Sebuah rumah besar bercat putih dengan gaya bangunan klasik yang terkesan sangat kuno. Rumah yang hampir mirip dengan bangunan milik Eyang Uti. Sepertinya keluarga Marsya dulu adalah orang terpandang juga.Depan rumah terdapat pekarangan yang cukup luas dengan beberapa pohon mangga yang tak terlalu tinggi. Pohon hasil cangkokan itu berbuah lebat dan sangat menggiurkan. Di sisi lain juga terdapat sebuah pohon rambutan yang mulai berbuah.Suasana yang sangat asri dan udara nan sejuk menyegarkan mata serta paru-paru. Sejauh mata memandang hanya rerimbunan dedaunan yang bergoyang tertiup angin.Kulirik penanda waktu, tak terasa ternyata sudah hampir jam tiga sore. Itu artinya sebentar lagi aku dan Marsya harus segera kembali sebelum Ashar. Tapi tak mungkin jika aku harus kembali sekarang.Tanpa membuang waktu kuajak Pak Jo dan Meisya untuk segera turun. Kali ini kami memakai masker karena aku tak ingin mereka terkejut saat melihat wajah tampanku dan juga Meisya yang mirip Marsya.Semua re
Percuma juga memaksa, mereka memang tak mau bicara. Sepertinya luka itu terlalu dalam sampai semua orang ingin menutupinya. Bahkan Mbak Dillah saja tidak berani cerita.Tak terasa langit senja telah menaungi waktu. Kulirik arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan. Sebentar lagi akan masuk waktu Maghrib. Sudah sangat terlambat untuk kembali."Sya, kita pulang sekarang, ya?" ajakku."Sebaiknya kalian menginap di sini saja karena sudah hampir Maghrib," saran Pak Purnomo."Memangnya kenapa, Pak?" tanyaku dengan perasaan heran."Kalian di sini tinggal di mana?" Ia malah balik bertanya."Kami tinggal di rumah Eyang Uti, ehm ... maksud saya di rumah Ibunya Arda. Dan Meisya ini anak dari Pak Joyo Diwiryo," tuturku.Wajah keduanya berubah pias. "Jadi, Meisya ini anak dari adiknya Mas Arda?""Iya, Bu."Pak Purnomo dan Bu Astin saling pandang. "Itu artinya Mbak Marsya menitis menjadi Meisya dan tinggal di keluarga Arda, Pak." Bu Astin memegang lengan suaminya dengan tatapan yang tak bis
Jujur hati ini kesal karena semua rencana digagalkan oleh arwah Marsya. Hingga kini aku pun masih belum paham apa maunya hantu usil yang tak jelas itu."Den, bagaimana kalau besok kita tanya tentang makam di area rumah Biyungnya Pak Joyo?" Pak Jo mencoba memberikan ide.Namun, langsung aku patahkan ide itu. "Percuma, Pak Jo. Bapaknya Meisya nggak akan pernah buka rahasia apa pun tentang Arda dan Marsya," ujarku seraya memutar bola mata ke arah Meisya."Iya, maaf." Gadis itu menyahut dengan wajah merasa bersalah."Ngapain minta maaf, Sya? Mau bagaimana pun Pak Joyo dan Eyang Uti sepertinya sudah sepakat dengan keluarga Marsya untuk menutupi semua peristiwa yang terjadi di masa lampau."Kugenggam jemari lentik gadis belia itu, mencoba menghibur agar tak merasa bersalah lagi. Di sini ia pun menjadi korban keadaan, sama sepertiku. "Nanti kita pikirkan lagi rencana kita setelah kembali ke kota. Jangan pernah membahas apa pun saat ada di sini karena dia ada di antara kita."Kembali Pak Jo
Setelah puas mencari informasi tentang lokasi yang sebenarnya menjadi tujuan utamaku, aku mencoba mencari tempat wisata yang ada rumah pohon di kawasan sekitar sini. Tapi entah kenapa mata ini tetiba terasa begitu berat dan alam mimpi pun menyambut.Kurasakan tubuh ini begitu ringan melayang ke sebuah padang rumput dan turun tepat di pinggir telaga. Sebuah telaga yang begitu jernih airnya, warna biru pantulan warna langit.Baru kali ini kulihat sebuah tempat yang begitu sejuk dan menenangkan. Sayup-sayup kudengar sebuah kidung yang dilantunkan dengan begitu indah. Perlahan kulangkahkan kaki mencari sumber suara tersebut.Kucoba memasang indra pendengaran lebih tajam untuk menangkap suara lantunan kidung syahdu itu. Ternyata sumber suara itu berasal dari balik sebuah pohon besar yang terletak tak jauh dari tempat aku berdiri.Bak dihipnotis kuayunkan langkah menuju balik pohon dan kudapati seorang gadis berambut panjang sepinggang sedang memainkan kaki di tepi telaga. Gadis yang sangat
Pagi yang begitu dingin. Embun masih membasahi dedaunan dan rerumputan, bahkan kabut tipis tampak menutupi lereng gunung. Mentari pun belum mengintip, hanya semburat fajar yang mulai mewarnai ufuk timur.Aku sengaja mengajak Pak Jo pulang sepagi mungkin agar bisa kembali ke kota. Tak sanggup rasanya berlama-lama berada di tengah situasi yang membingungkan ini. Apalagi saat memperhatikan tatapan dari keluarga Marsya, entahlah ... tatapan yang begitu sulit kuartikan."Nak Darren, selalu berhati-hatilah. Apa yang kamu hadapi saat ini bukanlah hal yang main-main. Ada yang ingin Marsya tunjukkan ke kamu hingga dia melakukan ini semua," ujar pamannya Marsya sembari menepuk bahuku.Ucapan yang dilontarkan sesaat sebelum aku pergi tadi cukup membuat hati dan pikiranku terus diliputi tanda tanya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Joyo, hanya kalimat itu saja yang terngiang di telinga."Mas Darren," panggil Meisya memecah keheningan yang lebih tepatnya suasana kaku dan mencekam.Bibirku tet
Pak Jo melajukan mobil dengan cukup tergesa, apalagi ketika aku memintanya dengan nada tinggi. Dia semakin gugup, pasalnya tidak mungkin ngebut di jalan desa yang sudah pasti sempit."Duh, Den. Bahaya kalau kita ngebut," ujarnya dengan wajah tertekan karena perintahku."Kita harus segera keluar dari desa sialan ini, Pak Jo!""Iya, Den ... paham. Tapi bisa bahaya kalau ngebut, apalagi banyak anak kecil."Huff!Percuma debat dengan orang paruh baya itu. Apalagi alasannya memang masuk akal, aku saja yang terlalu paranoid dengan kelakuan arwah usil itu.Hah?! Ingatanku seketika ke Marsya. Kutoleh keluar mobil, mencoba memperhatikan sekitar."Pak Jo! Kenapa sejak tadi kita hanya berputar saja? Kita tadi sudah melewati pertigaan desa ini," tuturku dengan penuh keheranan.Pak Jo menepikan mobil, kemudian mencoba turut mengamati sekitar. Tampak dia mengerutkan dahi, aku rasa dia pun mulai bingung."Bener, Den Darren. Kita sudah melewati pertigaan ini dua kali. Apa kita salah jalan?""Ah, ngga
Kejadian hari ini benar-benar membuatku hampir gila. Marsya tidak mengijinkan aku untuk tenang barang sedetik saja. Secara psikis, rasanya depresi itu mulai menyelimuti pikiran. Rasa takut dan kecemasan memenuhi hati dan otak.Malam ini terpaksa menginap sekali lagi di rumah tua. Semua karena rasa iba pada wanita sepuh itu. Wanita renta yang belum siap kehilangan untuk kedua kalinya. Bagaimana pun, ada Arda yang menitis dalam diriku.Entahlah, takdir macam apa yang tengah berlaku pada kehidupan di masa mudaku ini. Siapa yang menyangka, ritual maut yang dilakukan ibuku dulu ... kini berdampak besar bagi kehidupanku sekarang.Mimpi mengerikan sejak usia 10 tahun, kehadiran Meisya--gadis yang selalu hadir dalam mimpi, semua membuatku kehilangan ketenangan hidup. Ditambah adanya Marsya yang dengan sengaja menarikku ke tempat dia dulu tinggal.Malam semakin mencekam, desir angin menembus celah jendela kayu. Rasa dingin membuat bulu kuduk merinding, sayup-sayup suara gamelan itu terdengar l
Hampir dua minggu berlalu setelah para siswa merayakan kelulusan sekolah. Paling tidak, dalam rentang waktu yang lumayan lama dapat kugunakan untuk melepas ketegangan. Walaupun bayangan Marsya masih saja mengikuti, tetapi kebersamaan dengan teman dekat sedikit membuat otak ini tidak terlalu menggubris.Di saat teman lainnya disibukkan dengan kegiatan persiapan memilih perguruan tinggi favorit, aku justru disibukkan dengan persiapan untuk pergi ke Kalimantan. Lebih tepatnya di daerah yang masih terkenal dengan dunia mistik, bahkan ada kota yang terkenal sebagai kota gaib.Membayangkan saja, rasanya aku sudah bergidik ngeri. Tak pernah kubayangkan jika seandainya keluarga Marsya ada di sana, bagaimana aku harus menembus dinding gaib untuk masuk ke sana?"Darren, apa kamu yakin untuk pergi?" tanya Papa saat makan malam bersama.Sejenak aku diam berpikir, menyiapkan jawaban yang tidak membuat kedua orang tua di hadapanku jadi ragu."Pa, Darren tidak ada pilihan. Selama urusan dengan Marsy
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh