Nalen melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, ia bergegas mendatangi kantor cabang di mana Safiyya bekerja. Sudah tiga hari ini Nalen menahan keinginan untuk menjemput istrinya di Surabaya. Tapi kesabarannya habis. Ia tak ingin menunggu. Terlebih jika mengingat tentang laki-laki yang dibicarakan sang ayah. Nalen benar-benar tak bisa lagi menahan rasa penasaran. Ia pun akhirnya memutuskan langsung terbang ke daerah ujung timur pulau jawa, untuk mencari tahu semua kebenaran yang ada.Begitu sampai, kehadirannya tentu mengundang kekagetan semua orang. Karena para staf ada yang belum tahu Nalen siapa. Mereka juga belum sempat menyiapkan sambutan.Begitu masuk Nalen langsung mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. "Safiyya mana?" tanyanya tanpa basi-basi pada beberapa karyawan yang berpapasan. Karena terlalu bersemangat ia sampai lupa tengah berada di mana. Nada tak sabarannya membuat semua orang bingung. Ia memang selalu tak bisa bersabar jika mengenai Safiyya.Mengerti bahwa ti
Safiyya menatap gedung-gedung tinggi sepanjang jalan menuju kantor barunya. Ia menarik nafas dalam, terasa masih seperti mimpi karena tiba-tiba terbangun di pagi hari dengan hiruk pikuk kota Jakarta yang menyambutnya.Sebenarnya Safiyya merasa agak janggal karena tiba-tiba saja ia dipindahkan ke kantor pusat tanpa pemberitahuan lebih dulu. Ia masih ingat betul bagaimana Yusuf dan semua rekannya di sana terus-terusan protes. Bahkan ia pun tanpa lelah coba membujuk Yusuf agar tak membuatnya pergi dari Surabaya. Safiyya sudah merasa nyaman di sana karena semua temannya baik. Tapi Yusuf bilang ia tak bisa berbuat apa-apa karena atasan langsung yang memintanya.Satu hal yang masih terngiang di telinga Safiyya, sebelum ia pergi Yusuf tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat dirinya harus berpikir sangat keras."Aku akan menyusulmu ke sana secepatnya untuk memperjuangkan cintaku. Meski harus menghadapi suami mu secara langsung!"'Gila' satu kalimat yang saat itu ingin Safiyya lontarkan pada
Sepanjang jalan menuju rumahnya di bilangan Jakarta Selatan, Safiyya berusaha berpikir dengan jernih. Bayangan ketika Nalen memeluknya membuat Safiyya tanpa sadar tersenyum.Ia masih merasa semua kejadian tadi adalah mimpi. Bisa-bisanya selama ini ia tak tahu bosnya adalah Nalen. Memang selama ini yang sering datang ke kantor cabangnya, hanya utusan dari kantor pusat.Safiyya mengingat lagi semua keanehan kemarin saat dirinya baru pulang dari liburan, dan alasannya di- rolling ke kantor pusat.Andin dan semua temannya menyambut kedatangan Safiyya dengan wajah ceria. Mereka bahkan menyiapan sebuah pesta kejutan untuknya."Ini ada apa? Siapa yang ulang tahun?" tanya Safiyya heran."Ini pesta kejutan buat kamu, sekaligus pesta untuk melepas kepergian kamu ke kantor pusat. Mulai besok kamu akan dipindah ke sana. Selamat kamu akan lebih dulu bertemu wakil direktur kita yang tampan dan kaya raya."Perkataan Andin membuat Safiyya kaget. Ia sama sekali tak menyangka semua ini akan terjadi. Bu
Nalen baru saja turun dari angkot yang membawanya mengelilingi kota Jogja, kota kelahiran ayahnya. Dulu saat masih di Jakarta Nalen sering sekali bolak-balik ke sini jika libur sekolah. Alasan ia begitu menyukai tempat ini adalah kesederhanaan orang-orangnya.Begitupun ketika sang ayah menyusul ke Austalia dan menyuruhnya pulang ke Jakarta, Nalen malah lebih memilih pulang ke kota ini dulu alih-alih langsung menemui sang ayah. Entah hal apa yang membuatnya begitu mencintai Jogjakarta.Nalen baru saja melewati sebuah gang sepi ketika ia melihat beberapa gadis berseragam SMA sedang mem-bully temannya. Nalen diam, ia mengamati sejenak kejadian itu tanpa berniat melerai. Baginya yang sudah terbiasa tinggal di Australia, ikut campur urusan orang adalah hal yang tak pernah dilakukan.Nalen hendak melangkah pergi ketika salah satu dari mereka tiba-tiba melayangkan tamparan pada gadis yang di-bully. Belum cukup sampai disitu, satu temannya yang lain mendorongnya dengan keras. Lalu menyiramnya
Safiyya menarik nafas dalam dan melangkah masuk ke kantornya dengan yakin. Ia sudah memutuskan akan bersikap profesional, dan mengabaikan hubungannya dengan Nalen. Juga menyingkirkan segala ketakutannya.Setelah mempertimbangkan semua saran Gibran, ia berpikir bahwa kata-kata adiknya benar. Safiyya tak mungkin terus-terusan melarikan diri.Baru hendak menekan lift, sebuah suara tiba-tiba memanggilnya. Jantung safiyya seperti mau copot karena mengira itu Nalen. Tapi ketika ia berbalik, senyum Yusuf lah yang menyapa."Assalamualaikum, Calon Istri," gurau Yusuf sambil berjalan mendekati Safiyya. Senyum masih tak lepas dari bibirnya. Laki-laki itu terlihat sekali tak bisa menahan kebahagiaan karena akhirnya berhasil menyusul Safiyya."Pak, Yusuf, kenapa bisa di sini?" tanya Safiyya dengan nada tak percaya. Ia senang karena akhirnya ada teman lamanya yang ikut dipindah. Dengan begitu Safiyya tak perlu bingung lagi saat makan siang nanti sebab ada Yusuf yang bisa menemaninya. Safiyya tak mu
"Iya, Pak. Saya akan menyuruhnya ke atas." Inggrid menutup panggilan dan menghembuskan napas lelah. Sudah lebih dari tiga kali Nalen menghubunginya hanya untuk menyuruh Safiyya menghadap. Ia benar-benar tak mengerti ada apa sebenarnya di antara mereka. Meski malas Inggrid pun akhirnya bangkit dari duduk dan menghampiri Safiyya."Saf, Pak Nalen manggil kamu lagi tuh," ujar Inggrid lalu berlalu pergi.Ucapan Inggrid membuat semua orang menatap Safiyya penasaran. "Sebenarnya kamu sama Pak Nalen ada hubungan apa, Saf? Kok dia kayaknya sejak lo datang jadi sering ngurusin divisi kita?" tanya Felis, rekan Safiyya."Hooh bener, nggak biasanya Pak Nalen gitu. Tapi, ngomong-ngomong kamu nggak takut apa didatengin sama sekretarisnya yang bule itu. Kan udah jadi rahasia umum kalau mereka terlibat asmara."Kata-kata Silvi, rekannya yang lain, membuat Safiyya terdiam. Haruskah ia bicara yang sebenarnya pada semua orang bahwa Nalen suaminya? Tapi jika dirinya jujur kantor ini bisa-bisa heboh."Eh,
Setelah melepas Safiyya kembali untuk bekerja, Nalen pun memutuskan untuk menghubungi Maira. Ia harus tahu sebenarnya apa yang wanita itu katakan pada istrinya. Nalen mengontak Maira melalui akun sosmednya ketika wanita itu terlihat aktif.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Maira bersedia mengangkat panggilan itu. Nalen mengucap salam sebelum bicara tujuannya menghubungi."Waalaikumsalam, kenapa?" jawab Maira ketus."Sebenarnya apa yang kamu katakan pada Safiyya? Kenapa dia bilang kalau kita akan menikah?" tuntut Nalen. Ia agak sedikit kesal dengan kebohongan wanita di seberang.Maira terdiam, ia agaknya tengah berpikir. "Apa takdir benar-benar mempertemukan kalian lagi?" tanya Maira. Tapi karena Nalen tak menjawab ia pun melanjutkan kata-katanya."Wah ... aku benar-benar salut. Ternyata benar, mau sejauh apapun perginya kalau jodoh pasti bertemu." Maira terdengar takjub.Nalen memutar mata jengah karena Maira malah membahas masalah tak penting. "Jangan mengalihkan pembicaraan,
"Hati-hati, ya, Sayang. Nanti Bu Ani akan jemput kamu. Jadi sebelum dia datang kamu jangan kemana-mana. Ok," ujar Safiyya pada Nafis.Gadis kecil itu mengangguk semangat, lalu mencium punggung tangan Safiyya sebelum berlari masuk dengan langkah kecilnya yang ceria. Sudah dua minggu ini Nafis sekolah di sana.Safiyya tersenyum menatap kepergian putrinya hingga Nafis benar-benar menghilang.Tak berapa lama saat hendak memasuki mobil, notifikasi pesan terdengar. Ternyata room chat dengan Silvi dan Felis lah yang membuat ponselnya gaduh dari pagi. Safiyya hanya melirik layar ponsel sekilas tanpa berniat membuka."Dahlah aku lihat nanti aja. Udah siang," gumam Safiyya lalu kembali memasukan ponsel ke tas. Hari ini ia terlihat cantik dengan tunik brokat berwarna nude bermotif bunga-bunga kecil, dipadukan dengan kulot jeans berwarna snow blue dan hijab yang senada tunik.Begitu sampai di kantor ternyata Felis dan Silvi sudah menunggu kedatangannya di depan lobi. Keduanya tergesa-gesa mengham
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber