Begitu Avan meninggalkan meja makan, Rizuki menyusul karena khawatir pada emosi Avan yang terkadang masih labil. Ia khawatir karena mungkin, Avan akan bertindak nekad.
“Van, chottomatte (tunggu sebentar)!” pekiknya. Jika dengan Avan, ia sering mengatakan kosa kata Jepang yang sederhana karena pemuda itu sedikit memahami bahasanya. Selain pada Avan, Rizuki tak pernah memakainya. Bahkan pada Nazilla sekali pun.
“Nande(apa)?!” Avan menghentikan langkahnya karena ia merasa jika itu harus. Bahkan ketika ia sudah membuka pintu mobil yang sudah terparkir rapi. Ingin sekali rasanya ia meninggalkan wanita yang sudah menjadi sekretarisnya selama beberapa tahun itu. Namun, ia menyadari jika sosok Rizuki yang ia butuhkan untuk saat ini di kala hatinya sedang risau.
“Aku ikut.”
“Aku tak akan ke kantor untuk hari ini.”
“Tak masalah. Aku hanya perlu mampir sebentar lalu kita urus sesuatu bersama. Dengan begitu
bagi gems, yuks
“Baik-baik di sekolah, aku pergi bekerja dulu.”Farrin mengangguk kecil saat mendapati suaminya pamit dan langsung memutar kemudi bulat itu untuk membelah jalanan. Vian sudah berpamitan dengan manis dan mengecup kening juga pipinya sebelum ia keluar dari mobil. Sebenarnya Vian meminta ciuman di bibir, tetapi Farin masih merasa belm benar-benar siap untuk itu. Jadi, Vian hanya meminta kening dan pipi saja. Katanya, untuk menambah semangat dalam bekerja.“Ah, aku seperti remaja yang tengah kasmaran saja sekarang,” lirih Farrin sambil menatap kepergian mobil Vian yang mulai menjauhi area sekolah tempatnya mengajar. Sekolah ang mungkin dalam beberapa bulan lagi ia tinggalkan karena menurut pembicaraan mereka semalam dan tadi pagi, ia akan berhenti jika mereka akan memiliki anak. Mereka sudah melangkah lebih jauh dalam semalam, dan menunda memiliki anak sama sekali tidak ada dalam kesepakatan mereka. Hal yang awalnya ia pikir akan butuh lama untuk me
“Apakah memang benar Vian tak akan pulang malam ini?” tanya Farrin di kamarnya. Tak akan ada yang akan menjawabnya karena ia tengah sendiri. Malam yang belum terlalu larut membuat matanya enggan terpejam. Ditambah sosok sang suami yang belum menunjukkan eksistensi maupun kabar akan kepulangannya. Sedari tadi, ia sudah menghubungi Vian via telpon atau pesan teks. Namun, semua nihil. Suara operator mengatakan jika ponsel suaminya tengah tak bisa dihubungi. Entah karena terkendala sinyal, atau kehabisan daya baterai. Sebelum ini, ia belum pernah mendapati Vian seperti ini.Kecemasan seperti bukanlah tanpa alasan meski sebelumnya Avan dan Rizuki sudah mengatakan bahwa suaminya tak akan pulang malam ini. Hatinya terasa gundah, seolah ada sesuatu yang tengah mengganggu dan membuatnya resah. Andai Vian bisa dihubungi barang sejenak saja untuk mengetahui kabarnya, ia tak akan secemas ini. Selama yang ia tahu, Vian bukan orang yang akan melalaikan hal kecil seperti mengaba
Mungkin, malam ini adalah malam keberuntungan Avan setelah seharian ia pusing karena banyak hal yang harus ia urus di perusahaan. Avan mendapatkannya, hal yang pernah ia impikan dan kini terjadi di depan mata dan dirasakan dengan nyata. Malam ini, Farrin tidur dalam dekapannya. Ia berharap semoga Vian tak pulang terlebih dahulu sebelum ia pergi esok pagi. Atau, tak pulang sekalian juga ia rela.Karena otaknya dipenuhi rasa bahagia, kantuk tak juga datang pada matanya. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Entah bagaimana rasa bahagia itu seperti menghalangi matanya untuk terpejam. Tapi, tak apalah. Ia tak akan melewatkan setiap detik berharga yang ia lewati dengan Farrin dalam dekapannya dan tertidur lelap. Tak ada hal lain yang terjadi selain makan malam berdua dan Farrin yang meminta untuk ditemani hingga tertidur. Tanpa sadar, Farrin telah mengungkapkan jika hatinya masih menerima Avan.Sejak datang tadi, Avan memang dalam keadaan yang lumayan buruk. I
“Vi, ada apa dengan dirimu?”Farrin kaget begitu mendapati Vian yang datang dengan darah mengering di pelipis dan baju yang lecek di sana-sini. Berbeda saat kemarin ia berangkat, baju mulus tanda setrika yang rapi begitu melekat di badan tegapnya.Tak dipungkiri, Farrin merasa cemas begitu melihat keadaan Vian. Meski semalam ia sudah merasa sedikit lebih baik saat Avan memeluknya hingga terlelap dan sampai pagi datang. Ah, mengingat Avan, untung saja pria itu pulang lebih cepat. Akan sangat bahaya jika Vian datang dan mendapati Avan berada di kediaman mereka hanya berdua saja.“Aku mengalami suatu insiden saat bekerja,” jawab Vian. Begitu ia masuk, ia langsung merebahkan diri di sofa empuknya. Tubuh yang terlihat lelah dengan wajah yang sedikit pucat itu begitu menggangu Farrin. Sebenarnya Farrin akan menawari Vian sarapan, tetapi ia urungkan begitu melihat keadaan Vian. Wanita itu tahu, belum saatnya ia menawari makanan padanya karena ad
Setelah menutup perbincangan mereka lewat panggilan suara, Vian mandi dan sarapan dengan segera. Tak ia hiraukan rasa kantuk yang sudah menyerang sejak tadi. Hanya menyelesaikan masala dengan segeralah ia bisa tenang dan tidur dengan nyenyak. Untuk saat ini, kantor dan Avan adalah tujuan mendesak yang harus segera ditemui.Kenyataannya, hati yang tak tenang bukan suatu hal yang baik untuk Vian. Ia melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata hingga sesekali menyalip kendaraan lain dan mendapatkan umpatan karenanya. Untung saja tak ada kecelakaan atau kejadian kecil. Jika sampai terjadi, entah bagaimana lagi nasibnya. Mungkin paling baik adalah menerima tuntutan di kantor polisi karena mencelakai orang. Dan kemungkinan paling buruk, kecelakaan dan gegar otak.Vian yakin, kemungkinan kedua terdengar lebih menyenangkan karena potensi untuk amnesia lebih besar. Ia ingin melupakan kejadian kemarin, dan tak ingin mengingatnya sama sekali. Itu pun jika ia tak kehilangan
“Vi, kau datang?” mata Lena berbinar saat telah menemukan Vian dalam jangkauan penglihatannya. Jika dulu ia hanya bisa bermimpi lebih dekat dengan Vian, maka kini tidak lagi. Ia bisa bertemu dengannya sesuka hatinya. Tentu saja, hal ini karena sedikit campur tangan Avan di dalamnya.“Aku tidak bisa mengabaikan rekan bisnis saat mengadakan kerja sama.”Tak ada yang salah dari Vian. Nada bicaranya masihlah dingin seperti dulu saat Lena mengejar-ngejarnya. Hanya saja, ada setitik rasa bersalah yang Vian rasakan untuk Lena dan Farrin. Dua orang ini, sama-sama wanita dari masa lalunya. Satu yang mengejar dirinya, satu yang ia kejar. Tapi hanya mengejar sebatas angan, bukan secara langsung dan nyata. Kini, begitu keduanya berada di dekatnya, ia bingung harus memilih.“Tidakkah kita bisa melakukan hal lebih dari rekan bisnis saja? Perlukah aku mengingatkanmu tentang kemarin malam?”“Kau tidak bisa mengekangku seperti ini
“A-a, aku tidak menyangka jika hal ini menjadi sejauh itu,” kilah Vian. Ia tersenyum kecut dan mengakui jika tidak membaca proposal sebelumnya dan hanya mengandalkan asumsi. Alhasil, kini ia tengah dipermalukan kliennya sendiri. Ah, tidak. Tak hanya klien tapi juga wanita dari masa lalunya.“Ya ampun! Aku tidak menyangka jika aku pernah menyukai lelaki bodoh sepertimu ini, Vi.”Lena menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Sama sekali tidak menyangka jika pria yang dulu menjadi idola karena sikap dingin dan kepintarannya kini bahkan tak bisa menangkap maksud dari proyek besar yang dijalankan perusahaan. Jika begini, ia ragu bagaimana nanti Vian mengambil alih dari tangan kakaknya yang licik.Jika boleh jujur, Lena memang masih menyimpan rasa untuk Vian. Sejak awal, ia memang menolak proyek besar yang akan melibatkan lahan warisan keluarganya ini. Sudah banyak perwakilan perusahaan yang Avan pimpin datang. Mulai dari menawarkan keuntun
“Jangan menghindariku seperti itu, Sialan! Aku butuh pelampiasan!”“He-hei. Kau tidak bisa melakukan hal ini padaku!”“Aku bisa, dan aku tak akan segan padamu!”Lena ingin terus menyerang, tetapi sayangnya Vian lebih gesit darinya dan menghindari secapat yang ia bisa. Namun, meski begitu tetap saja Vian telah menerima beberapa lebam di mukanya.“Hentikan, Len! Kau tidak tahu betapa fatal apa yang kau lakukan ini?!” bentak Vian. Ia geram karena Lena sama sekali tidak mendengarnya dan semakin liar saja. Rumah yang luas untuknya begitu terasa sempit saat ia hanya bisa menghindar di tempat itu-itu saja. Tak jarang, ada beberapa hiasan yang jatuh saat ia tak sengaja menyenggolnya. Jika nanti kerusakan ini di total, mungkin gaji sebulan setelah kenaikan pangkat tak akan bersisa lagi.Vian hanya tak tahu bagaimana cara menghadapi Lena yang sekarang. Jika dulu, saat mereka masih dalam romansa tujuh belasan ha
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua