Safiyya menatap bentangan langit yang menghitam dengan perasaan tak menentu. Ia kembali mengingat pembicaraannya dengan Maira tadi siang. Mungkin benar, jalan satu-satunya untuk melancarkan semua acara pernikahan adalah dengan mengadakannya di Bali. Tak berapa lama suara dering ponsel di atas nakas berbunyi, tertera nama Mark di layar.Safiyya menautkan alis, untuk apa laki-laki itu menghubunginya malam-malam begini. Meski ragu, Safiyya akhirnya mengangkat panggilan itu.Sapaan salam terdengar di seberang sana. Tapi Safiyya masih ragu untuk membuka suara. Hingga kemudian Mark terdengar memanggil namanya. "Safiyya, apa kamu di sana?" Suara Mark terdengar parau."Ya ... ada apa, Mark?" Safiyya menjawab ragu."Maaf karena aku lancang menghubungumu, di sana pasti sudah malam, kan? Aku berusaha menghubungi Nalen, tapi nomornya tak aktif sejak tadi. Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa Brian memang dulu pernah tinggal di Australia. Berdasarkan info yang Josh dapat, dia memang menghilang tak
"Aku bisa jalan sendiri, nggak perlu dekat-dekat." Safiyya berkata dengan nada ketus pada Nalen. Lalu menepis tangan laki-laki itu yang hendak menggandeng tangannya masuk ke kantor."Sayang, dengar dulu penjelasanku. Yang terjadi kemarin hanya salah paham." Nalen tak ingin menyerah begitu saja meski sejak pagi Safiyya seperti enggan bicara dengannya."Apa yang mau kamu jelasin, tunggu nanti sampai kita di ru-""Pak Nalen." Suara lembut Kania terdengar menginterupsi perdebatan pasangan suami istri itu.Rasa marah di hati Safiyya kian menjadi saat Kania mendekat ke arah mereka dengan langkah anggun. Nalen tak ayal dibuat semakin fruatrasi dengan kehadiran sang sekretaris yang tak tepat waktu. Apa lagi kini tatapan Safiyya seolah ingin menelannya hidup-hidup."Ada apa, Kania?""Ada hal penting yang harus kita bicarakan."Jawaban Kania semakin membuat Safiyya kesal. Ia mendengus lalu menatap Nalen dengan sorot tajam. "Urus saja sekretaris kesayanganmu ini," ujar Safiyya lalu pergi begitu
"Jadi kalian sudah menemukan orang yang bertanggungjawab membakar gedung itu?" Nalen berbicara dengan orang suruhannya. Laki-laki yang ia tugasi untuk menyelidiki kasus kebakaran gedung demi mengungkap kecurigaannya pada Anna."Ya, tapi saat kami mendatangi rumahnya, tempat itu sudah kosong, Pak."Nalen berdecak kesal mendengar jawaban itu. "Tapi kamu sudah mengetahui ciri-ciri orangnya?""Sudah, Pak. Saya akan berusaha lebih keras lagi." Orang di seberang terdengar yakin."Usahakan kemu menemukannya sebelum hari pernikahan saya dilaksanakan.""Mas, lagi bicara sama siapa? Serius banget." Safiyya tiba-tiba melingkarkan tangan di pinggang Nalen. Wanita itu memeluk punggung suaminya yang masih bertelanjang dada.Nalen pun akhirnya terpaksa menutup panggilan sepihak meski belum mendengar jawaban orang suruhannya. Ia berbalik lalu tersenyum pada Safiyya yang baru saja terbangun karena mendengar suaranya. Istrinya masih mengenakan baju dinas khusus untuk di ranjang."Kamu udah bangun?" Nal
Hari ini kantor Nalen tampak sangat sibuk. Ada beberapa masalah yang tiba-tiba terjadi di perusahaan.Desain proyek yang tengah disiapkan untuk mengikuti tender besar tiba-tiba dicuri oleh perusahaan lain. Tak ayal kejadian tak terduga itu benar-benar membuat Nalen kalang kabut karena rapat untuk tender itu hanya tersisa satu hari. Nalen benar-benar harus memutar otak untuk mengatasi semua ini. Tapi masalahnya, Kania bukanya membantu, tapi malah sejak tadi membuat kacau semuanya."Kania, mana file yang saya minta kamu untuk menyiapkan?" Nalen bertanya pada sekretaris-nya yang tengah sibuk di depan laptop."Ada, Pak, sebentar," jawab Kania eneteng, karena dia merasa sudah menyelesaikan dokumen itu sejak beberapa jam lalu.Tapi agaknya sebuah masalah tak terduga terjadi, dokumen yang ia letakan di bawah file lain ternyata sudah tak ada. Kontan wajah Kania berubah panik. Jantungnya berdetak sangat keras, menyadari bahwa hidupnya di kantor ini benar-bebar akan berakhir.Nalen menautkan al
Anna duduk menyilangkan kaki di kursi ruang kerja. Tangannya mengetuk-ngetuk meja hingga menimbulkan suara. Sedang mata wanita itu tak lepas mengamati ponsel yang tergeletak di depannya. Anna tengah menunggu panggilan dari Nalen atau utusan perusahaan yang menginginkan dia kembali ke sana. Anna seolah begitu yakin bahwa Nalen akan menghubungi.Setelah lama menunggu ponselnya benar-benar berdering. Anna tersenyum lebar saat melihat panggilan itu berasal dari nomor perusahaan. Wanita tersebut mengatur suaranya lebih dulu agar terdengar angkuh lalu mengangkat panggilan tersebut."Halo, ada yang bisa saya bantu?""Halo, Miss Anna, ini saya Ali. Pak Aidan meminta Anda untuk kembali bekerja di perusahaan. Apakah Anda bersedia?"Anna diam sejenak, dia menimang-nimang sesuatu. "Kenapa tidak Pak Nalen saja yang menghubungi saya. Saya mau kembali ke perusahaan asal Pak Nalen langsung yang menjemput saya ke sini," tegas Anna. Lalu menutup panggilan begitu saja. Dengan angkuh ia meletakan ponsel
Anna melempar tas dengan kasar ke sembarang tempat. Napasnya naik turun karena menahan amarah sejak ia berada di kantor tadi. "Bisa-bisanya dia sengaja memanasi aku," ujar Anna geram. Rahangnya terkatup rapat karena menahan marah.Anna kembali mengingat lagi kejadian tadi ketika ia berada di kantor dengan semua sahabat Safiyya."Ya, ini bagus, saya suka," gumam Nalen mengomentari usul Anna. Pujian itu membuat Anna tersenyum senang. Suasana kantor sudah mulai sepi karena jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Anna benar-benar menyukai suasana ini. Di mana di sana hanya ada dirinya dan Nalen.Bahkan Anna sudah berani menggoda Nalen dengan membuka blezernya dan menyisakan kemeja putih dengan bahan tipis yang membuat dalamannya tercetak dengan jelas ketika terkena air.Di depannya Nalen sebenarnya sudah sangat malas mengerjakan projek itu dengan Anna. Sebab dari tadi wanita itu seperti sengaja menggodanya. Di tengah keheningan itu, lagi-lagi Anna berbuat ulah."Aduh, baju aku," ujar An
"Kalian kok bisa tiba-tiba datang ke kantor? Ini udah malem loh." Nalen memulai percakapan ketika mereka sudah berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang."Ini semua ide Maira, Sayang. Untung dia berusaha meyakinkan aku untuk datang ke kantor. Kalau enggak pasti Anna sudah melancarkan aksinya menggoda kamu. Buktinya tadi bajunya basah."Nalen terdiam mendengar kalimat terakhir Safiyya. Ternyata istrinya juga menyadari sikap aneh Anna. "Ya, aku benar-benar bersyukur karena kalian datang tepat waktu. Anna benar-benar sudah gila. Bisa-bisanya dia sengaja menyiram bajunya sendiri dengan air."Safiyya melebarkan mata mendengar kejujuran Nalen. Ia menatap suaminya kesal. "Mas, jadi kamu tadi lihat bagian dalam Anna?" Safiyya tak terima. Ia merajuk lalu mencubit pinggang Nalen yang duduk di sampingnya, karena yang mengemudikan mobil adalah Yusuf."Maaf, Sayang. Mas nggak sengaja melihatnya. Demi Allah. Karena Anna melakukan itu semua tiba-tiba." Nalen mencoba menjelaskan sambil menghindar
"Halo, apa kamu menemukan sesuatu?" Nalen bertanya pada orang suruhannya yang bicara diseberang. Laki-laki tampan tersebut terlihat tengah sibuk dengan setupunk dokumen di meja."Ya, Pak Nalen. Saya membawa kabar penting. Saya sudah menyelidiki siapa orang yang pertama kali menjual dokumen itu pada perusahaan Agra Grup."Info yang barusan didengarnya membuat Nalen merasa senang. Secercah harapan muncul di hatinya. "Benarkah? Kalau begitu kirim alamatnya pada saya sekarang. Saya akan secepatnya mendatangi orang ini." Nalen menjawab tanpa melepaskan perhatian dari dokumen-dokumen yang tengah ia kerjakan."Baik, Pak." Sambungan ditutup setelah itu.Nalen memutuskan mendial nomor Safiyya lebih dulu setelah ia mendapat kiriman alamat yang dimaksud orang suruhannya. Telalu tergesa-gesa membuat Nalen tak sempat membaca dengan teliti alamat yang dikirim itu. Sebab ia memilih langsung menghubungi Safiyya. Lama panggilang tak kunjung diangkat. Hingga suara istrinya terdengar di seberang sana.
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber