"Bagaimana perkembangan kafe saat ini, Kadek?" tanya Nalen pada seorang pria yang kini sedang serius mengemudi. Laki-laki berpenampilan khas orang Bali itu sekilas mengalihkan perhatiannya pada Nalen. Kemudian fokus kembali pada jalan raya."Kafe lumayan ramai, Bli. Musim liburan kali ini banyak yang mampir," jawab Kadek tanpa mengalihkan perhatian dari jalan raya."Syukurlah," Nalen menjawab singkat. Laki-laki itu memilih mengalihkan perhatian pada pemandangan di luar sana. Kedepannya Nalen harus memutar otak demi kafe itu, karena ia yakin sang ayah akan mencabut semua saham, dan fasilitas setelah semua yang dirinya lakukan. Sekarang ini hanya kafe peninggalan mama satu-satunya yang akan jadi sumber penghasilan Nalen. Meski dirinya masih memiliki tabungan pribadi, tetap saja Nalen harus mulai berhemat. Mengingat dia sudah menjadi kepala keluarga saat ini.Safiyya dan Gibran yang duduk di belakang memilih tak bersuara. Keduanya asyik dengan pikiran masing-masing. Safiyya tak menyangka
Matahari menyeruak dari balik tirai yang sedikit terbuka. Safiyya menggeliatkan tubuh karena menyadari matahari sudah terik. Ia terkejut saat mendapati lengan kokoh menopang kepalanya. Buru-buru ia mengangkat tubuh dan beranjak ke luar, khawatir Nalen akan terbangun.Bibir Safiyya melengkung membentuk senyum samar, kala mengingat semalaman ia dan Nalen bersama. Memang tak terjadi apapun, tapi begini saja sudah cukup baginya. Bahkan sangking nyenyaknya Safiyya tak mendengar azan subuh yang berkumandang dari masjid di dekat pesantren.Dengan gerakan pelan Safiyya turun dari ranjang untuk membersihkan diri. Beruntung ia bangun lebih dulu, sehingga Nalen tak harus melihat muka bantalnya yang pasti tak enak dipandang.Beberapa saat setelah selesai, Safiyya menyembulkan kepala di pintu, ia ingin memastikan Nalen masih terlelap atau sudah bangun.Cuaca Bali pagi ini begitu cerah. Suara doa-doa dari para pemeluk agama hindu pun samar-samar terdengar. Di tempat ini semua pemeluk agama hidup be
Dua minggu setelah kepindahan Nalen dan Safiyya ke Bali, rutinitas wanita itu hanya dihabiskan untuk mengurus villa, serta sesekali ia akan datang menemui Nalen ke cafe saat suaminya meminta mengantar sesuatu.Berbeda dengan Safiyya yang lebih suka di rumah, Nalen justru kebalikannya. Laki-laki itu hampir setiap akhir pekan akan pergi ke pesta dan pulang dalam keadaan mabuk. Sejujurnya, Safiyya sangat sedih saat melihat semua itu. Ia belum terbiasa dengan gaya hidup Nalen yang bebas. Tapi Safiyya harus sadar posisinya di hidup laki-laki itu. Ia tak ingin banyak menuntut. Meski begitu Safiyya tak pernah lelah mendoakan sang suami agar kelak bisa berubah lebih baik."Saf, kamu sedang apa?" Suara bariton Nalen membuyarkan lamunan Safiyya."Ah, biasa. Saya sedang membaca buku. Mas mau kopi?" tanya Safiyya. Ia menatap suaminya yang terlihat baru saja selesai mandi kemudian bangkit. Safiyya seperti telah terbiasa dengan Nalen yang bertelanjang dada di depannya. Ia sudah tak risi lagi.Nalen
Enam bulan kemudian ....Siang ini, Safiyya tampak tengah berkutat dengan peralatan memasaknya. Sedang Gibran seperti biasa, ke pesantren. Nalen sendiri sudah pergi ke kafe. Biasanya laki-laki itu akan pulang menjelang zuhur untuk makan siang bersama dan shalat.Tak berapa lama, samar-samar terdengar suara percakapan dari luar villa. Safiyya yang tengah sibuk menata makanan buru-buru menyudahi aktivitas. Ia bersiap menyambut kedatangan Nalen, menyusulnya ke depan.Namun, baru hendak melangkah ia menangkap siluet seorang wanita. Yang ia kenali sebagai Anna. Senyum di wajah Safiyya memudar berganti wajah datar. Selama enam bulan di sini, kehadiran wanita bernama Anastasia Anderson itu, semakin mengusiknya. Terlebih ketika melihat interaksi wanita berwajah bule itu dengan Nalen yang teramat dekat dan intim. Seperti pemandangan yang tengah dilihatnya sekarang ini. Nalen tengah menggandeng tangan Anna.Nyeri sekali ulu hati Safiyya ketika melihat perbedaan Nalen memperlakukan Anastasia, ya
Nalen menatap pemandangan di depannya dengan hati kesal. Di sana tampak Mark tengah terlibat obrolan seru dengan Safiyya. Sedari tadi keduanya terus saja tertawa tanpa berniat membantunya yang tengah kerepotan memanggang daging. Sedang Anna dari tadi tak terlihat batang hidungnya sejak pamit untuk mengangkat panggilan yang entah dari siapa.Nalen memang tengah mengadakan pesta barbeque di balkon villanya. Ia mengundang beberapa teman dan semua karyawan kafe.Nalen tak mempermasalahkan soal Safiyya, karena kondisi istrinya memang sudah tak bisa banyak bergerak. Sedang Mark, entah lah. Nalen benar-benar kesal dengan kehadiran laki-laki itu di sini. Mark adalah teman lama Nalen dari Australia. Lebih tepatnya teman Anna, karena sebenarnya ia dan Mark tak seakrab itu. Terakhir kali bertemu laki-laki ini adalah beberapa tahun yang lalu saat Anna mengenalkannya.Dari cerita Anna, Mark memutuskan datang ke Bali untuk berlibur sekaligus menemui seseorang. Nalen tak terlalu peduli soal laki-lak
Safiyya menengadahkan tangan, meminta pengampunan dan kekuatan untuk bertahan dengan semua cobaan yang tengah ia hadapi. Air matanya turun semakin deras. Wanita itu mulai menyadari satu hal, bahwa hanya Allah lah yang saat ini bisa meringankan beban di hatinya. Rasa sesak yang setiap hari semakin menjadi, membuat Safiyya nyaris putus asa. Pernah suatu hari sebelum Nafisa lahir, ia berniat bunuh diri dengan melompat ke danau. Namun, niat itu harus gagal karena kontraksi di perutnya. Selain itu Safiyya juga memikirkan nasib Gibran jika dirinya tak ada.Safiyya melirik bayi perempuan yang tengah tertidur pulas di ranjang. Jika bukan karena bayi mungil itu, ia tak yakin masih bertahan. Karena Nafisa lah yang menyelamatkannya dari rasa putus asa. Awalnya safiyya tak yakin bisa menerima kehadiran sang putri. Tapi ketika mendengar tangisan pertama bayi itu, entah mengapa ada kekuatan yang mendorongnya untuk tetap tegar. Ia tahu, hidupnya sekarang bukan lagi tentang diri sendiri. Tapi ada Naf
Nalen tampak tengah sibuk membantu karyawannya melayani pengunjung. Hari ini kafe begitu ramai karena liburan akhir tahun. Sesekali ia terlihat akrab dengan beberapa tamu yang datang. Kebanyakan dari mereka adalah wanita-wanita lajang. Tak jarang ada yang meminta berkenalan bahkan meminta kontak ponselnya. Namun, sebisa mungkin Nalen mengabaikan hal itu saat mengingat Safiyya."Jadi boleh nggak saya minta nomor hp Mas nya?" ujar wanita berambut panjang yang tengah asyik menikmati pemandangan sore bersama teman-temannya."Boleh, ya? Kita udah bolak-balik ke sini dari tiga hari lalu cuman buat ketemu Mas, loh," timpal salah satu yang lain.Nalen hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum ramah. Tak berapa lama, dari jauh terlihat Safiyya datang bersama Mark. "Maaf, saya tinggal dulu, ya. Kalian silahkan nikmati hidangannya," pamit Nalen, gegas ia menghampiri istrinya. Sedang di belakang sana wanita-wanita tadi hanya bisa mendesah kecewa karena lagi-lagi diabaikan oleh target taruhan mere
Nalen mengamati interaksi Safiyya dengan Mark di bawah sana. Keduanya tengah asyik bermain dengan Nafis di taman belakang Villa. Sejujurnya Nalen sangat terganggu sekali dengan interaksi itu. Namun, ia masih berusaha berpikir positif walau sebenarnya agak takut. Ia yakin Safiyya pasti bisa dipercaya. Istrinya tak akan berkhianat. Tapi masalahnya Mark lah yang setiap hari seakan berusaha terus mendekati istrinya. Terlebih sejak kelahiran Nafis.Selain itu, ada hal yang sering mengganggu pikiran Nalen. Yaitu kemiripan Nafis dengan Mark yang terlalu kentara, kadang sering menimbulkan tanya dalam hati. Sementara orang suruhan yang dipercaya Nalen untuk mencari tahu prihal pria yang memerkosa Safiyya, belum menemukan titik terang."Kamu sedang apa di sini?" Pertanyaan Anna membuat lamunan Nalen buyar. Wanita dengan gaun hitam itu mendekat dan berdiri di sampingnya.Senyum Anna merekah ketika mengetahui apa yang tengah Nalen lihat. "Mereka sangat cocok bukan?"Mendengar pernyataan Anna yang
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber