Sore itu, Lyla tengah bersiap dengan gaun malamnya saat Alice masuk ke dalam kamarnya. Well kamar Damian yang telah menjadi kamarnya juga lebih tepatnya."Nona ... ah, maksudku Nyonya, kau sungguh cantik dengan gaun itu," puji Alice sambil menatap Lyla penuh binar. Semenjak Damian membuka pernikahan mereka, para pelayan di rumah otomatis memanggilnya dengan sebutan nyonya."Benarkah? Terima kasih Alice, aku hanya ingin tampil sempurna karena ini adalah makan malam istimewa kami," jawab Lyla. Walau belum sepenuhnya terbiasa dengan panggilan Nyonya, Lyla tetap bersikap biasa."Aku belum melihat Tuan, apakah Tuan akan datang menjemput Nyonya?" tanyanya."Ya, Alice, Damian masih sibuk dengan urusan pekerjaannya hari ini. Sama seperti kemarin, kurasa ia akan sedikit terlambat. Walau begitu, aku sudah harus bersiap sebelumnya, bukan?" ucapnya."Tentu, Nyonya!" balas Alice. "Ini adalah sepatu yang Nyonya minta," ucapnya sambil menyerahkan dua pasang sepatu dengan warna senada. Marun dan hita
Lyla terbangun dalam balutan selimut lembut di dalam penthouse setelah ia merasakan silau dari sinar matahari yang menyelinap dari balik tirai yang berada di dekat ranjangnya.Lyla menguap dan mengerjapkan matanya sebelum akhirnya bangkit dan duduk. Ia begitu heran saat mendapati Damian tak ada di sampingnya. Kelopak-kelopak mawar yang berserakan menjadi saksi satu-satunya tentang keberadaannya semalam.a"Damian, apa kau sedang di dalam kamar mandi?" panggilnya sambil kemudian melompat dan bergegas menuju ke dalam kamar mandi. Tapi ia tak dapat menemukan Damian."Damian, Sayang, kau di mana?" panggilnya lagi. Lyla mulai panik dan memburu ke segala arah. Tapi walau begitu Damian masih tak dapat ia temukan.Ia akhirnya meraih telepon yang tersambung untuk pelayanan kamar. Ia menanyakan perihal suaminya yang mungkin telah pergi meninggalkan hotel atau semacamnya. Tapi, bahkan para petugas hotel pun tak dapat memberikan jawaban yang meyakinkan.Lyla kemudian bergegas meraih ponselnya dan
"Apakah kau sudah merasa lebih tenang?"tanya Nathan.Wanita berambut cokelat dan bermata teduh itu mengangguk. Lyla menatap Nathan dengan raut yang masih menunjukkan kekhawatiran."Lyla, untuk saat ini, bisakah kau menenangkan diri agar dapat berpikir lebih rasional? Setidaknya dalam rekaman kamera pengawas terlihat bahwa Damian baik-baik saja saat keluar dari kamar. Ia pasti tahu siapa yang ditemuinya hingga memutuskan untuk keluar melalui tangga darurat. Dan jika perkiraanku tepat, mungkin Damian memang merencanakan ini. Atau ... maaf jika memang sepertinya ada kemungkinan terburuk lainnya," gumam Nathan.Lyla membulatkan kedua matanya. "Apa maksudmu? Please ... jangan katakan jika Damian sedang dijebak, disekap, atau semacamnya ...," ucapnya memohon."Tidak ... kita semua berharap ia akan baik-baik saja. Sekarang, yang harus kau lakukan adalah menjalankan semua yang diinginkannya sebelum ia menghilang. Tolong, ingat-ingat lagi apa yang pernah ia ucapkan sebelumnya," ucap Nathan ser
Lyla melangkah keluar kamar dengan terusan formal miliknya. Kemeja satin dan rok span senada menjadi piihan bajunya untuk menghadiri rapat para direksi pagi ini. Ia telah bersiap dengan bajunya serta mengenakan riasan ringan yang segar. Rambutnya ia tata ponytail rapi hingga berkesan praktis, profesional, dan simpel."Kau sudah siap? Ada yang sedang menunggumu di bawah, bersiaplah dengan 'kejutan' pagi ini yang tampaknya akan menyenangkan," ucap Allen. Ia yang tadinya menunggu Lyla di sofa depan kamarnya, kini beranjak mendekatinya. Allen yang sebelumnya juga sudah terlebih dahulu rapi dengan setelan jasnya dan berkas-berkas dalam tas kerjanya, mulai berwajah serius."Apa maksudmu?" tanya Lyla sambil mengerutkan alisnya."Madison," jawab Allen singkat. "Ah ... ya, aku mengerti," decaknya dengan sedikit mendesah kesal. "Apa lagi kali ini?" ucapnya dengan nada penuh tanya.Allen mengangkat kedua bahunya. "Masalah, yang pasti. Tapi walau begitu, kita tetap harus menghadapinya, bukan? Ka
Nathan, Lyla, Jake, dan Allen telah kembali berkumpul malam itu setelah seharian urusan panjang masalah perusahaan telah selesai mereka lalui."Maafkan aku, aku baru memberitahukan kalian di detik-detik terakhir saat rapat sedang berlangsung. Karena itu merupakan perintah Damian padaku sesuai pesan yang aku terima di ponselku. Aku tak dapat memberi tahu kalian langsung saat itu, terlebih ketika Madison menyerangku," ucap Lyla pada semuanya.Nathan mengangguk. "Tak apa, walau kuakui aku begitu terkejut, tetapi aku juga bersyukur, karena dengan begitu rapat berjalan dengan baik. Semua prasangka yang tertuju padamu pun dapat hilang dalam sekejap," balasnya."Tapi, tunggu ... apakah semua itu asli dari Damian? Benarkah itu benar-benar dirinya?" tanya Jake. Ia menatap bergantian pada masing-masing lawan bicaranya yang sedang duduk berjajar mengelilingi meja makan di lantai atas."Apa kau masih mempertanyakan itu? Terlihat jelas bahwa foto-foto yang ditunjukkan di sana adalah foto Damian. D
Keesokannya ...."Apa hari ini kau baik-baik saja, Lyla?" tanya Allen dengan raut ingin tahu.Kini, Allen dan Lyla sedang sama-sama duduk berhadapan pada sebuah meja makan. Mereka melakukan sarapan bersama pagi itu."Aku baik-baik saja, Allen," jawab Lyla.Lyla telah mengenakan setelan formal dan berias sesuai dengan pakaian yang ia kenakan. Riasannya tak terlalu berlebihan tetapi tetap terkesan bersih dan elegan."Apakah hanya Nathan yang akan mendampingimu hari ini?" tanya Allen. "Aku akan berangkat siang jika kau menginginkan pengawalanku atau semacamnya." Allen menawarkan diri untuk mendampingi Lyla dengan raut sungguh-sungguhLyla hanya tersenyum kecil dan menatap Allen dengan geli. "Aku bukanlah anak kecil. Aku hanya akan berangkat ke kantor untuk mempelajari segalanya bersama Nathan. Cukup Ben dan Joe saja yang mengawalku, Allen. Dan jika kau sengaja menggunakan kalimat itu untuk lolos dari tanggung jawabmu di pabrik, aku akan menendangmu!" ujar Lyla sedikit menggoda Allen."Ck
Lyla menatap hidangan di atas meja makan dengan raut yang tak terbaca. Ia tampak sedang setengah melamun saat Allen menemaninya malam itu. "Apa kau sedang merasa tak sehat? Ada apa?" tanya Allen yang sedikit khawatir karena memperhatikan raut Lyla.Lyla dengan tenang menatap Allen. Ia tersenyum dan menggeleng perlahan. "Aku tak apa, Allen," balasnya."Bagaimana keadaan perusahaan? Apakah kau mengalami kesulitan di sana? Perlukah aku menemanimu besok?" tanya Allen."Tak apa, aku bisa mengatasinya. Nathan banyak membantuku dan banyak membimbingku dengan apa yang harus kupelajari," jawab Lyla.Allen menatap Lyla dan tampak sedikit ragu, ia kemudian sedikit berbisik. "Apakah mungkin kau mendapat sebuah pesan lagi dari nomor yang tak dikenal, Lyla?" tanyanya tiba-tiba.Lyla tampak sedikit terkesiap. Ia menatap Allen dengan waspada dan melirik sekilas ke kiri dan kanannya. Saat itu, Alice, Ester, dan Marie tampak terlihat sedang sibuk di area dapur yang dapat terlihat dari meja makan."Men
"Apa yang sudah kau dapatkan?" tanya Allen pada Lyla yang saat ini sedang berkutat dengan laptopnya."Belum ada. Mungkin kita hanya harus menunggu saja," balas Lyla."Apa kau yakin cara ini akan berhasil? Karena yang kutahu bukankah dalam zaman modern seperti sekarang ini hal-hal yang berbau ... yah, katakanlah mistis, paranormal, aneh, dan semacamnya itu tidaklah nyata?" ucap Allen lagi.Lyla mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya berkata, "Apa kau tak benar-benar mengerti dengan apa yang telah kujelaskan padamu? Bukankah semalam aku telah mengatakan semuanya padamu? Bagian mana yang tak kau mengerti?" tanya Lylabalik bertanya pada saudaranya."Entahlah ... bagian dimana kau bercerita tentang Damian yang memiliki kemampuan spesial, rasanya ... itu masih sulit kumengerti," bisik Allen lirih seolah tak ingin ada seorang pun yang mendengar."Ssh, hentikanlah ... jangan berkata apapun tentang itu. Sebaliknya, kau sekarang tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?" ucap Lyla.Allen men
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber