Kupikir, aku berangkat ke Jepang bersama Om Ashraf. Nyatanya aku berangkat bersama utusan dari rekan bisnis Om Ashraf yang memberikanku sebagai hadiah untuknya. Beruntung negara yang kutuju adalah salah satu negara yang memberikan Visa Waiver dengan mudah, sehingga prosesnya tidak butuh waktu tunggu yang lama. Aku menatap awan yang berarak di sisi jendela pesawat dengan kagum. Akhirnya aku bisa juga bepergian ke luar negeri tanpa harus bersush-susah mengumpulkan uang. Di sisiku seorang pria yang kutaksir berumur 25 tahun. Dari tadi dia seolah enggan mengajakku berbicara, wajahnya tampan hingga terbesit di hatiku untuk menggodanya. Namun, sepertinya aku bukanlah tipe menarik bagi pria ini. Dia lebih banyak membuang muka saat berhadapan denganku. "Kak, boleh tanya?" ucapku mencoba membuka pembicaraan. Baru kali ini aku merasa kikuk bersisian dengan lawan jenis, dan baru kali ini pula ada pria yang seolah tak terpesona dengan kecantikanku yang paripurna. "Hm," jawabnya. Hanya sesing
Aku pikir akan terjadi penolakan Om Ashraf terhadapku. Dari penampilannya, dia terlihat angkuh dan sulit untuk disentuh. Kesan pertama yang aku lihat adalah tatapannya yang datar dan wajah yang tak memiliki ekspresi. Meski tampan, dia terlihat menakutkan dengan gesturnya. Namun, rupanya aku salah. Om Ashraf benar-benar seorang yang liar. Kupikir dia akan mengabaikanku begitu saja. Dari caranya melewatiku tanpa menoleh dengan kondisi polos seperti tadi. "Masuk." Suara Om Ashraf terdengar seperti perinta yang tak kenal penolakan. Aku melangkah pelan, ragu-ragu tapi penasaran dengan apa yang akan terjadi setelah ini. "Kamu berjalan seperti orang yang kelaparan, apa kamu bisa melayani saya dengan cara seperti itu?" ucapnya di depan pintu kamar mandi. Om Ashraf rupanya kesal menungguku terlalu lama. Om, tidak tahu kah kau bahwa ini adalah pengalaman pertamaku? Meski sudah banyak pria asing di luaran sana menikmati tubuh ini, kesucianku masih terjaga dan sebentar lagi kamu akan menjadi
Aku terus berusaha meyakinkan Om Ashraf agar dia tidak mencari gadis lain untuk ditiduri. Om Ashraf bergeming saat aku terus saja memeluknya. Hem ... Jangan pikir aku tidak luput dari kesempatan yang hampir saja pupus. Tanganku bergerilya ke area-area tertentu di tubuhnya seolah-olah hal itu kulakukan tanpa sengaja sehingga Om Ashraf kembali terpancing. Tangisku rupanya tak terlalu berefek. Namun, sentuhanku memiliki pengaruh yang luar biasa padanya. "Fara," ucap Om Ashraf dengan suara serak. Dia meraih daguku yang bertumpu di punggung jari telunjuk dan jempolnya. Tak butuh waktu lama dia menciumku dengan rakus. Aku pun membalas tak kalah rakusnya, hingga meski pun kesucianku malam itu masih belum bisa dimilikinya, aku sudah berhasil membuatnya terkulai dengan keahlianku yang lain. Semalam penuh aku habiskan bersama Om Ashraf. Seperti pengantin baru, dia memintaku melakukan yang yang sama berulang-ulang dan mengabaikan beberapa panggilan telepon yang masuk di ponselnya. "Kamu yak
Seperti yang dijanjikan pria itu, aku dilimpahi dengan kemewahan yang selama ini belum pernah aku nikmati. Dia benar-benar memegang janjinya untuk membayar jasaku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Saat om Ashraf disibukkan berbagai meeting selama di Tokyo, aku diberikan kebebasan untuk menghabiskan uang di dalam kartu debitku asalkan saat kembali ke hotel aku sudah harus bersiap melayaninya. Hal ini rutin kulakukan setiap hari. Om Ashraf selalu terpuaskan meski kami masih belum memungkinkan untuk bercinta dengan sebenar-benarnya. "Sudah lima hari, apa periodemu belum juga selesai?" tanyanya. Aku tahu Om Ashraf sangat menginginkanku, aku pun demikian penasaran dengan kemampuannya melambungku di atas tempat tidur. "Harusnya sudah sih Om, Om mau periksa sendiri?" tawarku dengan kerlingan nakal. Tak butuh jawaban darinya, aku langsung mendaratkan tubuh di atas ranjang kami. Om Ashraf melemparkan jas dan sepatunya ke sembarang arah, melonggarkan dasi dan membukakancing kemeja h
Aku--Fara--Perawan yang melacu*kan diri hanya untuk Om Ashraf sebelum pernikahan kami benar-benar terjadi nantinya. Sejak kejadian itu aku dan Om Ashraf masih sering bertemu. Namun, selalu saja ada penghalang bagi kami untuk bercinta meskipun kami berdua sudah sama-sama siap. Salah satunya adalah Om Ashraf yang tiba-tiba kehilangan tenaga meski semangatnya besar atau area sensitifku yang tiba-tiba saja terasa sakit luar biasa padahal belum berhasil melakukannya dengan Om Ashraf. "Mbah bisa bantu kamu buat dapatin laki-laki itu. Tapi syaratnya kamu harus menginap di sini. Ada ritual khusus yang harus kamu jalani bersama mbah," ucap dukun langganan Mami saat aku memintanya membantuku untuk mengirim guna-guna kepada Om Ashraf dan keluarganya. Jujur saja aku tak bermaksud menyakiti Om Ashraf. Aku hanya ingin dia bertekuk lutut di hadapanku, karena hingga detik ini aku belum berhasil memberinya keperawanan. Aku takut dia bosan dan pergi mencari gadis lain. "Ritual seperti apa, Mbah?"
Singkat cerita, akhirnya jimat itu tertanam juga. Aku segera meminta orang suruhanku untuk mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah Om Ashraf. Kuberi dia sejumlah uang yang sangat besar sebelum kujebak dia seolah telah melakukan tindakan kriminal yang fatal sehingga dia dijebloskan ke penjara seumur hidup. Ya, kuakui tindakanku sangat kejam. Aku hanya tak ingin jika orang suruhanku membongkar rahasiaku, itu saja! Rupanya apa yang dikatakan dukun cabul itu bukan sekedar isapan jempol. Om Ashraf benar-benar seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Bahkan dia sudah sangat jarang pergi bekerja hanya untuk menghabiskan waktu bersamaku ke luar negeri. Meski demikian, kami tetap saja tak bisa melalui malam pertama. "Om, Fara kesakitan," ucapku saat dia mula melakukan penet**si. Aku tidak berdusta sama sekali tentang hal itu. Seolah tubuhku menolak untuk bersatu dengan Om Ashraf. Setiap kali kami mencoba, selalu berakhir dengan diriku yang kesakitan luar biasa. Bahkan
Antara senang dan ragu, aku memilih untuk menjaga jarak dari Om Ashraf. Berhari-hari aku mengabaikannya. Dia bahkan berulang kali menungguku di teras kontrakan mewah yang belakangan ini menjadi tempat tinggalku. "Fara, sebentar saja temui saya. Mengapa kamu menghindari saya, Sayang." Om Ashraf berulang kali mengirim pesan serupa ke ponsel milikku. Sekian lama kuabaikan, akhirnya kuputuskan untuk menemuinya. Kubukakan pintu dan kubiarkan dia masuk. Secercah senyum tampan Om Ashraf menyambutku. Namun, entah perasaanku saja atau mungkin memang Om Ashraf tak terlihat setampan dulu. Jujur saja selama aku mengabaikannya, aku terus memikirkan Akram. Laki-laki belum matang berusia hampir dua puluh tahun yang memiliki kemiripan seperti Om Ashraf. "Kamu sakit? Kok gak mau ketemu saya?" tanya Om Ashraf. Dia menciumku tanpa menunggu persetujuan dariku. Tak ada lagi debar yang kurasa seperti dulu, saat bibir kami saling memagut dan mencecapi nikmatnya percintaan. Ya, aku sempat mengakui bahwa
Plak! Pipiku memanas saat mengunjungi kandang anak-anak peliharaan Mami. Malas rasanya kembali ke tempat palac*ran murahan ini. Aku hanya ingin mengambil beberapa barangku yang masih tertinggal dan kembali ke kontrakan yang kutinggali akhir-akhir ini. Sementara aku menolak untuk tinggal di penthouse milikku yang masih atas nama Tante Fenny. Huh! Menyebalkan sekali! Bagaimana mungkin Om Ashraf pernah berniat ingin menikahi pelac** tua itu, dan baru saja dia menamparku dengan bringas. "Dasar setan kecil! Lo rebut pacar gue! Mati lo!!! Dia menampar dan menjambak rambutku seperti kesetanan. Beruntung ada Mami yang melerai, karena anak-anak peliharaan Mami yang lain tak ada yang berani mendekat u tuk memisahkan kami. Tante Fenny adalah orang nomor dua disegani di tempat ini, itulah alasannya. "Lo yang setan! Binatang lo! Pelac** tua murahan! Aku tak kalah mengeluarkan sumpah serapah. Sepertinya Tante Fenny benar-benar marah padaku setelah mendengar aku dan Om Ashraf telah berganti st
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya
'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol
WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan