Miskin itu Memalukan 30Menolak bercerai“Apa? Mamaku digerebek?” Aku nyaris berteriak dan seketika berdiri. Tanganku pun spontan menutup mulut yang menganga. Benar-benar kaget dengan berita yang disampaikan oleh Tante Linda tetangga mama. “Ba_bagaimana ceritanya Tante?” Tanyaku dengan dada yang berdebar kencang. Mamaku digerebek sama Om Arif karena ketahuan selingkuh? Ya, Allah, benarkah itu? Lunglai semua persendianku rasanya. “Mamamu digerebek sama laki-laki bernama Sandy di sebuah hotel!” Tante Linda berbicara tergesa-gesa saking semangatnya bercerita. Sandy? Itu kan papa? Apa maksudnya …. Astaga! Jangan-Jangan benar omongan tante Nina kalau mama dan papa ada apa-apa. Mataku melebar sempurna. Nafasku pun mendadak cepat dan rasanya susah mau menelan ludah. Perlahan aku menjatuhkan bobot di tepi tempat tidur, kepalaku mendadak pening. “Halo, Ufi, kamu masih di situ?” Kembali suara teriakan tante Linda nyerocos dari ponsel yang menempel di telingaku. “Ma_masih, tante ….” Lirih
Miskin itu Memalukan 31Demi anak alasan mama bertahan. Sejenak suasana hening. Aku masih tidak percaya dengan jawaban mama yang memilih bertahan dari pada bercerai dengan Om Arif. Seandainya bukan mamaku pasti sudah keluar kata- kata mutiara dari mulutku, bo-doh, pea, gi-la, dan sebagainya untuk perempuan di depanku ini. Om Arif tiba-tiba berdiri dan berjalan melalui kursi yang diduduki mama dan aku. Lelaki itu berjalan dan masuk ke kamar dengan membisu. Ekor mataku mengikuti setiap gerakannya. Ruly hanya duduk dan diam setelah perseteruan hebat antara mama dan om Arif mereda. Mungkin saja suamiku ini syok melihat kenyataan keluargaku. Ruly dibesarkan dalam keluarga utuh dan harmonis. Mama papanya selalu mempertontonkan hal yang positif di depan anak-anaknya termasuk pada menantu. Mama dan papa mertuaku jarang berselisih. Kalau toh ada perbedaan pendapat mereka berusaha menyelesaikan dengan kepala dingin. Tidak pernah terdengar teriakan di rumah Ruly selain teriakan gembira dan ca
Miskin itu Memalukan 32PoV FatmaDijual suami sendiriAku masih termenung duduk di ruang tamu meskipun Ufi dan Ruly sudah pergi. Prahara yang baru saja terjadi hanyalah sebuah kesalahan pahaman saja menurutku. Aku tidak selingkuh. Justru mas Arif yang paling senang dengan peristiwa ini. Arif lah yang telah menjebak Sandy untuk datang ke Semarang menemuiku. Saat itu suamiku berdalih meminjam ponsel milikku. Aku tidak curiga dan memberikannya. Tahu sendiri misalkan aku menolak meminjamkan ponsel pasti Arif akan mengamuk bahkan menghancurkan ponselku dengan sekali banting. Dari pada ribut, aku memberikannya. Ponselku tidak di password, lagi-lagi untuk menghindari keributan. Paginya aku menerima pesan dari Sandy yang telah menunggu di tempat biasa. Karena merasa tidak pernah janjian aku sebenarnya menaruh curiga. Berhubung Sandy sudah sampai di Semarang akhirnya akupun menemuinya. Semua ini ternyata hanya jebakan. Arif lah yang membuat pesan seolah-olah aku menyuruh Sandy untuk datang
Miskin itu Memalukan 33Masih pov FatmaSetuju bercerai dengan syaratBerlari telanjang kaki dan tergesa gesa aku memasuki gang rumahku. Malam masih gelap gulita, rumah tetangga masih tertutup rapat. Aku tidak peduli. Dengan menangis terisak isak dan nafas yang sesak aku menuju rumahku. Pintu depan tertutup rapat tapi, aku tahu harus lewat mana. Pintu belakang pasti tidak dikunci. Aku tahu karena pintu papan kayu itu memang tidak ada lobang kuncinya jadi hanya ditutup begitu saja. Se-tan benar Arif, dia menjualku pada lelaki bopeng hidung belang, an-ji-ng! Batinku terus mengumpat. Nasib baik aku bisa lolos. Tadinya aku sudah berpikir akan menjadi santap malam lelaki bau itu. Untung lah otakku bekerja cepat untuk menemukan jalan melarikan diri dari pria senang tadi. Berpura-pura pasrah aku membiarkan hidung belang itu men-cum-bu dan merasa wangi ragaku. Saat lidah terlena dalam manisnya leher jenjang, aku menggigit kuat telinganya. Pria itu meronta saat menyadari bidadari berserah d
Miskin itu Memalukan 34Kabar baik untuk MamaTerik banget cuaca siang ini. Rasanya pingin minum yang seger-seger. Aku menyuruh Pak Darmin untuk memetik kelapa muda di pohon depan toko. “Ambil lima sekalian, Pak,” kataku. Dengan patuh Pak Darmin segera memanjat pohon kelapa. Memakai golok, Pak Darmin memangkas kelapa muda. Dari dalam toko aku dan mbak Wuri melihat buah kelapa yang jatuh menggelinding di tanah. “Ambilin tuh, mbak,” kataku, “sekalian bencah buat aku, ya?” Nggak sabar rasanya ingin mengguyur tenggorokanku yang kering dengan segar dan manisnya air kelapa hijau. Di depan toko ada dua pohon kelapa dan di belakang ada banyak, lima mungkin. Semuanya berbuah. Mbak Wuri berjalan kembali ke toko dengan membawa sebutir kelapa yang sudah dibencah. Aku tersenyum lebar dan bersiap menyambut, di tanganku sudah ada sendok sama sedotan. Srupp.Suara air kelapa masuk ke mulutku melalui sedotan. Aku tertawa sama mbak Wuri. Toko nggak begitu ramai hari ini jadi bisa nyantai. Aku meng
Miskin itu Memalukan 35Ngomongin Poligami“Mama hati-hati, ya,” kataku sambil memeluk cium mama mertua. Pagi ini aku dan Ruly mengantar mama dan Papa ke Bandara, mereka serius pergi ke Sumatra rupanya. Papa berpelukan dengan Ruly sambil mengelus pundak anak lelakinya itu. “Kabari kalau sudah sampai di sana, ya, Pa,” kata Ruly. “Pasti,” jawab papa tersenyum lebar. Saat tiba perpisahan dengan Ruly, drama nangis-nangis terjadi. Mama Rosita terisak-isak memeluk dan mencium Ruly. “Mama pergi dulu, kamu baik-baik, ya. Makan yang banyak, jaga rumah, kerja yang baik, hikss hikss,” mama mengusap air mata dengan saputangan yang dibawanya. Aku tersenyum dan merasa geli. Bukan mau mengolok tapi, mama ini masih menganggap Ruly anak kecil. Padahal Ruly sudah memiliki aku, istrinya. “Iya, Ma,” sahut Ruly dengan mata berkaca-kaca. Entah kenapa perasaanku kemudian seperti terhanyut melihat kasih sayang yang dipertontonkan ibu dan anak ini. Seumur umur aku tak pernah punya momen mengharukan sepe
Miskin itu Memalukan 36Kicauan Siva Seperti biasa, mobil mas Ruly parkir di depan rumah orang kalau datang ke rumah mama. Banyak anak kecil yang berlarian dan berseliweran saat aku dan Ruly berjalan memasuki gang. Tak ada wajah Siva yang kutemukan diantara kumpulan bocil tadi. Beberapa tetangga di sepanjang gang tersenyum padaku saat aku menganggukkan kepala. Ada juga beberapa yang berbisik-bisik saat melihatku. Orang sirik, biasa. Dulu aku tinggal di sini, miskin dan tidak punya kendaraan apapun bahkan sepeda motor juga tak punya. Ke mana mana naik angkutan umum bersama Mama. Sekarang aku ke sini naik mobil bagus, pasti ada jiwa-jiwa yang iri. Ada sepeda motor yang biasa dipakai Om Arif teronggok di sudut rumah. Aku menarik nafas dan mengembuskannya berat. Malas banget ketemu orang itu. “Ada Om Arif,” kataku pada Ruly. “Biarin aja, kita kan nggak ada perlu sama dia,” sahut suamiku sambil terus berjalan masuk halaman. “Assalamualaikum,” aku mengucap salam di depan pintu yang te
Miskin itu Memalukan 37PoV FatmaTuan Artha Wijaya“Di mana Siva?”Mataku melihat pada sosok yang berkacak pinggang menatapku. “Ikut Ufi,” jawabku datar.“Siapa yang menyuruh?”“Aku.”tatapku tajam dan membuat lelaki yang kusebut suami itu meradang. “Kau ini benar-benar ya, Fatma, istri tidak berguna, istri pembawa sial, durhaka!” Jarinya mulai menunjuk diriku seolah mengutuk. “Hentikan menyebutku istri. Aku bukan istrimu lagi semenjak aku menuntut bercerai,” kataku sambil berdiri. Arif mendelik menakuti.“Selama aku tidak menceraikan, kau masih tetap istriku, gob-lok kau, Fatma!”Aku tidak peduli. Beranjak ke kamar dan duduk di kursi depan cermin menatap bayangan diriku yang layu. Widya mulai merias wajahku, membingkai alis, merona kelopak netra, dan membalur bibirku dengan kilap berwarna merah. Aku seperti mati yang tidak memiliki rasa. Membiarkan tingkah durjana melibas harga diriku demi lembaran bernomor seri. Cinta tak pernah salah hanya aku yang keliru karena melabuhkan rasa
Miskin itu Memalukan 62EndBahagia abadi untuk mama“Selamat, ya, Rul …”“Makasih, makasih.”Wajah suamiku semringah menerima ucapan selamat dari sahabat dan kerabat yang datang menjenguk ataupun menelepon. Aku kembali melahirkan seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah kali ini sehat wal afiat tak kurang satu apapun. Aku dan Ruly menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat ini.Sayangnya tidak ada mama yang hadir menunggui proses persalinanku kemaren. Tapi tak apa, ada mama dan papa mertua yang selalu menunggu sampai cucunya lahir, mereka juga orang tuaku. “Nanti fotonya tunjukkan ke mama, ya, mas,” ucapku pada Ruly. Di Lapas mama tidak boleh menggunakan ponsel tapi, aku boleh mengirim foto anakku ke petugas Lapas yang baik hati untuk menunjukkan foto anakku pada mama. Tentu saja aku masih menyuruh Ruly untuk datang menemui mama juga. Setelah melahirkan dan selama masa nifas aku tidak mengunjungi mama. Bukan apa-apa, mama mertua punya kepercayaan kalau wanita setelah melahirkan dan
Miskin itu Memalukan 61Aku bangga dengan mamakuBerita pem bu nuhan yang dilakukan mama dengan cepat tersebar dan menggegerkan kota. Semua orang membicarakannya. Sampai-sampai aku tidak berani ke toko. Kerjaku hanya melamun, diam, bahkan aku tidak merasa lapar sama sekali selama berhari-hari semenjak kejadian. Ruly dengan sabar menemani dan menyuapi aku makan. “Kamu harus makan, Ufi,” ucap Ruly berkali-kali. “Aku tidak lapar “ sahutku sambil menatap jauh ke luar jendela. “Nanti kamu sakit,” ujar Ruly lagi. Aku tidak menjawab, masih juga menatap hijaunya dedaunan yang terpampang di luar jendela. Terdengar Ruly menghela nafas. Dia menghampiri dan duduk di sampingku. “Aku kerja dulu,” ucapnya sambil memegang tanganku sebentar. Aku mengangguk samar. Ruly pun berjalan ke luar kamar dan meninggalkan aku seorang diri. Ruly tetap harus bekerja. Bagaimanapun dia harus mengurus ke lima toko miliknya. Tetapi, Ruly tidak full bekerja, dia hanya ngecek-ngecek saja dan pulang setengah hari
Miskin itu Memalukan 60Kejadian malam itu(Seperti yang diceritakan mama padaku)Om Arif datang ke toko mama dalam keadaan mabok berat malam itu sekitar pukul dua belas an. Mama bercerita, dia memang sudah jarang tidur nyenyak minggu-minggu terakhir itu karena stres. Mama merasa begitu ketakutan hingga badannya sering gemetaran sendiri seperti menggigil. Semua itu gara-gara Om Arif yang menerornya. “Fatma! Fatma!” Dengan sempoyongan dan berantakan Om Arif membuka pintu kamar dan berteriak memanggil manggil mama. Meski takut setengah mati, mama berusaha tenang. Mama hanya melirik dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. “Fatma!”Sekonyong-konyong Om Arif merebut ponsel mama dan membantingnya kuat hingga hancur berkeping-keping. Mamaku kaget dong, dia langsung bereaksi dengan mendorong kuat tubuh Om Arif menjauh darinya. Mama segera berjongkok dan mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. Mama sangat marah, karena itu adalah ponsel baru. Aku tahu, karena mama bercerita
Miskin itu Memalukan 59Pengorbanan seorang ibuMembuka mata aku merasa berada di tempat yang asing. Mataku mengedar di setiap sudut. Ada meja dengan komputer di atasnya, tembok bercat putih dihiasi bingkai foto orang berseragam polisi tergantung. Tubuhku tergeletak di sofa berwarna biru gelap, baru aku menyadari, ini masih di kantor polisi. Uuh … aku melenguh dan menggerakkan anggota badan, berusaha untuk bangkit. “Ufi ….”Aah … mataku sayu menatap. Ruly mendekat dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” ucapnya dengan menopang separuh tubuhku. Aku mengangguk dan menyedu gelas yang disodorkan Ruly. “Aku mau duduk,” pintaku. Suamiku degan sabar membantu menyandarkan tubuh lemahku dan menata kedua kakiku ke bawah. Derit kursi roda datang mendekat, aku melempar pandangan. Pak Artha dengan kursi rodanya yang didorong supir, menuju kemari. “Sudah sadar, Ufi?” Tanyanya. Aku mengangguk.Ruly duduk di sampingku pada sofa panjang ini. Lelah hayati rasanya, aku menyandarkan kepala y
Miskin itu Memalukan 58MamaMelangkah lunglai aku menaiki tangga ke atas menuju kamarku. Pelan aku membuka dan menutup kembali pintu kamar. Aduh! Kaget aku ternyata Ruly tidak tidur. Suamiku itu duduk dan bersandar di tempat tidur dengan kaki selonjor. Dia menatapku. “Dari mana, sih, lama banget?” Tanyanya cemberut. Ruly ini jarang kesal sama aku, hanya saja kalau sakit dia lebih manja dan minta ditungguin. “Nemenin Siva belajar,” jawabku.“Aku mau minum,” katanya menunjuk botol minuman berwarna hijau di meja. Eh, ternyata habis, aku lupa mengisinya. Ruly aku suruh minum banyak-banyak tadi soalnya diare. “Bentar aku isi dulu.” Aku lalu keluar kamar lagi setelah mengambil ponselku di meja. Menuruni tangga ke lantai bawah untuk mengisi botol dengan air putih. Sebenarnya aku ingin mengajak Ruly untuk menjemput mama di toko sekarang juga sebab aku khawatir. Mama pasti belum tahu kalau sebenarnya Om Arif tidak meninggal dan sekarang menjadi buron. Sayangnya aku tidak tega memaksa Ru
Miskin itu Memalukan 57Kabar Buruk“Sudah baikan?” Tanyaku pada Ruly saat dia kelua dari kamar mandi untuk ke sekian kali. Suamiku menggeleng dan langsung tengkurap di tempat tidur. Ruly sakit perut dari tadi sore. Aku sudah membawanya ke dokter dan diberikan obat. Meski belum sembuh benar tapi, setidaknya Ruly sudah tidak kesakitan lagi. Mungkin salah makan atau apa, karena tadi siang dia tidak makan siang denganku. Ruly makan siang bersama rekan kerja. Suamiku ini tidak terbiasa makanan pedas soalnya. “Minum obatnya lagi,” kataku sambil menyodorkan beberapa butir obat kepada suamiku. Ruly menghela nafas kemudian melahap semua obat dengan bantuan air putih. “Istirahat, ya.” Aku mengusap dahi Ruly yang sedikit berkeringat. Suamiku mengangguk dengan mata terpejam. Aku berjalan ke kamar Siva untuk mengajaknya makan malam bersama. Tampak Siva sedang memeluk boneka besar Teddy Bear warna coklat miliknya. Aku membelikan boneka itu supaya Siva berani tidur di kamar sendiri. Aku bilang
Miskin itu memalukan 56PoV FatmaAntisipasiAku benar-benar tertekan dan ketakutan. Jantungku selalu berdebar tak menentu bila malam menjelang. Badanku sampai gemetar bila mendengar derit pintu belakang yang didorong dari luar. Itu tandanya Mas Arif datang. Iya, dia selalu datang seperti teror mengerikan dalam hidupku. Apa yang harus kulakukan? Dia membungkam mulutku dengan ancaman. Sekarang ini aku serasa menjadi binatang. Menjadi sapi yang diperah seluruh hartaku dan juga menjadi kuda tunggangan gratis hampir setiap malam. Aku benar-benar berada di puncak stres. Kebencianku menumpuk hingga aku berpikir untuk melenyapkan ba ji ngan itu. Bagaimana caranya? Kalau berduel Face to face dengannya sudah pasti aku yang keok dan aku tidak mau mengambil resiko itu. Mas Arif akan semakin brut-al menindas aku apa bila aku gagal mengeksekusi. Sebilah pisau dapur runcing sudah beberapa hari aku simpan di bawah tempat tidur. Untuk apa aku juga tidak tahu. Untuk membu Nuh mas Arif? Haha, sayan
Miskin itu Memalukan 55Sabotase CCTVAku kok curiga mama memasukkan laki-laki ke dalam rumah toko. Apa mama itu belum kapok juga dengan kegagalan rumah tangganya dulu? Jangan-jangan mama main back street gara-gara aku melarangnya menikah lagi? Aduh, konyol banget sih, kalau memang begitu. Mama itu sudah tua kok main petak umpet kek abege saja. Sebaiknya aku memeriksa rekaman CCTV saja. Dari kemarin aku batal terus melihatnya karena sibuk. Mumpung masih jam delapan malam aku lalu mengambil laptop dan mulai membuka laman sekuriti sistem yang terkoneksi dengan tokonya mama. Layar laptop terbagi menjadi empat bagian. Dua bagian memperlihatkan suasana dalam toko, yaitu menunjukkan gudang dan area meja kasir. Semuanya terlihat tenang dan aman-aman saja. Mataku melihat sisi hambar yang lain. Ini kenapa buram? Mataku memicing dan memperhatikan dengan seksama gambar ketiga. Kenapa rekaman kamera depan toko blank, nggak bisa dilihat? Apa rusak? Biasanya kamera di depan toko memperlihatkan a
Miskin itu Memalukan 54Siapa berbohong“Ufi, ini mama ganti uang setoran yang kemaren dipakai mama.” Mama menyodorkan beberapa gepok uang tunai padaku. Aku menatap tumpukan uang di meja. Mama dapat uang dari mana, kok bisa secepat itu?“Sudah punya uang, Ma?” Tanyaku melihat mama yang lalu menghempaskan bobot di kursi depanku. Teras rumah Ruly ini unik. Terlalu sempit ya kalau aku bilang teras. Mungkin ini yang disebut serambi. Tiga bangku kayu besar model kuno berpelitur coklat tua mengkilap ditata berjajar menghadap meja-meja kayu pendek. Di seberangnya bukan bangku tetapi sofa. Aneh, kan? Dua akuarium berukuran besar terpajang masing-masing di belakang bangku dan sofa, isinya ikan Arwana dan satunya berisi ikan cana. Belum lagi halaman luas yang mengelilingi. Masih ada 4 kolam ikan berukuran besar juga. Pepohonannya rindang dan tertata apik, membuat semilir angin terasa sejuk dirasakan. Terkadang juga bikin ngantuk. “Alhamdulillah, sudah, Fi,” sahut mama dengan tersenyum. “Da