Miskin itu Memalukan 17Hari H (bagian 2)Uang sumbangan Heh! Budhe melengos. Seolah tak memedulikan kemarahan mama, Budhe Lies berkelebat pergi meninggalkan kamar. Aku yang serba salah mengalihkan perhatian dengan sibuk merapikan kebaya pengantin putih tulang yang membalut tubuhku. Mama terdengar menghela nafas. “Bantu aku keluar, Ma,” kataku sambil mengulurkan tangan. Mama mengangguk lalu menuntun aku menuju pintu keluar. Mbak Putri dan sang asisten bergegas mengangkat ekor kebaya yang panjang agar tidak tersangkut sesuatu. Di luar kamar masih tersisa beberapa orang. Ternyata semuanya sudah menuju ballroom. Sebentar lagi acara ijab qobul akan dilaksanakan. Siva kecil melompat dari kursi saat melihat aku yang berbusana pengantin muncul. Anak itu terpukau melihatku, bibirnya membentuk huruf O dan matanya melebar. “Mbak Ufi mau jadi manten, ya?” Tanyanya lugu. Aku tertawa kecil dan mengangguk. Mama menggandeng tangan Siva untuk diajak mengantarku ke ballroom. “Ma, aku deg deg an,”
Miskin itu Memalukan 18PoV FatmaBertemu MantanPulang dari mengantar undangan pernikahan Ufi ke tetangga dekat , aku berjalan pulang. Nggak enak juga sih, ngundangnya mumpet-mumpet. Gimana lagi, jatah undangannya terbatas. Ufi cuma ngasih sedikit jadi aku harus putar otak siapa saja yang layak aku panggil. Pastinya akan mengundang gunjingan orang yang tidak aku kasih undangan. Dikiranya aku sombong karena besanan dengan orang kaya, padahal aku ini nggak mantu sama sekali. Semua dibiayai pihak lelaki. Sebagai orang tua aku merasa bersalah, merasa malu dengan Ufi dan keluarganya Ruly. Sepeser pun aku tidak keluar uang untuk pestanya anak perempuanku. Bagaimana lagi, aku memang tidak punya uang sama sekali. Jangankan untuk mantu, untuk makan sehari-hari saja aku kesusahan. Hatiku gerah rasanya setiap kali Ufi mengungkit biaya pernikahan. Anakku itu sampai seperti mengemis padaku. “Sejuta, dua juta aja, Ma,” katanya memohon. Ya Tuhan jangankan segitu, seratus juta pun kalau aku ini pu
Miskin itu Memalukan 19Gara-gara MamaDua hari setelah pernikahan aku dan Ruly menghitung uang sumbangan. Isinya beragam dari 50 ribu sampai satu jutaan. Kalau yang nyumbang lebih, mereka transfer. Jangan salah, uang sumbangan ini kelak juga akan dibalas. Artinya aku juga harus mengembalikan sejumlah yang aku terima. “Sudah dicatat semua, Fi?”“Sudah,” jawabku. Aku mencatat manual nama dan jumlah uang dari teman-temanku dan Ruly untuk mengingat. Dari semua amplop yang kubaca, tak satupun tertulis nama orang-orang dari kampung mama. Padahal jelas-jelas para tetangga mama datang dan menikmati makanan. Teringat uang sumbangan yang ditilep mama, akupun mengambil ponsel. Sedianya akan kutelepon mama untuk menanyakan tapi, berhubung ada ruly di kamar aku merasa sungkan. Lebih aman lewat WA saja. [ma, apa orang kampung kemarin pada nggak nyumbang?] tulisku dan segera terkirim ke mama. Langsung centang biru, berarti mama membacanya. [nyumbang, kok] balas mama.[mana, kok nggak ada namany
Miskin itu Memalukan 20Perempuan di rumah mamaPerhelatan akbar ngunduh mantu keluarga Pak Wondo sudah digelar. Aku telah resmi menjadi menantu perempuan di rumah ini. Seiring dengan itu akupun pindah dan tinggal di rumah megah orang tua Ruly. Semua saudara sudah pada pulang sekarang hanya ada aku, Ruly, mama dan papa saja.Barang-barang dari kost yang tidak seberapa aku bawa ke mari. Semuanya disimpan di dalam gudang. Beberapa baju, tas dan sepatu aku kirimkan ke mama biar dipakai. Lumayan kan bajuku mahal-mahal bahkan ada yang branded. Aku menghuni kamar Ruly berdua di lantai atas. Kamar dengan tempat tidur besar dan spring bed tebal merek import tersedia di sana. Ada kamar mandi di dalam dengan shower, bathtub dan water heater. Wardrobe berisi pakaian Ruly tertata rapi di dalamnya. Sambil berjalan tanganku menyentuh wardrobe berwarna terrakota ini, memanjang sepanjang tembok kamar sisi timur. Bagus sekali. Nanti aku juga akan memasukkan koleksi pakaianku di sini. “Ufi, sini.” R
Miskin itu memalukan 21Bertanya pada SivaMelihatku yang tak dapat mengendalikan emosi membuat suamiku khawatir. Dengan segera Ruly berpamitan pada mama dan sedikit memaksaku pulang.“Pulang dulu, Ma,” kata Ruly. Aku pun berpamitan dan segera keluar dari rumah mama. Rasa kesal masih menggumpal si hatiku. Wajahku merengut sepanjang jalan gang. “Mbak Ufiii!” Seorang anak kecil berseragam atasan kotak-kotak merah dan rok panjang berwarna merah berlari dari mulut gang dan dengan cepat memeluk pinggangku. “Siva, hati-hati, sekarang perut mbak ada adiknya,” kataku tersenyum. Siva tertawa senang. Aku membetulkan kerudung di kepalanya yang sedikit melenceng, membuat poni rambut adikku kelihatan. “Baru pulang?” Tanya Ruly melihat Siva. Gadis bermata bulat itu mengangguk. Aku membuka tas dan mengambil uang seratus ribu untuk kuberikan pada Siva. Bocah itu tersenyum lebar melihat uang. Persis seperti mama, girang banget kalau lihat uang merah. “Ini buat ditabung, ya?” Menunjukkan uang di
Miskin itu Memalukan 22Doa mama tak pernah putus Sebenarnya aku ingin berterus terang kalau akan membawa mama dan adikku tinggal bersama tapi, lidahku tak sampai. Bagaimana mungkin, mamaku dan adikku jadi satu dengan Mertuaku? Dikata keluargaku benalu nanti. Situasinya tidak mengizinkan aku untuk membahas, lebih baik aku diam. Melirik suamiku yang kicep, aku jadi kasihan. Tidak seharusnya aku mendorongnya dalam situasi yang sulit seperti ini. “Tidak apa kalau tidak boleh, Ma … Ruly akan tinggal di sini, selamanya menjaga mama dan papa,” ucap Ruly akhirnya. Mama dan Papa mengangguk. Aku baru berani mengangkat wajah untuk melihat. Syukur deh, Ruly tidak menyinggung tentang permintaanku membawa Mama dan Siva tinggal bersamaku. Malu-maluin, ide bo-doh ternyata. “Coba bayangkan, kalau tiba-tiba kamu dan Ufi keluar dari rumah ini. Apa kata para tetangga dan saudara? Disangka mama tidak bisa atau jahat sama menantu. Apa mama ini mertua jahat, Ufi?” Tanya mama dengan suara pelan. “Nggak,
Miskin itu Memalukan 23Malaikat kecilku pergi Tidak terdengar tangis bayi saat dokter mengangkat orok dari rahimku. Aku berusaha melihat walau dengan sedikit puyeng. Bayiku berwarna kuning atau mataku yang berkunang-kunang, ya? Atau mungkin kalau operasi cesar begitu, bayinya nggak nangis. Aku tidak tahu. Terlihat dokter melakukan suatu tindakan pada anakku tapi, tak terdengar tangis juga. Seorang perawat membawanya ke ruangan lain sedangkan dokter dan perawat yang lain dengan cepat menangani aku. Mereka mengeluarkan plasenta dan menjahit luka di perutku mungkin, karena aku sendiri juga tidak dapat melihatnya. Sampai pagi aku tidak dapat melihat anakku. Ruly, mama, papa dan beberapa saudara yang menunggu nampak sibuk. Keadaanku belum memungkinkan untuk bergerak leluasa. Lukanya belum kering dan juga aku merasa takut kalau banyak bergerak nanti jahitannya lepas dan perutku sobek. “Mas, apa anak kita baik-baik saja?” Tanyaku pada Ruly yang berdiridi samping tempat tidur. “Sedang d
Miskin itu memalukan 24Mamaku Pelakor?“Mana mungkin, tante, mamaku tidak seperti itu. Emang tante tahu apa?” Tanyaku setengah berbisik, takut disangka ngajak ribut dan mengundang perhatian orang rumah. Biarpun aku suka jengkel dengan mama, aku terhina juga jika mamaku yang udah miskin masih dituduh pelakor. “Saya membaca chat dari ponsel papamu, mamamu sering berbalas chat dengannya.” “Aduh, tante, begitu saja sudah curiga. Dibaca baik-baik dong chatnya, apakah ada yang menjurus ke perselingkuhan? Jangan asal nuduh lho,” kataku. Mama Nina, atau aku panggil tante saja lah, terdiam dengan wajah menahan kesal. “Tante jadi ke kamar mandi, nggak?” Tanyaku ketus, setelah melihatnya hanya mematung. “OK, Ufi, kalau kamu tidak percaya, tante akan cari lagi buktinya. Mamamu itu kegatalan sama suamiku!”Wajahku panas mendengar omongan tante Nina yang semakin menghina mama gatal. Dia ini kan lebih muda sari mama ngapain cemburu buta?“Betul tante, nuduh itu harus disertai bukti. Silakan tan
Miskin itu Memalukan 62EndBahagia abadi untuk mama“Selamat, ya, Rul …”“Makasih, makasih.”Wajah suamiku semringah menerima ucapan selamat dari sahabat dan kerabat yang datang menjenguk ataupun menelepon. Aku kembali melahirkan seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah kali ini sehat wal afiat tak kurang satu apapun. Aku dan Ruly menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat ini.Sayangnya tidak ada mama yang hadir menunggui proses persalinanku kemaren. Tapi tak apa, ada mama dan papa mertua yang selalu menunggu sampai cucunya lahir, mereka juga orang tuaku. “Nanti fotonya tunjukkan ke mama, ya, mas,” ucapku pada Ruly. Di Lapas mama tidak boleh menggunakan ponsel tapi, aku boleh mengirim foto anakku ke petugas Lapas yang baik hati untuk menunjukkan foto anakku pada mama. Tentu saja aku masih menyuruh Ruly untuk datang menemui mama juga. Setelah melahirkan dan selama masa nifas aku tidak mengunjungi mama. Bukan apa-apa, mama mertua punya kepercayaan kalau wanita setelah melahirkan dan
Miskin itu Memalukan 61Aku bangga dengan mamakuBerita pem bu nuhan yang dilakukan mama dengan cepat tersebar dan menggegerkan kota. Semua orang membicarakannya. Sampai-sampai aku tidak berani ke toko. Kerjaku hanya melamun, diam, bahkan aku tidak merasa lapar sama sekali selama berhari-hari semenjak kejadian. Ruly dengan sabar menemani dan menyuapi aku makan. “Kamu harus makan, Ufi,” ucap Ruly berkali-kali. “Aku tidak lapar “ sahutku sambil menatap jauh ke luar jendela. “Nanti kamu sakit,” ujar Ruly lagi. Aku tidak menjawab, masih juga menatap hijaunya dedaunan yang terpampang di luar jendela. Terdengar Ruly menghela nafas. Dia menghampiri dan duduk di sampingku. “Aku kerja dulu,” ucapnya sambil memegang tanganku sebentar. Aku mengangguk samar. Ruly pun berjalan ke luar kamar dan meninggalkan aku seorang diri. Ruly tetap harus bekerja. Bagaimanapun dia harus mengurus ke lima toko miliknya. Tetapi, Ruly tidak full bekerja, dia hanya ngecek-ngecek saja dan pulang setengah hari
Miskin itu Memalukan 60Kejadian malam itu(Seperti yang diceritakan mama padaku)Om Arif datang ke toko mama dalam keadaan mabok berat malam itu sekitar pukul dua belas an. Mama bercerita, dia memang sudah jarang tidur nyenyak minggu-minggu terakhir itu karena stres. Mama merasa begitu ketakutan hingga badannya sering gemetaran sendiri seperti menggigil. Semua itu gara-gara Om Arif yang menerornya. “Fatma! Fatma!” Dengan sempoyongan dan berantakan Om Arif membuka pintu kamar dan berteriak memanggil manggil mama. Meski takut setengah mati, mama berusaha tenang. Mama hanya melirik dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. “Fatma!”Sekonyong-konyong Om Arif merebut ponsel mama dan membantingnya kuat hingga hancur berkeping-keping. Mamaku kaget dong, dia langsung bereaksi dengan mendorong kuat tubuh Om Arif menjauh darinya. Mama segera berjongkok dan mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. Mama sangat marah, karena itu adalah ponsel baru. Aku tahu, karena mama bercerita
Miskin itu Memalukan 59Pengorbanan seorang ibuMembuka mata aku merasa berada di tempat yang asing. Mataku mengedar di setiap sudut. Ada meja dengan komputer di atasnya, tembok bercat putih dihiasi bingkai foto orang berseragam polisi tergantung. Tubuhku tergeletak di sofa berwarna biru gelap, baru aku menyadari, ini masih di kantor polisi. Uuh … aku melenguh dan menggerakkan anggota badan, berusaha untuk bangkit. “Ufi ….”Aah … mataku sayu menatap. Ruly mendekat dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” ucapnya dengan menopang separuh tubuhku. Aku mengangguk dan menyedu gelas yang disodorkan Ruly. “Aku mau duduk,” pintaku. Suamiku degan sabar membantu menyandarkan tubuh lemahku dan menata kedua kakiku ke bawah. Derit kursi roda datang mendekat, aku melempar pandangan. Pak Artha dengan kursi rodanya yang didorong supir, menuju kemari. “Sudah sadar, Ufi?” Tanyanya. Aku mengangguk.Ruly duduk di sampingku pada sofa panjang ini. Lelah hayati rasanya, aku menyandarkan kepala y
Miskin itu Memalukan 58MamaMelangkah lunglai aku menaiki tangga ke atas menuju kamarku. Pelan aku membuka dan menutup kembali pintu kamar. Aduh! Kaget aku ternyata Ruly tidak tidur. Suamiku itu duduk dan bersandar di tempat tidur dengan kaki selonjor. Dia menatapku. “Dari mana, sih, lama banget?” Tanyanya cemberut. Ruly ini jarang kesal sama aku, hanya saja kalau sakit dia lebih manja dan minta ditungguin. “Nemenin Siva belajar,” jawabku.“Aku mau minum,” katanya menunjuk botol minuman berwarna hijau di meja. Eh, ternyata habis, aku lupa mengisinya. Ruly aku suruh minum banyak-banyak tadi soalnya diare. “Bentar aku isi dulu.” Aku lalu keluar kamar lagi setelah mengambil ponselku di meja. Menuruni tangga ke lantai bawah untuk mengisi botol dengan air putih. Sebenarnya aku ingin mengajak Ruly untuk menjemput mama di toko sekarang juga sebab aku khawatir. Mama pasti belum tahu kalau sebenarnya Om Arif tidak meninggal dan sekarang menjadi buron. Sayangnya aku tidak tega memaksa Ru
Miskin itu Memalukan 57Kabar Buruk“Sudah baikan?” Tanyaku pada Ruly saat dia kelua dari kamar mandi untuk ke sekian kali. Suamiku menggeleng dan langsung tengkurap di tempat tidur. Ruly sakit perut dari tadi sore. Aku sudah membawanya ke dokter dan diberikan obat. Meski belum sembuh benar tapi, setidaknya Ruly sudah tidak kesakitan lagi. Mungkin salah makan atau apa, karena tadi siang dia tidak makan siang denganku. Ruly makan siang bersama rekan kerja. Suamiku ini tidak terbiasa makanan pedas soalnya. “Minum obatnya lagi,” kataku sambil menyodorkan beberapa butir obat kepada suamiku. Ruly menghela nafas kemudian melahap semua obat dengan bantuan air putih. “Istirahat, ya.” Aku mengusap dahi Ruly yang sedikit berkeringat. Suamiku mengangguk dengan mata terpejam. Aku berjalan ke kamar Siva untuk mengajaknya makan malam bersama. Tampak Siva sedang memeluk boneka besar Teddy Bear warna coklat miliknya. Aku membelikan boneka itu supaya Siva berani tidur di kamar sendiri. Aku bilang
Miskin itu memalukan 56PoV FatmaAntisipasiAku benar-benar tertekan dan ketakutan. Jantungku selalu berdebar tak menentu bila malam menjelang. Badanku sampai gemetar bila mendengar derit pintu belakang yang didorong dari luar. Itu tandanya Mas Arif datang. Iya, dia selalu datang seperti teror mengerikan dalam hidupku. Apa yang harus kulakukan? Dia membungkam mulutku dengan ancaman. Sekarang ini aku serasa menjadi binatang. Menjadi sapi yang diperah seluruh hartaku dan juga menjadi kuda tunggangan gratis hampir setiap malam. Aku benar-benar berada di puncak stres. Kebencianku menumpuk hingga aku berpikir untuk melenyapkan ba ji ngan itu. Bagaimana caranya? Kalau berduel Face to face dengannya sudah pasti aku yang keok dan aku tidak mau mengambil resiko itu. Mas Arif akan semakin brut-al menindas aku apa bila aku gagal mengeksekusi. Sebilah pisau dapur runcing sudah beberapa hari aku simpan di bawah tempat tidur. Untuk apa aku juga tidak tahu. Untuk membu Nuh mas Arif? Haha, sayan
Miskin itu Memalukan 55Sabotase CCTVAku kok curiga mama memasukkan laki-laki ke dalam rumah toko. Apa mama itu belum kapok juga dengan kegagalan rumah tangganya dulu? Jangan-jangan mama main back street gara-gara aku melarangnya menikah lagi? Aduh, konyol banget sih, kalau memang begitu. Mama itu sudah tua kok main petak umpet kek abege saja. Sebaiknya aku memeriksa rekaman CCTV saja. Dari kemarin aku batal terus melihatnya karena sibuk. Mumpung masih jam delapan malam aku lalu mengambil laptop dan mulai membuka laman sekuriti sistem yang terkoneksi dengan tokonya mama. Layar laptop terbagi menjadi empat bagian. Dua bagian memperlihatkan suasana dalam toko, yaitu menunjukkan gudang dan area meja kasir. Semuanya terlihat tenang dan aman-aman saja. Mataku melihat sisi hambar yang lain. Ini kenapa buram? Mataku memicing dan memperhatikan dengan seksama gambar ketiga. Kenapa rekaman kamera depan toko blank, nggak bisa dilihat? Apa rusak? Biasanya kamera di depan toko memperlihatkan a
Miskin itu Memalukan 54Siapa berbohong“Ufi, ini mama ganti uang setoran yang kemaren dipakai mama.” Mama menyodorkan beberapa gepok uang tunai padaku. Aku menatap tumpukan uang di meja. Mama dapat uang dari mana, kok bisa secepat itu?“Sudah punya uang, Ma?” Tanyaku melihat mama yang lalu menghempaskan bobot di kursi depanku. Teras rumah Ruly ini unik. Terlalu sempit ya kalau aku bilang teras. Mungkin ini yang disebut serambi. Tiga bangku kayu besar model kuno berpelitur coklat tua mengkilap ditata berjajar menghadap meja-meja kayu pendek. Di seberangnya bukan bangku tetapi sofa. Aneh, kan? Dua akuarium berukuran besar terpajang masing-masing di belakang bangku dan sofa, isinya ikan Arwana dan satunya berisi ikan cana. Belum lagi halaman luas yang mengelilingi. Masih ada 4 kolam ikan berukuran besar juga. Pepohonannya rindang dan tertata apik, membuat semilir angin terasa sejuk dirasakan. Terkadang juga bikin ngantuk. “Alhamdulillah, sudah, Fi,” sahut mama dengan tersenyum. “Da