Elisabeth POV.
Margareth ternyata adalah seorang wanita yang pandai sekali membuat kue. Siang ini, ketika Reinard masih berada di kantor, wanita itu mengajakku ke dapur dan memintaku untuk membantunya membuat muffin.
Tangan wanita itu begitu cekatan saat mencampur adonan, kemudian memasukkannya ke dalam cup-cup kertas dan terakhir memasukkannya ke dalam oven.
“Ini muffin coklat kegemaran nenek.” Kata Margareth ketika ia selesai menutup pintu oven. “Mari kita menunggu kue ini jadi dengan minum teh di serambi belakang El.” Wanita itu mengambil dua cangkir dan menuang teh ke dalamnya.
Setelah teh melati itu jadi, kami berjalan beriringan menuju serambi belakang, dekat dengan kolam ikan.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang El?” Margareth menyesap tehnya dengan penuh perasaan.
“Begitulah…aku merasa sedikit menganggur ketika Reinard sudah mulai bekerja.” Sahutku.
Wanita dengan rambut
Adrian POV.“Ini dimana?” aku melihat kilat mata Elisabeth yang begitu terpana memandang sebuah bangunan besar di depan kami.Aku tersenyum. Ku tarik tuas handremku kemudian membuka pintu mobilku dengan begitu bersemangat. Setelah mengitari depan mobil, akhirnya aku sampai di sampingnya untuk membuka pintu.“Apa kamu ingin berdoa Adrian?” gadis itu menyambut uluran tanganku untuk membantunya turun.aku hanya mengedikan bahu, lalu mengaitkan jemariku dengan jemarinya. Berdua kami menaiki anak tangga tinggi yang menghubungkan dengan gereja besar di depan kami. Aku tahu ia terpesona, bukan denganku namun dengan gereja megah yang akan kami masuki ini. Tangga berundak-undak tinggi dengan pohon-pohon tanpa daun karena musim dingin menjadi penyambut kami hari ini. Angin sore yang bertiup lembut, memainkan rambut panjangnya yang indah.Kulirik diam-diam wajahnya dari samping. Bibir yang sedikit terbuka membuatku gemas ingin melumatn
Elisabeth POV.“Sepertinya kamu punya segudang masalah El?” David tersenyum miring sebelum akhirnya mengambil gelas kopinya dan menyesapnya dengan nikmat.Aku mendengus. “Sok tau.” Aku memainkan gelas kopiku tanpa selera. Sejam lalu ketika pria itu menemukanku di pinggir sungai Danube, ia akhirnya mengajakku ke sebuah café di dekat tempat itu. untuk kali ini aku tidak bisa menolak. Lagipula aku juga sedang tidak ingin pulang dan bertemu Adrian.“Kalau tidak, kamu pasti akan mengangkat ponselmu yang berisik itu kan?” David mengedik padaku. Sejak tadi ponselku yang berada di saku celana memang terus bergetar dan aku tahu jika itu adalah telepon dari Adrian.“Aku juga tidak memintanya untuk terus berbunyi seperti ini.” Aku mengambil ponselku lalu mematikan dayanya. “Puas?” aku membanting benda pipih itu di atas meja.David tergelak.“Apa kalian sedang terlibat sebuah masal
David hanya bisa mematung ketika Adrian menarik tangan Elisabeth, hingga akhirnya tubuh gadis itu berada di bawah payung yang sama dengan pria itu. Ada rasa panas yang bergolak di dada David, ia tahu jika ada sekelumit cemburu yang berada di hatinya.Pria itu tahu, jika Elisabeth tak pernah peduli dengan perasaannya. Semua itu salahnya, karena ia sudah meninggalkan gadis itu beberapa tahun yang lalu tanpa kepastian. Dan kini, ketika ia kembali dipertemukan dengan gadis itu, ia tahu jika Elisabeth sudah terlanjur membencinya. Mengubur namanya dalam-dalam dan telah menggantinya dengan nama pria lain yaitu Adrian Smith. Seorang pria yang begitu dibencinya, bahkan ia mungkin tak akan pernah sudi memaafkannya.Seandainya Elisabeth tahu, jika dua tahun ini hidupnya hampa tanpa sosok gadis itu. senyum Elisabeth sering muncul di mimpi malamnya. Pernah David ingin kembali ke Indonesia dan meminta maaf pada gadis itu, namun apa yang terjadi di hidupnya sangat berat. Ia harus men
Elisabeth POV.Aku tahu dia kecewa dengan kalimatku, namun aku yakin ia tak akan mungkin merasakan hal demikian jika ia masih mengingat masa lalunya. Aku hanyalah butiran debu, hanyalah sebuah obyek yang menghubungkannya dengan masa lalunya. Adrian memang kehilangan ingatan tentang gadis itu, namun ia tak kehilangan kenangan dan impian bersamanya.Kami terdiam di dalam mobil, bahkan ketika sampai di pavillium pria itu langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apapun padaku. Sejujurnya hatiku sakit,dan sejujurnya aku juga ingin sekali menikah dengannya. Namun aku tidak mau hanya sebagai penghubung dengan masa lalunya.Setelah membersihkan diri, aku segera naik ke atas kasur. Badanku sedikit demam karena terpapar udara dingin dan hujan. Bagaimana tidak, aku hanya mengenakan mantel yang tidak terlalu tebal lalu udara dingin serta hujan benar-benar membuat tubuhku membeku.Aku tidur miring menghadap ke jendela. Di luar, hujan masih terdengar turun nam
Untuk kesekian kalinya Samantha kembali menghabiskan waktunya dengan berlama-lama di depan cermin kemudian memilih baju paling pantas yang akan dipakainya hari ini untuk bertemu Adrian. Sudah beberapa kali ia menggantikan papanya untuk pertemuan bisnis dengan pria itu. itupun bukan tanpa sengaja, karena Samantha sendiri yang memohon-mohon pada papanya agar bisnis yang berhubungan dengan Adrian dialah yang menggantikannya. Jacob Clark menyetujuinya, namun dengan syarat Samantha harus mau belajar bisnis di perusahaan agar suatu saat ia bisa menggantikan dirinya. Begitulah yang terjadi, Samantha menerimanya dan melupakan prinsipnya tentang seseorang yang berhasil seharusnya berusaha membangun usahanya sendiri, bukan menerima warisan dari orang tua.Wajah gadis itu berbinar ketika melihat sosok Adrian masuk ke dalam restoran. Ia memang sengaja datang lebih awal agar Adrian tidak berlama-lama menunggunya.“Apa kamu menunggu lama?” tanya Adrian ketika ia sudah be
Elisabeth POV.Kembali hati ini di dera perasaan yang tak menentu ketik Adrian tidak kunjung pulang. Wajar bukan jika aku cemburu, saat kekasihku bertemu dengan seseorang yang dijodohkan dengannya apalagi orang itu cantik dan berkharisma seperti Samantha Clark.“Sudahlah, dia akan segera pulang.” Margareth menepuk lenganku pelan, wanita itu baru saja dari dapur untuk membuat teh. Sejak beberapa menit yang lalu aku datang ke kamarnya untuk sekedar mencari teman ngobrol. Rasanya mencekik ketika di kamar sendirian dan menahan rindu sekaligus semburu yang bergulat di hatiku.“Aku tidak mencemaskan apapun.” Elakku. Namun aku yakin jika Margareth tak akan mempercayai ucapanku, sebab wajahku pasti tidak bisa menipu.“Ya….aku mengerti.” Wanita itu duduk di salah satu kursi dan menyesap tehnya. “Tapi kenapa sejak tadi kamu terus menatap jendela dengan wajah cemas seperti itu?” kalimatnya seperti sedang menggod
Elisabeth POV.Jemari Adrian erat menaut jemariku ketika kami meninggalkan perempuan bernama Patricia tadi. Aku berjalan menatap punggungnya yang berjalan di depanku dengan banyak perasaan. Meskipun tadi kekasihku itu sudah mengatakan pada Patricia bahwa ia tak mengenal seorang wanita bernama Lilly, tetap saja aku tahu ia memikirkan sesuatu. Sorot mata bahkan kerutan di wajahnya tidak bisa menipuku.Sampai di meja, kami memesan Conefit de Canard seperti yang kami rencanakan tadi. Suasana meja makan menjadi berubah kaku. Meksipun ku akui makanan berbahan bebek ini cukup lezat, namun melihatnya tak menghabiskan makanannya membuatku langsung tidak berselera makan. aku mengerti, Adrian sedang memikirkan apa yang dikatakan Patricia tadi. Dan aku juga mengerti bahwa cepat atau lambat kekasihku juga akan tahu apa yang telah terjadi padanya.Selesai makan malam, aku segera mengajaknya pulang. Agar Adrian bisa beristirahat dan tentu saja agar ia tak larut dalam pikiranny
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
Adrian POV.“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.“Sangat.”“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Adrian POV.“Kemana Elisabeth?” tanya nenek di sela-sela makan siang kami.“Dia pergi menjenguk mama-nya nek.” Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.“Oh….” Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.“Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek.” Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi bebe
Elisabeth POV.Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.‘Apa kamu ada waktu besok El?’‘Tidak!’‘Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.’Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.‘Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.’‘Apa kamu yakin El?’‘YES!’(sebuah gambar terkirim)‘Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.’Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Davi
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan