Setelah makanan mereka tandas, Farrin bergegas untuk bersiap dan Vian yang membereskan sisa makan mereka sesuai pembicaraan sebelum tidur tadi malam. Memang cukup melelahkan juga. Dari sisi Vian, ia belum terbiasa dengan aktivitas pagi seperti ini. Biasanya, jika ia bermalam di rumah utama, setiap pagi ia hanya perlu bersiap dan sarapan selalu terhidang di meja tanpa ia repot terlebih dahulu, atau merapikan setelahnya. Asisten rumah tangga di sana cukup handal untuk menangani masalah itu.
Jika di apartmen pun, Vian akan memilih sarapan dengan mie instans yang mudah memasak, atau membeli saja di luar. Kulkasnya hanya akan terisi bahan sederhana untuk pelengkap mie, atau, makanan yang penyajiannya tidak terlalu rumit. Saat Farrin berkunjung dulu, untung ia sedang dalam keadaan menyetok bahan makanan.
Setelah mereka menikah, Farrin mengajaknya untuk membagi pekerjaan rumah. Tidak masalah untuknya, karena baginya, hal itu juga bisa melatihnya untuk menjadi calon ayah yan
“Ma, Mama tak pulang dan mengurus kebun bunga milik Mama?” tanya Vian. Omong-omong, ia jengah karena sejak ia datang, ibunya itu duduk di kursi yang tak jauh dari meja kerja Vian dan mengawasinya.“Mama hanya ingin membantumu. Mama sudah mendengar jika Rizuki belum pulang dari cutinya dan kemungkinan masuk masik lusa. Jadi, sebagai ibu yang baik, Mama akan duduk di sini dan akan membantumu jika kau membutuhkan sesuatu.”Vian tahu, ibunya itu pasti sudah diminta Avan untuk melakukan hal ini.“Aku tahu, Ma. Tapi, apakah Mama tidak lelah karena menunggui Vian? Aku sudah cukup mengerti dengan yangtadi mama jelaskan tentang pekerjaannku. Jadwal Avan sudah terurus dan aku hanya tinggal memeriksa dokumen ini sebelum menyerahkannya pada Avan. Lagi pula, jika melihat jadwal, jadwal Avan tidak terlalu sibuk untuk beberapa hari ke depan.”Bukan maksud Vian mengusir ibunya, tetapi, ia memikirkan kesehatan ibunya yang bisa saja saki
Selama ini, Avan selalu mencoba menguak asal usul Farrin. Bukan dari segi keluarganya yang sudah jelas-jelas merupakan teman dekat ayah dan ibunya, tetapi, lebih ke masa tumbuh wanita itu. Farrin mungkin memiliki sifat keras kepala sang ibu yang menurun padanya –seperti yang ibunya katakan padanya--- atau ia rasakan sendiri selama mereka menjalin hubungan. Farrin, mampu bertahan di sisinya karena sifat kepala itu. Namun, ia juga tak memungkiri jika ia kesulitan saat ini juga karena sifat itu. Akan lebih mudah bagi Avan jika sifat Farrin lebih lunak. Ia bisa merayu dengan kata manis dan lembut, memberi afeksi lebih dan satu hal yang sulit untuk wanita tolak; belanja. Ia sanggup memberikan salah satu kartu kredit dengan limit besar padanya. Ia juga tak akan segan jika Farrin menghabiskan harinya hanya untuk kesenangan itu. Karena Avan akan dengan senang hari tak akan melarang selama Farrin bahagia dan menjadi miliknya. Sekali lagi, sayang, Farrin kini bukan mil
“Aku tak tahu bagaimana kau menghadapi dua putra Mama, Fa. Selama ini Mama cukup pusing saat mengahadapi keduanya,” ujar Nazilla.Sedangkan Farrin, ia hanya tersenyum menanggapinya. Tak mungkin, kan, ia mengatakan dengan gamblang jika ia juga jengah dengan kelakuan keduanya, terutama pada Avan? Hey! Ia tak mau menyakiti hati seorang ibu karena tingkah putra-putranya.“Fa, kamu jangan sungkan, ya. Anggap Mama ini ibu kamu juga. Kamu anak Mama dan sudah menjadi bagian dari keluarga kami. kamu juga bisa mengadu sama Mama jika salah satu dari si kembar menyakitimu. Entah itu hati atau fisikmu, ya.”Hati Farrin menghangat saat Nazilla mengatakan hal itu. jujur saja, sedari kecil ia tak begitu akrab dengan ibunya. Ibunya seolah menjaga jarak dan enggan mendengar keluh kesah yang ia pendam. Sejak dulu, ibunya hanya mengerti jika ia hanya boleh mendengarkan perkataan ibunya, bukan menceritakan apa yang ia rasakan.“Mama tenang
Mengapa jadi begini? Bukankah sebelum ini Avan telah menyetujui jika Vian menggantikan posisinya sebagai sami Farrin? Ia bahkan rela menyerahkan baju dan tempatnya saat di altar. Mengapa kali ini ia menuntut kembali atas ikatan mereka sebelum ini?“Hentikan, Van. Kita sudah tak bisa melakukan hal ini lagi. Aku sudah bersuami dan kau sudah menjadi adik iparku,” lirih Farrin. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata dan membuat pandangannya membuaram.“Kau memang sudah menjadi kakak iparku. Tapi jangan lupakan, Fa. Aku masih mencintaimu!” tukas Avan. Sisi lain dalam jiwanya memberontak dan mnginginkan Farrin lebih dari biasanya. Entahlah. Telah banyak waktu yang ia lalui bersama Farrin. Telah banyak masa yang mereka lalui bersama, dan banyak pula harapan yang ia impi untuk bersama dengan Farrin.Avan ingat semua yang impikan. Salah satunya adalah masakan Farrin yang menemaninya tiap pagi, senyum menawan yang ia lihat ketika membuka mata, d
“Jadi, kalian sedang bertengkar? Pertengkaran pengantin baru, huh?” tanya Rizuki. Ia merasa heran karena Avan dan Farrin terlihat tidak membuka percakapan sama sekali. “Pertengkaran pengantin baru apanya?!” hardik Avan. Ia tersinggung dengan ucapan Rizuki karena ia sama sekali tak merasakan hal itu. Sedangkan yang dihardik, hanya bisa tersenym tipis. Rizuki mengambil tempat di kursi belakang karena ia tak ingin mengganggu pasangan yang tengah dimabuk cinta dan belum genap seminggu meresmikan status yang sah. Juga, ia lebih leluasa membawa koper yang berukuran sedang itu dan tidak perlu susah payah membuka bagasi. Setidaknya, begitulah pikir Rizuki. Tidak tahu jika keduanya gagal menikah dan yang sebelumnya menjadi calon istri, kini menjadi adik ipar. Sejak awal, tak ada yang mengabari Rizuki bahwa pernikahan mereka berubah haluan. “Ya kalian menggunakan muka masam saat bertemu denganku. Kenapa, Van? Apakah aku mengganggu waktu kencan kalian deng
Setelah mengantar Rizuki ke apartmennya, mereka berdua kembali menapaki jalanan beraspal. Farrin yang tak tahu akan ke mana ia dibawa hanya bisa diam. Menghadapi Avan dalam keadaan seperti ini bisa saja membuat segalanya menjadi semakin runyam. “Rizuki itu pribadi yang menyenangkan, ya?” tanya Farrin. Ia mencoba memberanikan diri membuka percakapan dan memilih topik yang tidak terlalu sensitive. “Tidak! Dia orang yang sangat menyebalkan,” jawab Avan. Selama ini Avan tidak pernah memiliki pandangan yang baik terhadap wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretarisnya itu. “Tapi yang kulihat tidak seperti itu, Van.” “Itu karena kau sejenis dengannya jadi ia memperlakukanmu baik.” “Karena itu, dia baik, ya?” Baiklah, Avan mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Pasti Farrin menyangka jika Rizuki baik dalam artian kepadanya. “Kau itu buta, ya? Tidak lihat dia selalu menindasku?” Farrin tersenyum. Menindas Avan?
Part 42“Fa, kau mau berkata jujur padaku, tidak?” tanya Avan setelah mereka meyelesaikan beberapa wahana permainan. Farrin mengangguk saja. Ia sedikit lelah, tetapi terlihat begitu bahagia karena menikmati waktu yang sangat jarang ia nikmati.“Sejauh mana perasaanmu padaku, Fa? Kumohon, jawablah dengan jujur.”Sejenak Farrin menimbang pertanyaan yang Avan ajukan padanya. Farrin tahu, ia tak dapat menyembunyikan apa pun dari Avan. Semua yang ia sembunyikan bisa saja terkuak dengan mudah oleh perintah otoriter dari Avan.“Aku menyayangimu seperti dulu, Van. Tidak ada yang berubah. Hanya status kita saja yang berubah. Kini aku adalah adik iparmu,” ujar Farrin. Ia tahu jika mengelak akan percuma. Yang bisa ia lakukan hanya mengikuti alur yang dibuat oleh Avan.“Jadi sedari dulu kau tidak pernah mencintaiku? Hanya menyayangiku, begitu?”Farrin terdiam tak menjawab karena sejujurnya, perasaan yang i
Avan memang sudah gila dengan segala pemikirannya.Farrin harus mengakui itu atau ia bisa kehilangan kewarasan karena bujuk rayu Avan. Tak Farrin pungkiri sama sekali jika ia bisa mnrasakan dirinya luluh karena sikap pemuda itu yang lebih baik setelah ia menikah. Jika saja hal ini terjadi beberapa hari sebelum ia menikah, mungkin ia bisa mempertimbangkannya.Kejam sekali.Bagaimana bisa hati yang awalnya begitu keras dengan sebuah pilihan kini bisa melunak dengan sebegini mudahnya?“Van, aku pernah berjanji jika aku hanya menginginkan satu kali pernikahan untuk seumur hidupku. Jadi, mustahil jika kita bersama.”“Bahkan jika aku telah berusaha keras sekali pun?”“Ya!”Jawaban mantap dari Farrin membuat Avan terhenyak di posisinya. Bertahun-tahun menghadapi Farrin dan kekeraskepalaannya sepertinya sama sekali tak membuat Avan mengerti. Ia selalu mengatakan hal yang hampir sama untuk berulang kali. Ber
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua