Lyla sedikit tersentak saat ia merasakan sebuah kecupan di belakang tengkuknya. Ia segera membuka matanya dan mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Lyla mendadak teringat semua kejadian semalam yang telah ia lalui ketika sebuah lengan kokoh melingkar disekitar pinggulnya. Benar, ia dan Damian telah menghabiskan malam pertama mereka. "Selamat pagi, Sayang ...," sapaan lembut dan serak khas Damian terdengar begitu manis ditelinganya. "Pa ... pagi," jawab Lyla lirih. Ia memutar tubuhnya dengan malu-malu untuk menghadap ke arah Damian. Dari dalam selimut, ia masih bisa merasakan kulit polosnya yang bersentuhan dengan milik pria itu. Ia seketika meremang dan tergelitik. Lyla bahkan tak menyadari keadaannya sendiri sampai mereka saling bersentuhan. "Kenapa? Kedinginan?" tanya Damian ketika merasakan bulu kuduk Lyla yang meremang. "Ti ... tidak, hanya saja ...." Lyla tak sanggup meneruskan ucapannya. Ia hanya menarik selimutnya perlahan-lahan. Damian tersenyum karena mengerti maksudn
Jake menatap Lyla dan Damian secara begantian dengan penuh selidik. Ia hampir terkena serangan jantung saat Damian meneleponnya dan memberitahukan tentang pernikahan rahasia mereka. Mereka bahkan hanya baru beberapa hari bertemu, bagaimana bisa melangsungkan pernikahan begitu saja?! "Kalian serius?" tanyanya lagi. Jake sudah menghembuskan napasnya berkali-kali dan menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Ia masih tak dapat mencerna keadaan itu begitu saja. "Bukankah kau sudah tahu bahwa aku tertarik pada Lyla saat pertama kali bertemu dengannya?" ucap Damian dengan tenang. "Aku dan Lyla melakukan pernikahan ini karena kami memang ingin melakukannya." "Aku tahu. Tapi kukira bukan ketertarikan yang seperti itu! Ah, baiklah ... baiklah," balas Jake lagi. "Aku tahu kau terkejut, Jake. Mungkin keputusanku terlalu cepat? Belum lebih dari setahun yang lalu aku kehilangan Olivia, dan sekarang aku bahkan sudah menikah. Mungkin kau berpikir sesuatu tentang itu?" "Bukan masalah itu, D
Lyla sedang menatap wanita cantik yang ada di hadapannya dengan sedikit menyelidik. Wanita bernama Felicia itu terlihat begitu bersinar. Kulit bersih dan cerahnya sangat menyilaukan. Rambut hitam sebahu miliknya yang begitu indah, tampak sangat serasi dengan mata coklatnya. Untuk sejenak Lyla hampir lupa berkedip karena terlalu terlena menatap Felicia. Ia kemudian mengontrol kembali arah pandangnya dengan sedikit kikuk. Menurutnya, Felicia adalah wanita yang cantik dan sangat menarik. "Kau pasti asisten baru yang diceritakan itu bukan?" tanya Felicia dengan tersenyum manis yang tampak begitu ramah. Lyla sejenak merasa kelu. Entah mengapa, ia bahkan tak dapat membalas ucapan Felicia. Gerak-gerik wanita itu sungguh terlihat sangat berkelas. Ia terlihat begitu anggun hanya dari cara jalannya saja. "Ya," jawab Lyla akhirnya. Beruntung suaranya masih dapat terdengar karena ia berhasil menyembunyikan kegugupannya. Aura Felicia yang kuat seolah menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang memi
"Kau kenapa?" tanya Allen ketika ia melihat Lyla begitu kusut."Tak apa," jawab Lyla tak bersemangat."Kau bertengkar dengan Damian?" tanyanya dengan wajah ceria."Bagaimana bisa kau menanyakan itu dengan wajah yang begitu cerah?!""Itu karena aku telah memiliki mobilku sendiri!" ucapnya girang. Lyla hanya memutar kedua bola matanya."Jangan terlalu bersemangat. Apa kau bahkan tak sedikit pun memikirkan perkataan orang-orang? Apa kau tetap akan baik-baik saja jika ada yang memandangmu dengan sebelah mata?" tanya Lyla sambil mendesah masam."Mengapa kau bertanya? Apa ada yang telah mengusikmu? Siapa? Biar aku yang berhadapan dengannya. Kau bukanlah pencuri atau semacamnya. Memangnya apa yang kau khawatirkan?" jawab Allen santai."Kau bisa berkata seperti itu sekarang. Apa kau tak ingat apa saja yang telah kau katakan padaku saat pertama kali tahu aku menikah dengan Damian?" ucap Lyla.Allen meringis kecil sebelum berkata lagi, "
Damian menghampiri Lyla yang masih juga berfokus pada pekerjaannya. Ia menyentuh pundak Lyla perlahan dari belakang. Lyla sedikit tersentak karena kedatangan Damian yang tiba-tiba. "Damian, kau mengejutkanku. Di mana Ben? Apa kau berjalan sendirian?" ucapnya kemudian berdiri untuk menyambut Damian. Lyla kemudian membimbing Damian untuk duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Damian sekilas sambil tersenyum simpul sebelum dirinya ikut duduk di sebelahnya. "Apa yang kau tertawakan?" tanya Damian. "Kau melihatnya? Aku hanya sedang memperhatikan penampilanmu saja. Sekarang kau tak mengenakan kacamata hitammu lagi sesering sebelumnya dan terlihat lebih kasual," jawab Lyla. "Itu karena aku tak ingin ada benda yang menghalangi visualisasiku terhadapmu. Dan jika di dalam ruangan, sepertinya tak masalah bagiku jika tak !engenakan kacamata. Apa penampilanku menakutimu?" tanya Damian lagi. "Oh, Damian ... " Lyla menghela napasnya. Ia merasa seketika diserang oleh perasaan tak nyaman saat Damia
"Apa kau yakin?" tanya Damian lagi. "Ya, tak apa-apa. Apa kau khawatir? Aku bersama Allen, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Walau ia mungkin tampak ceroboh, tapi ia cukup memiliki kemampuan yang bagus dalam bela diri. Ia dapat melindungiku dengan bekal tiga medali kejuaraan yang pernah diraihnya," jawab Lyla. Damian tersenyum simpul, "Oke, aku akan menyertakan Ben bersamamu." "No, biarkan Ben di sini. Kau memerlukannya untuk berada di sampingmu. Dan ingat, jangan menyentuh makanan atau minuman apapun yang mencurigakan sebelum aku kembali," ucap Lyla lagi. " Hari ini rencananya ia akan menemui bibinya untuk sekadar berkunjung dan melihat keadaannya. Setelahnya, ia akan menemani Allen untuk melihat lokasi pabrik kecil yang dimaksud Damian yang kebetulan lokasinya tak terlalu jauh dari rumah bibinya. "Jangan terlalu lama atau aku akan kelaparan sembari menunggumu pulang," goda Damian. "Jangan khawatir, aku tak akan lama," Lyla mendaratkan ciuman kecil di atas bibir Damian dengan
Sekepergian Lyla, Damian yang telah ditemani oleh Ben, memerintahkan dirinya untuk membawanya ke garasi. Ia berencana pergi dengan dua pengawal pribadinya. Damian membawa serta Ben dan Joe untuk ikut bersamanya. Damian berencana untuk mengunjungi Sammy secara diam-diam. Dan seperti biasanya juga, ia akan menukar mobilnya terlebih dahulu di dalam bengkel Harvey sebelum ia melanjutkan perjalanannya. Kali ini, ia tidak mendapati keberadaan para penguntit yang biasanya mengikutinya setiap kali ia keluar dari rumahnya. Sehingga ia dan kedua pengawalnya kemudian dapat dengan leluasa mendatangi rumah Sammy. Sebelumnya, dua hari yang lalu Sammy telah menghubungi Ben dan memintanya untuk datang ke kediamannya karena perkembangan penyelidikan yang ia miliki. Maka dari itu, Damian memutuskan untuk pergi ke kediamannya saat waktunya telah tepat. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Sammy begitu Damian duduk di kursi tamunya. "Baik dan buruk, yang mana yang ingin kau ketahui terlebih dahulu?" tanyanya
Lyla dan Allen yang telah puas mengitari area pabrik, akhirnya sampai juga di bagian gudang penyimpanan di area belakang pabrik.Gudang penyimpanan gandum yang letaknya tak jauh dari perkebunan di sekitarnya, terlihat cukup besar dan sama-sama tampak terlihat tua."Aaaakh!" tiba-tiba terdengar sebuah pekikan dari seorang wanita yang asalnya dari dalam gudang.Lyla dan Allen saling bertatapan sejenak dan memutuskan bahwa ada sesuatu yang salah di dalam sana. Dengan cekatan, Allen segera berlari diikuti oleh Lyla di belakangnya.Allen segera menghambur masuk. Dan saat didapatinya pemandangan yang tampak mecurigakan di depan matanya itu, saat itu pula instingnya bereaksi."HEI!!" teriaknya keras pada enam orang pria yang sedang mengelilingi seorang wanita yang sedang terduduk di tumpukan gandum dengan wajah ketakutannya. Jelas! keenam pria itu pasti memiliki maksud buruk kepadanya."Apa yang kalian lakukan? Pergi dari sini!" teriaknya.L
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber