Santana membolak-balik tudung saji beberapa kali. "Apa tidak ada makanan?" ucapnya kesal. Ririn hanya mendengus. Dia terlihat kesal pada suaminya itu. Setiap hari, Santana pergi pagi dan pulang ke rumah pada tengah malam. "Ah ... sudahlah. Percuma bicara pada orang sepertimu!" ucap Santana kesal. Dia membanting pintu dan berlalu pergi meninggalkan Ririn yang terlihat tak acuh. Malam akan berganti subuh, Santana belum kunjung kembali. Ririn menjadi khawatir, lalu dia memutuskan untuk menunggu waktu subuh dan menelepon mertuanya."Halo?" Suara lembut Ririn menyapa saat telepon sudah mulai tersambung. "Ada apa kamu telepon Bapak subuh-subuh?" jawab Karsa ketus. Karsa adalah ayah mertua Ririn dan juga seorang kepala desa di Desa Purnama. "Ah ... itu, Pak. Mas Santana semalam tidak pulang ke rumah," ucap Ririn tergagap. "Kenapa bisa? Dasar kamu tidak becus jadi istri. Mengurus suami saja kamu tidak bisa!" bentak Karsa.Belum sempat berbicara, Ririn sudah dicecar dengan makian dar
Hari-hari bahagia yang dirasakan semua wanita yang telah menikah tak pernah di rasakan Ririn. Dia hidup penuh dengan aturan dan kekangan dari pihak keluarga Santana. Ririn masih bekerja di rumah itu walau pun telah berganti status menjadi menantu. Malah kali ini lebih parah, hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Ririn yang tengah hamil. Saat kandungannya memasuki usia tujuh bulan, Ririn nekat meminta Santana untuk membawanya keluar dari rumah itu. Setelah melewati berbagai pertikaian antara dirinya dan Santana, akhirnya Santana mau mengalah. Santana dan Ririn kemudian pindah ke suatu rumah kecil di desa Purnama. Berbaur dengan penduduk desa adalah hal yang diinginkan Ririn saat itu. Walaupun berat harus meninggalkan Mbok Dar di rumah itu. Demi anak yang dikandungnya Ririn memberanikan diri hidup mandiri jauh dari Mbok Dar dan kedua orangtua Santana. "Pergilah, Nak. Jangan mengkhawatirkan Ibu, Ibu akan baik-baik saja di sini. Pesan Ibu. Baik-baiklah pada suamimu dan jagala
Tin ... tin .... Kedatangan motor tua yang berhenti di pekarangan rumah itu telah kami tunggu. Udara dingin ini hampir membuat kami membeku. Setelah sholat subuh kami mulai menyiapkan keperluan untuk menyambut kedatangan adikku-Ayla. Ayla memakai setelan anak jaman sekarang, topi bundar yang besar, serta kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. "Dasar anak ini. Dia pikir desa ini pantai!" gumamku kesal, melihat tingkah Ayla yang berlebihan. Kali ini, kami menggunakan jasa Pak Yanto untuk menjemput Ayla dari gapura desa. Aku menghampiri Pak Yanto sesaat setelah Ayla turun dari motornya. "Kakak!" teriak Ayla girang. Aku hanya tersenyum seadanya. Dari awal aku tak suka kalau Ayla datang kemari. Muah ...! Ciuman bibir berwarna merah jambu itu mendarat di pipi kananku dengan tiba-tiba tanpa aku sempat menghindar. "Apa sih, bikin jijik saja," ucapku kesal. "Kau kasar sekali pada adikmu. Sudah lama kita tak bertemu, kan? Kau tidak kangen padaku, Kak?" tanyanya dengan nada cen
"Sini, Bibi obatin dulu lukanya," pinta Bi Sari yang tengah menyiapkan obat.Aku lantas meninggalkan Ayla dan Bi Sari di dalam kamar. Terdenggar sura jeritan dari Ayla yang kesakitan. Walau pun aku tahu lukanya pasti tak begitu sakit, tapi aku tetap merasa kasihan padanya.Setelah beberapa saat, kuputuskan untuk menemui Nur yang tenah duduk di kursi teras rumah. Wajahnya masih sangat murung."Nur. Kau di sini?" sapaku.Nur yang terus menggoyang-goyangkan kakinya tampak kesal padaku."Sebenarnya, apa yang terjadi?" Aku mencoba terus bertanya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."Kakak tanyakan saja pada Adikmu yang menyebalkan itu!" bentak Nur padaku."Dia sengaja melakukan itu. Seharusnya Kakak ajari Adik Kakak itu sopan santun.""Kenapa kau marah padaku? Seharusnya aku yang marah padamu. Kau yang membuat Ayla terluka," ucapku tak bisa menahan emosi."Kakak tak percaya padaku? Dia yang sengaja menjatuhkan dirinya sendiri. Bukan aku!""Ternyata Ayla itu pandai sekali berbohon
Salah satu yang membuat aku tak bisa beristirahat dengan tenang adalah kebisingan yang Ayla timbulkan setiap malam.Sama halnya seperti di rumah kami. Ayla selalu menyetel musik keras setiap malam. Entah itu lagu dari barat atau k-pop yang sedang tren saat ini."Ayla. Kecilkan suaranya! Aku tidak bisa tidur."Karena musik yang di setel sangat keras, aku terpaksa berteriak untuk mengingatkan Ayla."Ayla!" bentakku lagi.Drak! Ayla membuka pintu dengan keras. Membuatku agak tersentak."Apa?" "Kau ini! Kecilkan suara musiknya. Oranglain tak bisa tidur gara-gara itu.""Kalau aku tidak mau, Kakak mau apa?" jawabnya menantang."Apa kau bilang? Cepat matikan. Kalau tidak, aku akan mematikan listriknya," ancamku.Ayla sama sekali tak terlihat takut. Dia malah terus membantah ucapanku."Matikan saja kalau berani!"Dasar anak ini. Ah, tiba-tiba saja terlintas dipikiranku memberikan pelajaran pada Ayla untuk membuatnya jera."Baiklah kalau itu maumu. Jangan berteriak atau pun meminta tolong p
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan para pekerja," ucap Razan. Razan memakai setelan rapi dengan kancing baju bagian atas yang sedikit terbuka. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku dan aku segera menyambutnya dengan ramah. "Bukan apa-apa. Aku hanya melakukan hal seharusnya aku lakukan. Lagi pula, berkat bantuanmu juga mereka mendengarkan perkataanku. Pemuda itu lantas tersenyum ramah. Lesung pipinya melengkung ke dalam tatkala pemuda itu melebarkan senyumnya. "Oh, ya. Siapa namamu?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu siapa dia. Aku tetap berpura-pura tak mengenalnya. "Namaku Razan. Kau?" tanya Razan padaku. "Namaku Mahesa Aldi Langga. Panggil saja Aldi," jawabku. Razan kembali tersenyum. "Oh, salam kenal ya, Aldi. Sepertinya kita seumuran. Hahaha ...." Aku hanya tersenyum tipis, mendengar guyonan Razan yang sama sekali tak lucu bagiku. "Ayo cepat. Pindahkan batang pohonnya agar tidak menghalangi jalan," perintah Razan pada pekerja laki-laki. "Bagaimana bisa
Mobil jeep warna putih itu berhenti di sebuah pekarangan rumah yang cukup mewah. Rumah yang dicat warna putih dengan dua lantai itu terlihat nyaman. Ditambah udara sejuk dari pohon-pohon dan tanaman hias yang tumbuh di sekitarnya."Ayo. Kita sudah sampai," ajak Razan, dia membuka pintu mobil dan memberikan isyarat untuk segera turun padaku."Apa ini rumahmu?""Ya. Maaf kalau kurang nyaman."Senyumnya melebar sembari merangkul pundakku."Cih ... sombong sekali dia. Dia bilang kurang nyaman? Padahal rumahnya adalah rumah paling besar dan mewah yang pernah aku lihat di Desa Purnama. Sungguh merendah untuk meninggi."Aku terus bergumam dalam hati, walaupun terasa kesal masuk ke rumah ini, tapi aku harus melakukannya demi Ririn.Saat memasuki rumah, kami di sambut oleh beberapa orang pekerja di rumah itu. Aku cukup kagum melihat isi rumah Razan yang sangat berbeda dengan rumah-rumah di Desa Purnama.Razan terlahir dari keluarga yang terpandang di desa ini. Ayahnya adalah seorang mantan kep
Aku berhenti di sebuah bangunan di antara kebun teh yang luas. Di sana aku melihat Bulan dan Razan tengah duduk berdua menikmati suasana sore hari. Tangan Razan merangkul pinggang Bulan dengan mesra. Sesekali Razan terlihat menatap Bulan yang tengah asyik melihat matahari terbenam. "Bagaimana bisa ada gadis secantik dirimu?" Razan berkata tanpa mengedipkan mata, pandangannya tak luput dari gadis di sampingnya. Bulan hanya tersenyum, raut wajahnya memerah. Sembari menyingkap rambut Bulan, Razan terus menatapnya dengan penuh cinta. Itu yang bisa kulihat dari mereka. Tapi, apa ini? Kenapa tiba-tiba aku melihat mereka? Seketika kesadaranku kembali. Aku terbangun dari mimpi itu. "Bagaimana menurutmu? Razan sangat mencintaiku, kan?" celoteh Bulan sumringah. "Jadi itu semua ulahmu? Kenapa menunjukkan itu padaku? Bikin kesal saja!" jawabku sedikit emosi."Kenapa kau kesal? Aku hanya ingin menunjukkan padamu betapa Razan itu sangat mencintaiku. Dia pemuda yang sangat baik dan lembut. D
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me