Adrian pov.
Aku kecewa. Seharusnya bukan respon semacam itu yang kudapat darinya ketika menerima ciuman dariku. Kedua kali aku menciumnya, dan ia selalu menolaknya dengan cara seperti itu. Apakah dia tidak menyukaiku? Atau apakah aku tak pandai berciuman? Sepertinya bukan itu, karena aku rasa, aku cukup handal dalam melakukan hal itu.
Aku tercenung, menghela nafasku berkali-kali. setelah dia memberiku obat tadi pagi, aku menyuruhnya untuk membantu Margareth membuatkan kue untukku. Sebenarnya aku tak ingin kue, hanya saja aku sedang merasa canggung dengannya. Bukan tidak mungkin bukan aku menciumnya lagi jika terus bersamanya apalagi di dalam kamar ini hanya ada kami berdua. Aku akui tidak bisa menahan keinginanku setiap mulutnya bergumam lagu Ave Maria atau ketika ia menatap mataku dan memperlihatkan senyumannya. Dia begitu indah, lemb
Elisabeth pov. “Ini, makanlah yang banyak....” nenek Anna menaruh sepotong roti rawar yang sudah diolesi selai di piring Adrian. Pria itu menerimanya dengan senyum mengembang. “Nenek juga harus makan banyak nek.” Adrian menyuapkan irisan roti itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan pelan. Setiap berada di meja makan bersama dengan neneknya, aku melihat sorot mata Adrian begitu bahagia. Mungkin karena ia bisa kembali menemani neneknya makan setelah lama berada dalam keadaan yang kurang baik. Nenek Anna terkekah. “Nenek rasa umur nenek akan sangat panjang sekarang.” “Kenapa nek?” selaku yang sejak tadi hanya memperhati
Adrian Pov. Sore ini aku sudah siap dengan tuxedo hitamku. Sudah lama aku tak mengenakan pakaian formal seperti sekarang, dan aku pikir aku masih kelihatan pantas memakai pakaian seperti ini. Kami sudah siap, hanya tinggal menunggu Elisabeth yang sejak semalam tak kulihat batang hidungnya. Setelah kejadian penolakannya kemarin siang, aku terus mengurung diri di dalam kamar dan tak memperbolehkan siapa saja masuk selain Margareth. Bahkan Kevin harus menelan kecewanya saat aku berteriak padanya di depan pintu agar tak mengangguku karena aku sedang berkonsetrasi membaca. “Coba hubungi Elisabeth Adrian....” Kata nenek dari dalam mobil. “Atau aku jemput ke kamarnya saja nek?”timpal Kevin yang berdiri
Adrian POV. “Iya....pulanglah dulu dan rawat ibumu.” Ku lihat nenek tengah berbicara dengan seseorang dari balik telepon. “Siapa nek?” tanyaku yang baru saja datang dari stand minuman. Ku ulurkan segelas minuman padanya, karena sejak tadi nenek belum menegguk air sedikitpun. “Margaeth.” Jawab nenek sambil memasukkan ponselnya ke dalam handbag kecil yang dibawanya. “Ibunya masuk rumah sakit, dan dia ijin untuk pulang.” Aku mengangguk. Margareth memang masih memiliki seorang ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sudah beberapa kali nenek memintanya untuk pensiun jika memang ingin benar-benar merawat ibunya, tapi Margareth ma
Elisabeth POV. aku membuka mataku pagi ini dengan kalimat syukur yang terus menerus aku ucapkan di dalam hati. Akhirnya, aku masih bisa melihat indahnya matahari pagi setelah kejadian semalam, karena ternyata Tuhan selalu memberikan sebuah keajaiban dari setiap keadaan, buktinya pangeran berkuda putihku datang menyelamatkanku saat aku hampir saja tak punya harapan. “Selamat pagi....” pintu kamarku terbuka dan sosok Adrian muncul membawa baki berisi teh hangat dan kue. Aku tersenyum kecil. Ingatanku mengembara bahwa ia menemaniku
Elisabeth POV. Berulang kali aku menarik gordyn jendela, berharap melihat langkahnya memasuki halaman depan pavillium dan akhirnya mengetuk pintu kamarku. Tapi kenyataannya, sudah lebih dari setengah hari aku menunggu, tak kulihat sosok itu. Yang ada hanya beberapa pelayan yang hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing. Aku menggerutu dalam hati. Bahkan aku masih ingat dengan sangat jelas bahwa Adrian mengatakan akan segera pulang setelah pertemuan. Nyatanya ia sedang berbohong kali ini. Aku mengusap wajahku dan jerit ponsel membuatku melonjak dari tepi jendela, lantas menghambur menuju kasur. Rebecca Calling…. Aku sedikit kecewa ketika nama yang muncul di layar ponsel bukan nama Adrian, namun nama sepupuku—Rebecca. Namun aku tak punya alasan untuk tak mengangkat telepon sepupuku itu, aku yakin ada suatu hal yang ingin dikatakannya. “Halo….” “El….” Lengkingan nyaring menusuk telingaku. Aku menjauhkan ponselku da
Adrian POV. Aku memarkir mobilku tepat di depan sebuah café berwarna coklat gelap itu. Café itu bertuliskan ‘close’ tapi di dalam sana, lewat jendela kaca yang lebar, aku melihat ada pesta yang begitu ramai dan berisik. Bahkan suara music yang menghentak-hentak itu terdengar sampai di telingaku. Akh, berisik sekali. Aku tidak suka. Orang yang aku cintai berada di dalam. Entah kenapa membayangkan begitu banyak lelaki mabuk di dalam sana membuat hatiku cemburu. Orang mabuk bisa melakukan apa saja bukan? Bagaimana kalau Elisabeth juga ikut mabuk dan melakukan hal-hal bodoh…..dan…. Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya terjadi. Gadisku tidak boleh di sentuh oleh sembarangan orang. Bahkan ketika aku ingat bagaimana Kevin hampir memperkosanya tadi malam, hatiku kembali memuncak panas. Sebenarnya aku ingin sekali memukuli wajah pria itu sampai ia tidak sadar diri dan masuk ICU—seandainya saja, jika semalam Justin tidak meleraiku. Aku mengambil ponsel
Elisabeth POV. Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi. Berkali-kali aku menggigit bibir, merapalkan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku. Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan. “Anda tunggu di sini.” Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ia lalu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas. B
Elisabeth POV. Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasien pun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit. “Ini mirip seperti de’javu.” Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku. Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El.” Ia mendongak menatapku. “Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana.”
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
Adrian POV.“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.“Sangat.”“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Adrian POV.“Kemana Elisabeth?” tanya nenek di sela-sela makan siang kami.“Dia pergi menjenguk mama-nya nek.” Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.“Oh….” Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.“Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek.” Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi bebe
Elisabeth POV.Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.‘Apa kamu ada waktu besok El?’‘Tidak!’‘Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.’Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.‘Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.’‘Apa kamu yakin El?’‘YES!’(sebuah gambar terkirim)‘Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.’Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Davi
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan