Tempo hari aku bertemu Pram, kami akhirnya bertukar kabar dan berbincang sambil menikmati secangkir kopi. Setelah keluar dari apartemen Pak Seno, aku memutuskan tinggal di rumah Indi untuk sementara waktu. Terkadang aku juga pindah ke rumah Nita, bahkan Mey juga, sampai aku menemukan tempat tinggal baru.
Pram memberitahukan, kalau sekarang dia sudah pindah ke sebuah apartemen yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada teror hantu atau pembunuh berantai seperti yang sudah-sudah. Bahkan dia menawarkan aku untuk menyewa salah satu tempat di sana. Aku pun mengiyakan dan akan melihat tempat itu, sebelum memutuskan menyewa atau tidak. Yah, aku harus lebih selektif lagi dalam memilih tempat tinggal. Aku tidak mau lagi kejadian kemarin terulang, atau kejadian yang lebih mengerikan lagi nantinya.
Rangga menyanggupi akan mengantarku ke tempat itu sepulang kerja. Aku yang seharian berada di cafe, guna menyelesaikan tulisanku, lantas segera bergegas k
"Elu udah denger kabar Ramon, Ros?" tanya Nita. Kami berempat sedang menikmati martabak manis yang dibeli mereka sebelum datang ke sini, ditemani secangkir teh hijau yang baru kubeli tadi. "Ramon? Kenapa?" tanyaku tidak bersemangat. Sejak tadi aku hanya memungut cacahan kacang tanah yang menjadi toping makanan di depan kami. "Dia gila! Masuk RSJ. Nah, anehnya, kata orang-orang, dia selalu histeris gitu sambil manggil nama Lili terus. Seolah-olah Lili itu selalu ada di dekat dia!" jelas Indi dengan antusias. "Ya iyalah. Kan emang Lili nempel mulu ke dia. Rasain!" ungkapku kesal. "Kok bisa gitu, Ros?" tanya Nita mencomot martabak keenam kalinya. "Mana gue tau." "Mungkin karena masih dendam gitu kali, ya? Kan elu cerita gimana kematian Lili waktu itu!" Mey menanggapi. Diskusi tentang Ramon dan Lili kembali memanas. Ternyata kondisi Ramon memburuk. Dia
[Aku mau ke rumah sakit, jenguk Ramon. Pergi sama Indi, ya.] Pesan itu aku kirim ke Rangga, saat jam makan siang. Seharian ini Rangga sepertinya sibuk dengan pekerjaannya. Karena sejak berangkat kerja tadi, dia belum membalas pesanku lagi.Aku dan Indi kali ini hanya pergi berdua saja. Dia sedang libur kerja. Mimpi yang aku alami semalam cukup membuatku berpikir kalau Ramon memang dalam bahaya."Ini tempatnya?" tanyaku dengan pandangan yang tidak percaya."Iya. Elu nggak pernah masuk RSJ ya?""Pertama kali.""Nah, makanya, cocok elu ajak gue. Gue kan mantan pasien. Hahaha." Tawa Indi terdengar lepas, tapu justru membuatku iba.Maksud dari perkataannya, bukanlah karena dia pernah menjadi salah satu penghuni di tempat ini, tapi dia hanya datang untuk konsultasi. Kehidupannya tidak semulus kelihatannya. Banyak orang di sekitarnya yang justru menjadi sumber masalah pribadinya.
Pukul 21.00Rangga sudah pulang sejak satu jam lalu. Dia tidak banyak menghabiskan waktu di sini, karena harus segera pulang setelah mendapat panggilan telepon dari Ibunya. Aku paham, jika Ibunya masih belum bisa memahami tentang hal ini. Sejak awal bertemu dengan orang tua Rangga, mereka tidak tau bagaimana masa laluku, apa saja yang sudah terjadi padaku, dan bagaimana aku bisa sampai menjadi seperti sekarang. Apalagi sejak awal, Rangga dan aku memang tidak saling memperkenalkan diri sebagai sepasang kekasih. Bahkan jika Orang tua Rangga tidak mengenal mantan mertuaku, aku yakin mereka tetap akan berpikir ulang untuk mengizinkan putra semata wayangnya menjalin hubungan dengan seorang janda yang sudah menikah dua kali.Ini bukan pertama kalinya, aku dipandang rendah oleh orang. Ini bukan pertama kalinya juga aku ditolak oleh sebuah keluarga. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya menjalin hubungan dengan wanita baik-baik, dan bukan dengan seorang janda yang pasti akan
"Menjauh dari dia!" perintah Bang Cen.Kami semua sudah menyingkir dari lorong rumah sakit, memilih berada di sekitar taman, agar sosok tadi tidak bisa mendekat. Tapi ternyata kami salah. Wanita mengerikan itu lantas menatap kami satu persatu. Setelah turun dari ranjang, ia mendekat ke Raja yang sedang berdiri dekat dengan Indi."Ndi! Awas! Pergi!" jeritku, khawatir terjadi hal buruk padanya.Raja berdiri di depan Indi, seolah sedang menjadi tameng dari sosok wanita penghuni rumah sakit ini. Tangan mereka masih saling menggenggam. Indi menatap Raja cemas. Tapi Raja justru terlihat tegar dan baik-baik saja. Mungkin dia sudah kebal akan kejadian supranatural seperti ini. Mengingat apa yang kami alami sebelumnya, jauh lebih membahayakan. Tapi tentu kami tidak boleh lengan. Bahkan aku sendiri tidak tau, siapa wanita itu dan alasan apa yang membuat dia seolah menghalangi kami masuk ke ruangan Ramon.Aku tau, kalau kami sedang diajak ber
Kau akan pernah tiba di satu waktu, melepaskan seseorang bukan karena kau tidak lagi mencintainya. Tapi kau tidak ingin melukainya lagi. Jika aku tiba di waktu itu, maafkan aku._Vonny Evelyn_..."Yaaa? Sebentar!" jeritku saat mendengar seseorang mengetuk pintu. Aku baru saja selesai mandi saat Rangga pergi ke kantornya.Pintu kubuka tanpa mengintip siapa tamu yang datang sepagi ini. Fenomena yang tidak biasa memang, mengingat aku jarang memiliki tamu, kecuali Rangga, Indi, Mey, Nita dan ..."Raja?! Kok elu di sini?" tanyaku heran saat mendapati pria itu berdiri di depan pintu kamar. Tampangnya terlihat lesu dengan lingkar hitam di bawah mata yang main tebal."Buruan ganti baju. Kita harus ke pema
SEOUL, KOREA SELATANTidak banyak impian yang ingin aku capai, tapi pergi ke tempat ini adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Seoul. Rasanya ini semua seperti mimpi. Aku sedang menginjakkan kaki di trotoar jalan, di mana pemandangan gedung pencakar langit menjadi salah satu icon yang kerap aku lihat di televisi. Untuk bahasa, aku sudah cukup mempelajari bahasa Korea sejak masih di Indonesia. Aku menyukai kebudayaan Korea, berikut tempat wisata dan makanan khasnya. Bahkan hal yang membuatku makin tertarik adalah industri perfilmannya. Sedikit demi sedikit aku mempelajari bahasa Korea, agar lebih mudah memahami saat menonton drama serialnya. Kini, aku berada di sini. KOREA SELATAN. Lebih tepatnya berada di Mapo-gu. Gu berarti distrik. Mapo-Gu berarti distrik Mapo. Ada sekitar 25 Gu di Seoul, dan aku berada di salah satunya.Aku datang saat Maret,
Antonio, begitulah mereka memanggil warga negara Spanyol tersebut, selama dia bekerja di sini. Nama belakang Antonio, terlampau panjang untuk aku ingat, dan rasanya hanya dengan menyebut nama itu semua orang mengenal baik pria berumur 38 tahun yang sudah bekerja 10 tahun di sini. Dia salah satu senior yang menjadi panutan mereka. Bahkan yang aku dengar dari desas desus pria itu, tidak ada catatan buruk mengenainya. Kecuali dia memiliki musuh di luar yang tidak kami ketahui. Karena banyak orang mengira dia tidak akan bunuh diri. Apalagi proyek film yang sedang ia garap, akan meraih tempat yang bagus nantinya. Banyak orang yang sudah menunggu film garapannya sejak lama."Padahal tinggal beberapa adegan saja untuk menyelesaikan film itu," gumam Yuna. Dia termasuk orang yang paling sedih di antara yang lainnya."Hm, mungkin dia ada masalah keluarga?" tanya Wong Sik mencari kemungkinan lain, sebagai alasan pria Spanyol itu mengakhiri hidupnya.
Yuna dan Antonio sudah menjalin hubungan rahasia sejak dua tahun terakhir. Ternyata pandangan orang tentang kehidupan yang sempurna pada diri Antonio dipatahkan oleh Yuna. Di antara kami berempat tidak ada yang menghujatnya, justru kami mencoba mencari tau, alasan di balik kematian Antonio. Karena menurut Yuna, kekasih gelapnya itu tidak mungkin bunuh diri. Memang benar, kalau Yuna dan Antonio sempat terlibat cekcok. Tapi katanya itu hanya akan berlangsung sebentar. Biasanya Antonio akan muncul dengan beberapa kejutan manis sebagai bentuk ungkapan damai dengan Yuna. Tapi Antonio justru tidak muncul setelah tiga hari, dan berakhir dengan kabar kalau dia meninggal. "Yuna, apa mungkin ada orang yang memergoki hubungan kalian, dan akan melaporkan ke istri Antonio?" "Tidak mungkin. Kami tidak pernah menunjukkan hal romantis saat di kantor. Bahkan sekali pun Antonio dan aku tidak akan saling sapa, apalagi saat banyak orang."
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be