tempat kerjanya untuk makan siang bersama. Itu berarti, Vian harus melaksanakan janjinya untuk mengajak Lena ke dokter untuk memeriksakan dirinya. Entah apa hasilnya nanti, Vian harus bersiap.Setelah mereka makan siang saat itu, tiada lagi makan siang bersama setelahnya. Vian benar-benar disibukkan dengan pekerjaannya, begitu pun dengan Avan dan Rizuki. Selama mengerjakan tugasnya, Vian sama sekali tidak merasakan ada diskriminasi dari dua orang yang menjadi atasannya itu. Selaku orang dengan tiga jabatan tertinggi di kantor, Vian merasa cukup adil karena mereka biasa pulang bersama.Hanya Farrin yang merasa kesepian dan mnjadi dampak dari pekerjaan gila mereka. Gila karena mereka terlihat mengebut untuk mencapai hal yang harus diselesaikan secepat mungkin. Jika dilihat secara sekilas mungkin tak akan ada perubahan, tetapi jika ditelisik, keadaan mereka bertiga cukup miris. Avan dan Vian terlihat lebih ber
Vian dan Lena terdiam saja mendengar perkataan sang dokter. Hubungan mereka memang tak sedekat itu untuk membuat panggilan mesra seperti pasangan lainnya. Juga, mereka memang sengaja tidak melakukan pemeriksaan dini dengan menggunakan alat instan seperti itu karena kesepakatan mereka di awal. Bagaimanapun juga, Vian ingin mengetahui hasilnya langsung.“Hm, baiklah. Sepertinya kalian akan merayakan sesuatu setelah ini,” ujar sang dokter. Tangannya bergera untuk mencari posisi yang pas dan matanya sesekali melirik ke layar monitor.“Selamat! Kurang dari sembilan bulan lagi kalian akan menggendong buah hati kalian yang pertama.”Deg!Jantung Vian serasa jatuh dari tempatnya mendengar keputusan dari dokter. Meski sebelum ini ia telah bersiap, tetap saja keputusan itu terdengar berat dan mutlak. Meski dokter tak mengatakannya secara langsung, ia tahu apa yang dimaksud.“Kapan terakhir kali si ibu mengalami menstruasi?&rdquo
"Aku tak menyangka jika akan berakhir seperti ini, Vi," bisik Farrin. Air matanya menetes saat ia menundukkan wajah. Kini, bangku taman rumah sakit menjadi saksi bahwa sang suami memiliki wanita lain di hidupnya.Berawal dari ia yang bermaksud memeriksakan diri ke dokter kandungan, dan mendapati Vian keluar dari ruangan itu dengan menggandeng seorang wanita dengan wajah berseri. Meski sang suami tidak menunjukkan tanda-tanda bahagia, ia tetap tak bisa menghilangkan prasangka buruk di hatinya.Tak ingin menuduh tanpa bukti, Farrin membututi mereka hingga ke apotek. Jaraknya cukup dekat, hingga Farrin bisa mendengar wanita itu menyebut Vian sebagai ayah dari bayi yang ia kandung. Jika sudah begitu, bisakah ia tak berpikiran buruk? Jika bukti sudah di depan mata, bagaimana ia tak berpikiran buruk?Belum dua bulan usia pernikahan mereka, Farrin harus merasakan pengkhianatan secepat ini. Sebelumnya Vian memang mengatakan jika ia menginginkan anak kecil, tetapi bukan
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua