Part 44
“Aku berusaha keras bekerja di kantor dan menangani Mama yang mengamuk, lalu kau seenaknya mengubah tatanan rumahku dan menggoda istriku. Di mana otakmu, Van!” bentak Vian. Ia sudah tak bisa lagi membendung amarahnya saat melihat Avan yang dengan seenaknya tengah berbaring di ruang keluarga sambil menonton film kesukaanya. Rasa lelah setelah seharian bekerja dan mendapat pelototan tajam serta amarah ibunya semakin memuncak melihat si pelaku yag kini sedang menikmati waktu santai.
Seolah tidak ada hal besar yang telah ia perbuat karena kepergiannya yang seenaknya sendiri itu.
“Vi, kau hanya menangani Mama dan berkas sepele itu. tak usah dibesar-besarkan.”
Mungkin bagi Avan berkas yang Vian kerjakan adalah berkas sepele yang bisa selesai dalam waktu beberapa jam, tidak seharian penuh seperti Vian. Namun,tetap saja untuk Vian yang baru pertama kali menangani sebegitu banyaknya, hal itu merupakan hal besar. Ia menyadari jika di
makin mbulet, ya? yuks bagi gems kalian untuk cerita mbulet ini.
Part 45“Sudah selesai?” suara Farirn mengagetkan lamunan Avan dan membuatnya hampir terjungkal di kursinya. Melihat hal itu, sontak Vian hanya bisa menahan tawanya saja. Ia bersyukur karena ia tidak sedang dalam kondisi memakan sesuatu. Karena jika itu terjadi, ia pasti akan tersendak.“Yah. Kau tak ingin mandi?” tanya Vian. Pertanyaan sepele yang sebenarnya bisa Vian tebak dari keadaan Farrin yang telah rapi itu. Namun, untuk sekedar basa-basi, tak apa ia melakukan hal itu. Terlihat bodoh di depan sang istri tak apa, bukan? Setidaknya lebih baik daripada tak ada yang bisa bicarakan sama sekali.“Aku sudah mandi. Biar Avan yang harus mandi sebelum makan malam kita mulai. Van, pergilah mandi!” perintah Farrin. Avan hanya bisa menurut saja karena aura Farrin saat mengintimidasi bukanlah hal baik untuk dinikmati terlalu lama.“Baju gantiku?” tanya Avan. Ia berharap Farrin akan mengantarnya dan menunjukkan baju
46“Sebenarnya, aku ke sini ingin mengajak kalian untuk bersama pulang ke kediaman Mama setelah makan malam,” ujar Avan.“Tapi kita sudah akan makan malam, Van,” balas Farrin. Tak enak rasanya jika mengabaikan makanan yang telah terhidang di meja. Apa lagi membuangnya. Untuk makan terlebih dahulu lalu ke rumah mertuanya, pasti membuat Farrin begah. Ia tak terbiasa makan malam terlalu banyak. Tak makan di sana pun, pasti membuat mertuanya kecewa.“Kita bisa makan. Nanti di sana hanya akan memakan kudapan ringan. Tenang saja, Fa. Mama sudah kuberitahu jika aku makan malam bersama kalian saat ini. Jadi, beliau hanya akan menyiapkan hal kecil saja nanti.”Vian dan Farrin merasa tak enak karena seolah menolak ajakan ibu mereka. Andai Avan mengatakannya lebih awal, pasti Farrin akan lebih memilih untuk tidak masak di sini dan membantu mertuanya saja di kediaman utama. Dalam hati, Vian merutuki ibunya yang tak mengatakan hal i
“Aku pergi. Percuma aku berada di sini dan beradu mulut dengan pria keras kepala sepertimu,” ujar Avan.Ia geram dengan reaksi adiknya yang seolah hanya dia yang menderita di dunia ini. Padahal, ia juga telah banyak berkorban untuk adiknya. Ia rela menghabiskan masa kecilnya dengan begitu bnyak tumpukan dan berada di bawah bimbingan banyak orang sebagai tutor. Tak luapa kepribadian keras ayahnya sebagai bayangan yang tak akan ia lupakan. Setelah semua hal itu, Vian masih merasa jika ia tak disayangi? Hell! Mungkin setelah ini harus bertindak jauh agar adiknya itu tak semakin tak tahu diri.“Aku tak menyangka jika kau akan memutuskan untuk menyerah kepada adikmu.” Avan tak terkejut begitu mendapati eksistensi wanita yang beberapa tahun ini ada di dekatnya dan banyak memberi pelajaran tentang hidup. Meski caranya kebanyakan ekstrem, sih,“Begitulah. Aku tidah menyerah, ya! Aku hanya diam sejenak untuk mengulur waktu dan menyerang di s
Begitu Avan pergi dengan emosi yang menguasainya, Farrin mengembuskan napas lega karena bisa keluar dari suasana yang mencekam. Percayalah, berada di antara dua orang kakak beradik yang tengah bersitegang itu bukan sesuatu yang bagus. Apa lagi keduanya punya aura yang sama-sama sanggup membuatnya tertekan. “Avan mungkin benar, Vi. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anak-anak mereka,” ujar Farrin berharap bisa menenangkan Vian yang masih diselimuti emosi. Ia berkata dengan hati-hati karena tak ingin membuat Vian kembali mengamuk. Sudah cukup ia mendengarkan perdebatan mereka tadi, jangan sampai berlanjut hanya karena ia yang salah bicara. Sebenarnya, Farrin juga ingin mengatakan hal itu pada dirinya sendiri. Membuat sebuah penghiburan akan kekecewaan yang kedua orang tuanya lakukan padanya. Setelah penjelasan Avan tadi, betapa kedua orang tua mereka menyayangi kedua putranya dengan cara yang berbeda, Farrin akhirnya mengerti. Mungkin hal itu juga yang terjadi p
Part 49“Kalian datang!” pekik Nazilla saat melihat putra kedua dan pasangannya datang. Sebelumnya, Avan telah memberitahukan bahwa Vian tak ingin datang karena suatu hal dan membuatnya murung. Ini hari ulang tahun kedua putranya, dan ia ingin membuat sesuatu yang bisa dijadikan sebagai kenangan.“”Ya, Mama. Vian segera menyelesaikan urusannya dan memaksa untuk datang selarut apa pun itu,” ujar Farrin. Ia ingin memberi kesan yang baik meski sang pasangan tak merespon dan hanya diam sejak tadi. Hanya ucapannya yang mengatakan Avan sudah memberi alasanlah, satu-satunya kalimat yang pria itu ucapkan selama di perjalanan mereka. Untung saja Farrin cukup sabar untuk menghadapi perubahan sifat yang mendadak dari pasangannya itu. Atau mungkin, ini salah satu sifat Vian yang belum ia ketahui?“Syukurlah. Ayo segera bergabung ke ruang keluarga. Mama sudah membuatkan kue kesukaan kalian selama seharian ini. Kalian sudah makan malam, kan
“Omong-omong, kau betah juga, ya, dengan pria kaku seperti suamimu itu?” tanya Rizuki. Dari logat bicaranya, wanita itu sama sekali tak kentara jika kelahiran Jepang. Mungkin, terlalu lama menjadi bagian dari perusahaan Avan membuatnya lancar dengan logat mereka.“Terkadang, kita perlu tantangan agar hidup tidak terlalu monoton,” ujar Farrin. Rizuki paham mengapa Farrin tetap pada prinsipnya. Sejak dahulu, inilah yang ia wanti-wantikan pada Avan. Tentang bagaimana hati wanita itu berubah dan berakhir perpisahan di antara mereka berdua. Sayangnya, Rizuki tidak tahu jika dalam hati Farrin, ia ingin menjodohkannya dengan Avan.Hal yang konyol dan bisa berakibat fatal jika diteruskan.“Kau tahu, Fa, Avan dan Vian sudah kuanggap sebagai adikku sejak dulu. Karena itulah aku bisa akrab di keluarga ini. Bahkan, Mama sampai menganggapku sebagai putri sulung mereka.”Farrin tak mengerti mengapa Rizuki mengatakan hal ini.
“Aku ....”“Maafkan Mama yang lama mengambilkan kue untuk kalian. Mama harus mengeluarkan kue yang masih di panggangan karena Bibi sedang ada urusan yang tak bisa ditinggal,” potong Nazilla. Sebenarnya ia tak ingin memotong perkataan putra keduanya, hanya saja, tangannya terlalu pegal. Untung begitu ia muncul dan mengganggu percakapan anak-anaknya, Farrin langsung mengambil alih apa yang ia bawa.“Maafkan Farrin, Ma. Seharusnya Farrin membantu Mama,” ucapnya.Rizuki acuh saja melihat semua itu. Sudah biasa dan tak ada keinginan untuk membantu. Biasanya memang asisten rumah tangga yang membantu ibu dari si kembar itu.“Tak apa, Fa. Kalian baru datang, sudah pasti lelah dan sepertinya, masih ada hal yang sedang kalian bahas.” Nazilla bersyukur karena mereka mau berkumpul setelah Avan membawa kabar jika Vian tak akan datang. Lelahnya setelah seharian ini terbayar lunas dengan berkumpulny
Wajah Farrin berseri sejak ia turun untuk sarapan bersama. Entah apa yang telah terjadi semalam hingga ia mendapat raut wajah seperti itu. Avan yang menatapnya merasakan hal yang tak nyaman. Banyak perkiraan yang muncul di otaknya, tetapi ia tak mungkin mengungkapkannya secara langsung.Sedangkan Vian, ia juga tak kalah bersri dari Farrin. Keduanya seolah baru menemukan hal baru di hidup mereka dan menjadi sepasang insan yang tengah merasakan cinta. Sayangnya, Avan hanya memusatkan pandangannya pada Vian saja, bukan keduanya. Berbeda dengan Rizuki yang tidak fokus pada satu orang saja dan mengamati ekspresi semua tanpa terkecuali.“Aku seperti tengah berada di rona merah jambu,” ucap Rizuki. Nazilla tersenyum mendengarnya karena ia tahu apa yang tengah Rizuki maksudkan. Dua orang yang dia maksudkan, hanya tetap pada senyuman. Dan Avan yang beralih menatapnya dengan sinis. “Van, kau tidak bermaksud mencari gara-gara denganku, kan?” ta
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua