Hawa dingin langsung menyapaku tatkala aku baru saja turun dari pesawat pagi ini. bandara Budapest Ferihegy terlihat megah dan bersih, tak banyak berubah dari kedatanganku setahun yang lalu. Ya, biasanya aku akan datang kemari setahun sekali, untuk memperingati ulangtahun mama dengan Andreas—papa tiriku.
Namun belum genap setahun, aku sudah haru kembali ke sini dan meninggalkan semua aktifitasku di Jakarta. Itu dikarenakan mamaku sakit.
Itulah kabar yang aku dapat dari Rebecca—sepupuku kemarin.
“Ada penyumbatan di jantung tante Lita. Dia membutuhkan operasi segera.” Kata gadis itu dari balik tetepon dan tentu saja langsung membuatku tak bisa memejamkan mata sedikitpun sejak aku menerima kabar tersebut. Bukan masalah penyakit jantung mama yang membuatku khawatir, karena aku yakin jika dokter-dokter jantung di sini amat sangat bisa diandalkan. Hanya saja aku memikirkan biaya untuk pengobatan mama, karena setahuku jika pembedahan dan obat untuk penyakit jantung itu tidak murah.
“Sorry....apa aku telat?” sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang.
Aku tahu pemilik suara itu. Rebecca sudah berdiri di belakangku. Gadis berambut cepak dengan mantel hitam dan angkle boot’s itu menatapku dengan cengiran khasnya.
“Oh...kapan kamu datang?” tanyaku.
“Baru saja.” jawabnya. “Apa kau sudah menungguku sejak tadi?”
“Tidak. Aku juga baru sampai.” Dia mengangguk saja lantas menggamit tanganku.
Kami berdua berjalan beriringan menuju parkiran. Tempat dimana mobil sedan era tahun sembilan puluhan milik Andreas terparkir.
“Apa kamu sudah makan El?” tanya Rebecca sambil memasang sabuk pengaman. Beberapa menit kemudian, gadis berambut pirang itu berhsil keluar dari parkiran dan melajukan mobilnya pelan.
“Sudah tadi di pesawat.” Jawabku. Mataku berkeliling memandangi interior mobil klasik cenderung butut ini dengan seksama.
Aku ingat jika mobil bekas ini dibeli oleh Andreas saat menikah dengan mamaku dulu.
“Apa tidak ingin makan lagi? Burger mungkin atau makanan lainnya sebagai cemilan?”
Aku menggeleng. “Makanan di pesawat cukup enak, dan aku menghabiskannya tadi.”
Sejujurnya aku tak nafsu makan. Pikiranku terus berada di rumah sakit. Dimana mama terbaring lemah tak berdaya di sana. Aku bisa membayangkan betapa cemasnya Andreas karena pria itu sangat mencintai mamaku. Delapan tahun lalu, mereka pertama kali bertemu di Bali. Saling jatuh cinta dan menikah. Tak ada alasan bagiku untuk tidak merestui hubungan mereka karena aku tahu jika mama juga masih membutuhkan sosok seorang lelaki setelah perceraiannya dengan papa. Hanya saja saat mama dan Andreas menawariku untuk ikut mereka ke Budapest, aku menolak. Aku lebih memilih tinggal di Indonesia karena aku malas beradaptasi dengan lingkungan baru apalagi di luar negeri. Dan Rebecca ini adalah keponakan Andreas yang sudah ikut dengannya sejak dia masih kecil.
****
Aku berjalan beriringan bersama Rebecca masuk ke dalam rumah sakit. Sesekali kami terlibat pembicaraan kecil mengenai penyakit mamaku. Dia bilang aku harus segera mendapatkan uang untuk operasi itu karena penyumbatan jantung mama sudah serius. Rebecca juga mengatakan sebenarnya mama sering merasa sesak nafas dan tidak enak badan, tapi dia selalu menolak setiap kali Andreas mengajaknya ke rumah sakit. Sampai akhirnya dua hari lalu mama benar-benar kesakitan dan mau tidak mau dia harus pergi ke rumah sakit untuk periksa.
Rumah sakit cukup ramai, kami melewati poliklinik yang kursinya hampir penuh oleh para pengunjung yang ingin check-up. Berkali-kali kami berpapasan dengan orang-orang denga wajah payah dan pucat karena sakit. Aku sebagai orang yang sehat memberi mereka jalan.
“Ayo El, dokter bilang ingin bertemu denganmu...” Rebecca mempercepat langkahnya. Menyalip seorang pria di atas kursi roda bersama dua orang wanita.
Aku mengikutinya. Namun belum sampai aku kembali mensejajari Rebecca, sebuah tangan mencekal pergelanganku. Aku terkesiap, reflek langsung memutar badanku.
“Lilly....?” suara itu terdengar merdu di telingaku.
Aku mengerjapkan mata tak mengerti. Dia seorang lelaki yang duduk di atas sebuah kursi roda. Wajahnya tampan, dengan alis tebal dan hidung mancung. Kulitnya putihnya lebih terkesan pucat.
“Maaf anda salah orang.” Kataku kemudian. Namun dia tak bergeming, justru semakin erat meremas pergelanganku.
“Adrian....kamu....?” Seorang wanita yang terlihat sudah tua mendekati pria yang dipanggil Adrian itu. wajahnya tampak terkejut, pun juga wanita yang lebih muda yang tadi mendorong kursi rodanya juga tak kalah terkejut. Mereka berdua menatapku dan pria itu bergantian, dan aku semakin bingung.
“Akh kepalaku....” pria bernama Adrian itu tiba-tiba melepaskan tangannya dariku dan memegangi kepalanya. Dia mengerang dan terlihat kesakitan.
“Adrian...Adrian....kamu kenapa?!” wanita tua itu menggoyang-goyangkan tubuh pria itu. “Margareth....Margareth.....cepat panggilkan dokter!” wanita bernama Margareth itu mengangguk kemudian berlalu begitu saja dengan berlari.
“El.....apa yang kamu lakukan?!” teriakan Rebecca menyadarkanku.
“Ini.....” Aku bingung. Merasa jika pria ini kesakitan karena aku. Sejujurnya, aku paling tidak tega melihat orang kesakitan seperti ini.
“Cepat! Kita sudah ditunggu dokter!”
Aku mengangguk.
“Maafkan saya... Anda salah orang tuan.” Sekali lagi ku pertegas padanya bahwa aku bukan orang yang dia maksud sebelum akhirnya berlalu menyusul Rebecca yang sudah menungguku.
“Siapa?” Lirik Rebecca pada pria itu. “Sepertinya dia tidak baik-baik saja.” seorang dokter dan dua orang suster terlihat berlari ke arahnya diikuti oleh wanita yang dipanggil Margareth tadi.
Aku mengangkat dagu. “Entahlah....mungkin salah orang.” Diam-diam aku bernafas lega karena dia sudah mendapatkan pertolongan.
*****
Adrian pov. Apa kalian pernah mendengar bernafas tapi tak hidup? Mungkin inilah yang tengah aku rasakan selama dua tahun terakhir ini. jika memang hidup selalu dipenuhi oleh berbagai macam keajaiban, mungkin aku sedang menunggu hal itu. karena setelah semua kejadian itu, bagiku hidup adalah bencana. Aku selalu berusaha untuk mengakhiri ini semua, namun mungkin Tuhan terlalu baik padaku. Karena semakin aku mencoba, jiwaku selalu terselamatkan. Jika nenek selalu merapal doa tiap malam di kamar dinginnya nan gelap agar aku sembuh, aku juga melakukan hal yang sama namun dengan permintaan yang berbeda, yaitu aku selalu memohon pada Tuhan jika hidupku tak berarti, ambil saja karena aku sudah tak butuh itu semua. Aku tahu jika aku sakit, tapi bukan ragaku. Melainkan is
Elisabeth pov. Pertemuanku dengan pria bernama Justin tadi tak mudah aku lupakan begitu saja. Pria itu mengusikku, mengusik pikiranku tentu saja. Anggap saja dia seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari hidupku. Tidak...aku tidak menyebutnya jahat, aku tahu dia sedang menjalankana perintah. Tapi aku merasa jika timming-nya tepat sekali. Bagaimana dia tahu jika ibuku sekarang sakit, bagaimana dia tahu jika papa tiriku membuat pinjaman dengan rumah dan toko sebagai jaminan dan kami kini sedang kesulitan, bagaimana dia tahu bahwa aku dulu kuliah sebagai perawat meskipun pada akhirnya bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Bagaimana? Bukankah timming-nya pas saat dia menawariku untuk bekerja pada keluarga Smith dengan iming-iming membayar semua pinjaman yang ayah tiriku lakukan yaitu dengan Membantu cucu mereka untuk sembuh dari penyakit PTSD dan gangguan paniknya hanya karena kemarin di rumah sakit, pria yang duduk di atas kursi roda itu bisa menyebutkan s
Adrian POV. Elisabeth Soedarjo. Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik. Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tid
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
Adrian POV.“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.“Sangat.”“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Adrian POV.“Kemana Elisabeth?” tanya nenek di sela-sela makan siang kami.“Dia pergi menjenguk mama-nya nek.” Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.“Oh….” Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.“Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek.” Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi bebe
Elisabeth POV.Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.‘Apa kamu ada waktu besok El?’‘Tidak!’‘Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.’Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.‘Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.’‘Apa kamu yakin El?’‘YES!’(sebuah gambar terkirim)‘Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.’Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Davi
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan