"Apa? Gak salah?" kekehku. Lucu sekali ibu mertuaku ini."Sory. Mobilku suci dari pantat pelakor. Cari aja taksi sana. Berangkat sendiri, pulang juga sendiri. Byee..."Ku tutup mobil dengan gerakan gemulai. Ternyata bakat centil itu masih ada. Haha."Dinda tunggu, Dinda! Kamu gak bisa ninggalin kami."Brum!Ku lambaikan tangan dari kaca mobil tanpa menoleh."Wanita sialan!"Oke. Bye.****Kepalaku terasa sakit. Menuntaskan emosi ternyata tak selamanya melegakan. Terkadang menimbulkan sesal setelahnya. Tapi, yang aku rasa sekarang adalah sakit. Meyadari nasibku seburuk ini.Gontai kaki berayun memasuki rumah. Sepi. Tentu, para benalu itu kan sedang jalan-jalan. Ku lanjutkan langkah menaiki tangga satu persatu.Cklek! Dan pemandangan di dalam membuat mataku membulat."Apa yang kamu lakukan disini, mas Angga!"Pria itu mengangkat wajah pucatnya. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Dia berdiri dan menghampiriku yang mematung di depan pintu. Sejenak dia hanya menatapku dengan tatapan send
Setelah apa yang dilakukannya, aku tidak langsung bisa menerima mas Angga begitu saja. Rasanya masih terbayang ada orang lain yang sudah disentuh oleh mas Angga. Tapi, demi bagaimanapun juga dia sudah berjanji. Jadi, mau tak mau, aku harus merawatnya lagi seperti dulu. Panasnya sudah turun. Hanya tinggal flu.Dan kini dia minta disuapi makan. Tak apa. Tak ada salahnya membuat pria ini kembali ke pelukanku. Itu akan membuat pelakor dan ibu mertua meraung tak terima. Aku tidak perlu bermain kotor untuk membuat mereka tersiksa secara perlahan."Terimakasih, sayang. Aku janji akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuktikannya."Bibirku tersungging tipis. Meski aku masih mencintainya, tapi sakit itu masih ada. Menjaga diri untuk tidak terlalu larut dalam cinta adalah cara terbaik menjaga diri dari kehancuran. Lelaki itu terus tersenyum dengan mulut mengunyah makanan. Sayangnya kemesraan yang baru berjalan beberapa waktu itu harus terjeda lagi. Apalagi kalau bukan karena ibu mertua yang
"Papa... Papa... Endon...""Papa lagi sibuk. Ikut mama aja sana."Padahal aku lihat mas Angga tidak ngapa-ngapain, cuma memotong kuku. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Menatap layar kaca."Papa... Huwaa!"Bocah itu meraung. Sampai volume tivi pun kalah."Astaga... Cucu oma.""Ikut papa... Huwaa...""Ya ampun, Angga. Ini loh, Vino mau ikut kok dicuekin. Gendong dulu, nih.""Angga sibuk, Bu.""Sibuk apa? Motong kukunya kan bisa nanti lagi. Wong anaknya nangis keras sampek guling-guling gini kok dibiarin aja kamu ini."Kulihat mas Angga malah beranjak ke arah tangga. Menapakkan kaki panjangnya ke tiap anak tangga."Angga!"Mas Angga benar-benar tak peduli."Ya ampun anak itu. Lama-lama bikin stress."Aku tersenyum tipis. Jahat ya? Gak papa deh, sesekali."Cup... Cup sayang. Udah. Ikut oma aja ya? Papa lagi capek. Belum sembuh.""Papa... Huwaa... Papa nakal!""Udah... Cup... Cup. Vino nonton kartun aja ya? Mau? Nonton Upin Ipin?"Entah apa reaksi anak itu, netraku tak teralih dari layar
"Apa pernah aku mengatakan menyesal menikah denganmu, hmm?"Aku memalingkan wajah. Berjalan ke arah meja rias. Mendudukkan pantat di kursi. Lantas memakai krim wajah."Aku tidak membahas pernikahan kita. Tapi, apa kamu menyesali keputusanmu menyetujui persyaratanku?" ucapku, melihat pria itu dari pantulan kaca rias. Dia tersenyum. Lagi-lagi memeluk leher ku dari belakang, meletakkan kepalanya di pundakku."Apa kamu pernah mengobrol dengan Riri?""Untuk apa?" balasku tak suka."Akan lebih baik kalau kamu mengkaji inti permasalahan kita, sayang.""Tidak... Jangan salah paham dulu." aku mendengkus. Hampir menyemprotnya dengan ucapan kasar, tapi dia menyadarinya lebih dulu. Buru-buru menyahutnya."Aku hanya tidak ingin kamu menyimpan dendam, Din. Bagaimana pun juga, Riri itu korban. Kita sama-sama tidak menginginkan situasi itu. Coba bayangkan, terjebak dalam situasi terduga, tentu menyakitkan. Rasanya tidak etis jika kita membuatnya tersiksa.""Aku tidak peduli."Beranjak bangkit, hingga
"Angga! Kau tidak boleh pergi! Angga!"Suaranya bahkan ibu mengejar Mas Angga. Aku membuka pintu mobil, namun pria itu lebih dulu mencegahnya. "Aku yang nyetir." aku mengangkat bahu, menyerahkan kunci mobil padanya. Lalu pindah haluan. Ibu masih berteriak memanggil mas Angga. "Anakmu sakit," ucapku saat di perjalanan."Tidak apa. Sudah ada ibu dan mamanya.""Kamu tidak khawatir?" tolehku. Mas Angga diam saja. Pandangannya datar menatap jalanan depan."Belum terlambat kalau mau kembali. Pulanglah."Dia menoleh, pandangan kami sempat bersitatap. Sejenak kemudian dia menggeleng."Tidak. Aku sudah berjanji denganmu.""Aku memberimu izin.""Pantang seorang pria menghianati janjinya, Din.""Baiklah. Itu terserah kamu. Setidaknya aku sudah memberimu izin. Jadi, jangan menyesal ataupun menyalahkanku jika ada sesuatu yang terjadi."Mas Angga terdiam. Tapi sama sekali tidak memberi tanda bahwa dia akan memutar haluan mobil.****Aku tengah berkutat dengan layar laptop. Mengamati setiap huruf
"Aset-aset aman kan?"Aku mengangguk. Perasaanku mulai membaik. Malam ini bahkan kami mengobrol banyak. Termasuk mengenai kedatangannya yang tiba-tiba itu. "Syukurlah. Itulah, Din. Kenapa abang mewanti-wanti agar kamu tidak merubah nama perusahaan atas namanya. Ya karena itu. Manusia tidak selamanya di percaya. Bukannya abang menyamaratakan manusia seperti mertua dan suamimu itu loh. Tapi, sekedar jaga-jaga. Lebih baik, atas namakan aset dengan nama anak. Itu lebih terjaga.""Tapi, aku kan memang belum punya anak, Bang," cetusku yang sukses membuat bang Aldi merasa bersalah."Astaga! Abang minta maaf. Dasar mulut." menepuk mulutnya berkali-kali. Aku tersenyum. Bang Aldi tidak berubah sama sekali. Masih menjadi kakak yang sangat menyayangi adiknya. Buktinya, instingnya yang kuat membuatnya langsung terbang ke Indonesia. Meski kak Dini dan Jansen anaknya tak bisa ikut, karena Jansen belum libur sekolah. Dan memang benar, saat itu, aku tengah dirundung oleh mertua dan suamiku sendiri."
"Bagaimana, Lancar?"Aku mengangguk. Keringat dingin masih menetes di dahiku. "Sampai grogi begini. Hehe." Aku tersenyum, bang Aldi mengusapnya dengan tangannya."Berapa lama hasilnya akan keluar?""Kata dokter, sekitar lebih dua empat jam sampai seminggu.""Em, baiklah. Lalu, dokter bilang apa lagi?""Suruh istirahat. Soalnya habis ini tubuh bakal lemas. Efek dari tes tadi, Bang."Bang Aldi kembali mengusap kepalaku lembut."Ya sudah. Kita langsung pulang saja. Istirahat."Mungkin orang lain akan mengira bahwa kami ini sepasang kekasih daripada sekedar kakak adik. Tapi, begitulah, kami saling menyayangi.*****Selama bang Aldi disini, dia selalu mendampingi kemanapun aku pergi, termasuk saat di kantor. Katanya, khawatir mas Angga atau keluarganya akan menggangguku. Aku tertawa menimpalinya. Dia terlalu khawatir. Tapi aku suka.Dua hari kemudian, surat hasil tes keluar. Bang Aldi yang mengambilnya ke rumah sakit. Aku sendiri tiduran di rumah. Malas untuk keluar. Aslinya juga deg-dega
Bang Aldi, sumpah. Lama banget dia. Aku saja sudah selesai dari tadi. Menunggunya di sofa ruang tamu sambil bermain ponsel. Abangku satu itu, kalau sudah beol, bisa betah satu jam lebih disana. Bahkan pernah sampai dua jam. Entah tidur atau ngapain. Betah amat di WC.Bunyi bel pintu mengalihkan perhatianku dari ponsel. Aish! Pasti bang Aldi nih yang mengunci pintunya. Aku segera menghentikan kegiatanku. Memutar anak kunci, dan menarik knopnya."Ya, ada ap-- Mas Angga!" pekikku kaget. Pria itu menatapku datar. Langsung melenggang masuk."Tunggu, Mas. Ngapain kamu kesini.""Ngambil baju sama barang." Datar sekali ucapannya. Aku membuntutinya dari belakang.Dia berbalik. Mengeluarkan sebuah surat dan kembali melanjutkan langkahnya."Apa ini, Mas?""Surat cerai. Tanda tangani dan kita bertemu di pengadilan.""Siapa, Din?"Langkah mas Angga terhenti mendadak mendengar suara teriakan bang Aldi dari kamar. Membuatku menabrak punggungnya. Aku meringis, mengusap dahiku."Kamu bersama pria?" uc
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z