Adrian POV.
Aku memarkir mobilku tepat di depan sebuah café berwarna coklat gelap itu. Café itu bertuliskan ‘close’ tapi di dalam sana, lewat jendela kaca yang lebar, aku melihat ada pesta yang begitu ramai dan berisik. Bahkan suara music yang menghentak-hentak itu terdengar sampai di telingaku. Akh, berisik sekali. Aku tidak suka.
Orang yang aku cintai berada di dalam. Entah kenapa membayangkan begitu banyak lelaki mabuk di dalam sana membuat hatiku cemburu. Orang mabuk bisa melakukan apa saja bukan? Bagaimana kalau Elisabeth juga ikut mabuk dan melakukan hal-hal bodoh…..dan….
Tidak!
Aku tidak boleh membiarkannya terjadi. Gadisku tidak boleh di sentuh oleh sembarangan orang. Bahkan ketika aku ingat bagaimana Kevin hampir memperkosanya tadi malam, hatiku kembali memuncak panas. Sebenarnya aku ingin sekali memukuli wajah pria itu sampai ia tidak sadar diri dan masuk ICU—seandainya saja, jika semalam Justin tidak meleraiku.
Aku mengambil ponsel
Elisabeth POV. Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi. Berkali-kali aku menggigit bibir, merapalkan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku. Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan. “Anda tunggu di sini.” Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ia lalu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas. B
Elisabeth POV. Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasien pun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit. “Ini mirip seperti de’javu.” Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku. Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El.” Ia mendongak menatapku. “Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana.”
Elisabeth POV. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Adrian untuk pulang hari ini. Bagaimana kalau dokter Antony atau nenek Anna marah melihat Adrian meninggalkan rumah sakit dan aku yang disalahkan? Bagaimanapun juga, kondisinya belum stabil karena masih harus mendapatkan beberapa obat melalui vena-nya. Namun dari sikap Adrian yang bersikeras dan juga kalimatnya yang merupakan sebuah perintah seperti tadi membuatku mengalah. Aku tahu ia pasti akan sangat marah padaku jika aku tak menurutinya. Salju tiba-tiba turun ketika kami baru saja masuk ke dalam taxi. Cuaca malam cukup dingin, berkali-kali aku mencoba mengeratkan mantel yang menutupi tubuhnya agar ia tidak kedinginan. “Aku tidak kedinginan El….” Katanya ketika aku baru saja selesai memasang sebuah syal di lehernya. Bukannya menerima itu dengan terimakasih, ia malah menatapku tidak suka lalu melepas syal itu dan memakaikannya padaku. “Aku tahu kamu lebih kedinginan.” Gumamnya. “Aku tidak m
Elisabeth POV. “Aku pikir kau tidak akan datang.” David menyambutku dengan senyuman mengejeknya di balik kemudi. Aku menutup pintu mobil, lalu menoleh padanya. “Kalau aku benar tidak datang, apakah kamu akan pulang?” Pria itu tertawa, lalu menyerahkan segelas kopi padaku. “Ini…minumlah…” Aku menerima kopi itu dengan sedikit ragu. “Tenang, aku tidak menaruh racun sianida di dalam situ.” Aku menimang-nimang kopi itu sebelum akhirnya memegangnya dengan erat. “Aku juga tidak berfikir begitu.” Klik! Aku berhasil memasang seat belt dengan satu tanganku. “Aku hanya berfikir, jika kamu menginginkan sesuatu dariku ketika memberikan sesuatu seperti ini.” David tersenyum sinis sambil melajukan kendaraannya. “Apa kamu selalu berfikiran buruk tentangku El?” tanyanya tanpa menoleh. “Iya.” Sahutku jujur dan langsung membuat mata pria itu melebar sempurna. “Jujur sekali?” tolehnya sekilas. “Semenjak kamu menghil
Adrian POV. Aku menatap salju yang kembali mulai turun malam ini. Hatiku resah. Berkali-kali kuayunkan langkahku menuju gerbang hanya untuk memastikan Elisabeth sudah datang. Namun nihil, taka da yang melintas selain anjing liar yang kedinginan mencari makan. Aku mengambil ponselku lalu mencari namanya di antara barisan nama di kontak teleponku. Meskipun ia terlalu bahagia berkumpul dengan keluarganya, namun ia harus segera pulang. Karena hari semakin malam, dan salju semakin turun dengan deras. Aku tidak mau wanitaku kedinginan, dan bahkan tidak bisa pulang karena terjebak hujan salju nanti. Bukannya mendapatkan jawaban, ponsel itu malah mati. Hanya terdengar suara operator yang menyapaku dengan ramah, namun tak semerdu suara gadis yang sedang aku tunggu malam ini. Aku mendengus, lalu memakai mantelku. “Mau kemana Adrian?” tanya nenek ketika melihatku sudah mengenakan sepatu. “menjemput Elisabeth di depan nek.” Sahutku lantas berlalu.
Elisabeth POV. Aku melihat Andreas duduk terpekur di kursi tunggu rumah sakit dengan air muka keruh. Di sampingnya, berdiri Rebecca dengan wajah yang tak kalah cemas. Sesekali ia mengintip ke dalam IGD melalui jendela kaca buram itu, namun aku tahu jika hasilnya nihil karena di dalam banyak aktivitas dan ia juga tidak tahu mama di periksa di bagian mana. “Bagaimana mama?” langkahku terhenti tepat di depan Andreas. Pria itu mendongak menatapku, sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Adrian yang mengikutiku dari belakang. Mungkin Andreas terkejut karena aku tidak datang sendirian. Begitu juga Rebecca, ia juga menatap Adrian dengan ekspresi yang serupa. “Tadi tiba-tiba ia pingsan El.” Rebecca yang menjawab. Ia berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. “Tenanglah, dokter pasti bisa merawatnya dengan baik.” Aku mengangguk pelan, meskipun kalimat Rebecca sama sekali tidak bisa mengobati perasaanku. Semua orang pasti terkejut, terlebih ak
“Maaf menunggu lama……” Adrian membalikkan badan ketika mendengar suara itu menyapa telinganya. Senyumnya mengembang tiba-tiba dan diam-diam mengangumi gadis yang kini terlihat cantik dengan dress warna brick diatas lutut itu. Wajahnya tampak semakin manis dengan make up tipis serta rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Kamu cantik!” pria itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, membuat gadis yang berdiri di depannya itu tersipu malu. “Jadi, kemana kita pergi tuan muda?” ia menyusupkan tangannya di lengan Adrian. Bukannya menjawab, Adrian lebih memilih mengayunkan langkahnya meninggalkan pavillium. Elisabeth hanya mengangkat bahu, ia yakin jika ada sebuah kejutan yang disiapkan pria itu untuknya. Dan benar saja, di depan rumah tampak sebuah mobil limousine terparkir rapi di sisi jalan. Di depan mobil itu berdiri seorang lelaki patuh baya dengan jas hitam. Melihat kedatangan Adrian dan Elisabeth, pria itu lantas membukakan pintu. “Apa in
Samantha tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya ketika pagi ini di meja makan, papanya—Jacob Clark mengatakan bahwa siang ini Samantha harus menggantikannya untuk bertemu dengan Adrian Smith. Biasanya gadis bermata biru itu tidak begitu menyukai apa yang dikerjakan papanya di perusahaan. Ia memang suka dengan bisnis, tapi bukan berarti ia harus menggantikan papanya dan langsung mendapatkan posisi tinggi di perusahaan. Samantha adalah cerminan gadis pekerja keras. Ia pikir hidupnya akan biasa-biasa saja jika ia hanya menerima apa yang diwariskan orangtuanya tanpa usaha susah payah terlebih dahulu. Namun hari ini, ketika ia mendengar nama Adrian Smith disebut di tengah-tengah percakapan saat sarapan, ia langsung girang dan berkata ‘iya’, padahal papanya belum selesai dengan kalimatnya. Gadis itu tidak mau terlihat biasa saja di depan Adrian. Maka setelah sarapan, ia segera mengunci diri di kamar dan mengeluarkan semua bajunya dari dalam lemari. Mencoba satu
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
Adrian POV.“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.“Sangat.”“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Adrian POV.“Kemana Elisabeth?” tanya nenek di sela-sela makan siang kami.“Dia pergi menjenguk mama-nya nek.” Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.“Oh….” Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.“Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek.” Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi bebe
Elisabeth POV.Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.‘Apa kamu ada waktu besok El?’‘Tidak!’‘Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.’Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.‘Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.’‘Apa kamu yakin El?’‘YES!’(sebuah gambar terkirim)‘Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.’Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Davi
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan